Cewek itu Ternyata ....

1329 Kata
Lamat-lamat kudengar langkah kaki Tissa semakin menjauh. Apakah itu betul Tissa? Diri ini membuka pintu perlahan, mengintai dan memastikan bahwa tak ada siapa pun di sana. Kosong. Aku buru-buru menyembul, berjalan biasa saja sambil membuntuti wanita bergaun merah menyala itu. Aku yakin sekali, bahwa itu Tissa. Eh, kok dia belok kanan? Bukankah meja Dito tadi di sebelah kiri? Aku menoleh ke Dito, memastikan bahwa dia benar-benar di sana. Tepat dan akurat. Jadi, Tissa mau menemui siapa? Mendadak jiwa ingin tahuku mencuat ke ubun-ubun. Oh my God! Dia cipika-cipiki dengan seseorang. Tunggu dulu, cowok itu siapa, ya? Rasanya aku tidak asing dengan wajahnya. Seperti pernah bertemu, tetapi entah di mana. * Kejadian di restoran malam itu membuatku tak dapat tidur dengan nyenyak. Semakin berusaha untuk tak mengingat, malah kian menganggu pikiran. Bisa-bisanya Tissa bertemu dan seintens itu dengan cowok lain, padahal dia sudah mau menikah. Itu memang bukan urusanku, tetapi diri ini hanya kasihan pada Dito. Sebab, calon istrinya menemui seorang cowok secara diam-diam. Lebih parahnya, mereka berpelukan di depan umum. Bayangkan saja kalau Dito mengetahui semua itu, pasti perasaan dia akan hancur. Melihat betapa menurutnya Dito pada Tissa, aku rasa sayang Dito pada gadis itu sangat luar biasa. Sial. Kenapa aku harus terjebak perasaan aneh begini? Aku tak berhak ikut campur. Bahkan, aku hanya bekerja di sini. Namun, kenapa urusan mereka mengganggu sekali? Aku mengembuskan napas berat, lebih baik sekarang bersiap-siap mengemasi barang saja. Kata Tissa, pagi ini juga akan pindah hotel. Ini terlalu mendadak bagiku, sampai diri ini tak ada persiapan apa pun. Semalam aku lembur mengedit beberapa foto dan memindahkan semuanya ke flashdisk, karena nggak bisa tidur. Beberapa juga ada yang kukirim ke Dimas. Biar dia tahu, bahwa diri ini tak seperti yang dia bilang. Enak saja dia meremehkan aku. Masa katanya aku tak akan bisa fokus atau mengambil gambar cantik hanya gara-gara gagal move on? Belum tahu saja dia berhadapan dengan siapa. Rea gitu, lho! Kamar hotel tampak berantakan, baju juga belum kumasukkan. Apa Tissa memang seperti itu? Berkehendak sesukanya dan harus langsung dituruti? Aku kembali mengembuskan napas. Ribet. Berat sekali mata ini untuk sekadar terbuka. "Dito, bawain tas aku, ya. Soalnya semalam tanganku kebas." Permintaan Tissa terdengar manja sekali. Dito menuruti kehendak calon istrinya tanpa berkata-kata. Aih, penurut sekali! Aku tahu Tissa cantik bak Miss Universe, tetapi melihat Dito yang seperti kerbau dicucuk hidungnya itu membuatku geli. Oke, oke. Cewek cantik itu bebas. Aku baru tahu, bahwa ungkapan tersebut terdengar semena-mena. Namun, apa semua cewek cantik–jangan lupa ada embel-embel kaya raya–seperti itu? Kami masuk taksi yang akan menuju ke stasiun kereta api. Sedikit kecewa, sih, tetapi lagi-lagi diri ini tak berhak menentukan apa pun. Bahkan aku menyadari, bahwa diri ini bisa ke Jepang karena numpang. Sejujurnya, aku ingin sekali naik bus, melihat jalanan di Negara Matahari Terbit yang indah ini. Namun, Tissa lebih memilih naik kereta api, katanya lebih efisien. "Rea, ambilin gambar aku, ya. Mumpung gak banyak orang," pinta Tissa saat kami sudah berada dalam kereta. Eh, harus sekarang? Tentu saja aku gelagapan, karena sama sekali tak ada persiapan sebelumnya. Tissa juga nggak bilang kalau mau difoto di tempat ini. Kamera juga sudah kuamankan dalam tas punggung. "Kamu kayak baru ke Jepang aja. Kamu nggak lihat ada gambar kamera disilang itu?" Dito menunjuk gambar yang menempel pada dinding gerbong kereta itu dengan dagu. Mata ini mengikuti arah yang ditunjuk Dito, lalu beralih lagi ke mereka. "Alah, mumpung sepi, Dit. Satu jepretan aja. Aku percaya kok sama Rea, dia pasti berhasil mengambil satu gambar dengan cantik." Mata Tissa berbinar ketika melihatku. Dia memuji atau apa? Aku tak berkomentar, lebih memilih diam dan memperhatikan. "Jangan sampai kamu bermasalah di negara orang. Coba lebih menjaga sikap." Aura yang dipancarkan Dito seakan-akan membuat suasana menjadi lebih dingin dari sebelumnya. "Ya, udahlah!" Tissa terlihat sebal. Dia melenggang seperti orang menahan kesal ke sudut gerbong, kemudian duduk di sana dengan wajah ditekuk. Astaga, kekanakan sekali! Kok Dito bisa betah dengan cewek seperti itu? Seharusnya, dia bisa mendapatkan cewek yang jauh lebih baik. Seperti aku, misalnya. Eh! Perjalanan dari Distrik Sumida ke Shibuya cukup memakan waktu. Lelah juga duduk tanpa bicara seperti ini. Padahal, seharusnya bisa dengan bercanda agar tak menjenuhkan. Mata ini melirik Tissa, dia masih sama. Cemberut. Dito? Dia sejak tadi sibuk dengan ponselnya. Aku pun ingin, tetapi tak ada wifi yang bisa kumanfaatkan. Akhirnya, kami sudah tiba di salah satu hotel Shibuya. Lagi-lagi aku berdecak, hotel ini tak kalah elite dari hotel di Sumida. "Ayo!" kata Dito ketika diri tak henti mengagumi tatanan hotel ini. Merasa tak tahu harus ke mana nantinya, aku pun bergegas mengekori dua insan di hadapan. Dito tampak menerima kunci berbentuk kartu seperti ATM itu, memberikan salah satunya ke Tissa. Langsung saja cewek itu melenggang bak model di atas catwalk. Benar-benar cantik! Sepertinya kekesalan di kereta api tadi belum enyah darinya. Kasihan. "Ini." Dito memberikan kartu tersebut padaku. Tentu saja kuterima dengan cekatan. Badan rasanya remuk dan ingin segera berbaring. "Kita sekamar." Apa? Mata ini mendelik mendengar ucapan Dito barusan. "Lo gila, ya?" cibirku. "Hotel ini mahal, kamarnya tersisa dua. Tissa maunya tidur sendiri. Jadi, terpaksa lo sama gue." "Ogah!" tolakku mentah-mentah. "Lebih baik, sekarang juga lo cariin gue hotel paling murah di Shibuya ini, biar gue tidur di sana aja. Atau kalo memang bener-bener nggak ada, mending gue tidur di kolong jembatan daripada sekamar sama lo." "Lo pikir ini Jakarta, bisa dengan mudah tidur di kolong jembatan?" "Bodo amat, gue nggak mau. Pokoknya lo harus cariin gue hotel. Titik." Aku masih kukuh dengan pilihan awal. Dito tak menghiraukan ocehanku, dia pergi begitu saja sambil menyeret satu kopernya. Anak ini memang ngeselin! "Dito!" panggilku sambil mengejar manusia tembok hotel itu. "Kenapa? Ngarep banget sekamar sama gue?" tanya Dito tanpa menoleh. Boleh tidak, sih, aku memaki sekencang-kencangnya? Maksudnya, tadi dia mengerjaiku? Kammpret memang! Dito melenggang, aku menangkap aura kepuasan dalam dirinya karena berhasil menipuku. Sumpah serapah terlontar berkali-kali untuk manusia tembok hotel itu. Ini dia yang gagal move on, atau aku, sih? Astaga! * Hari ini, sama sekali tak ada kegiatan. Tissa memberiku kebebasan untuk ke mana dan apa saja. Sayangnya, diri ini tak memiliki cukup bekal untuk sekadar ke kafe atau sebagainya. Oke, hari ini kuhabiskan dengan tidur dan mengerjakan editing foto. Ponsel yang baru saja kunyalakan wifi-nya itu berdering. Sebuah nama tertera di sana. Dimas. Kunyuk satu itu pasti mau meledekku. Aku yakin! "Kenapa nelpon gue? Kangen lo?" Dengan malas aku bertanya ketika panggilan telah tersambung. "Iya, nih. Nggak ada yang bisa gue kerjain kalo bukan lo, Pus." "Sialan lo! Kerjain aja noh, cewek lo." Aku memasukkan koper yang sedari tadi masih kubiarkan tergeletak di lantai. Aku malas merapikannya satu per satu, terlalu repot menurutku. "Dia ngambek, Pus." Suara Dimas terdengar menyedihkan. Astaga, ini bukan pertama kalinya Dimas mengeluh. Aku heran saja, kurang baik apa si Dimas sama ceweknya? Minta apa-apa diturutin, tetapi masih saja dia uring-uringan tak jelas. Pernah juga dia cemburu padaku, hanya gara-gara Dimas mengantarku pulang. Itulah sebabnya aku sedikit memberi jarak pada Dimas. Tak mau saja bila dia bermasalah dengan ceweknya. Kasihan, Dimas terlalu mengalah. "Kenapa lagi?" tanyaku. Kali ini, aku merapikan tas punggung, kugeser sedikit dekat ranjang. "Biasalah," jawab Dimas. Suaranya terdengar loyo. "Sabarin aja dulu. Dia butuh perhatian lo itu." "Kenapa, sih, dia nggak pernah ngertiin gue?" Mendengar pertanyaan Dimas yang serius itu, membuat diri ini menghentikan aktivitas. Aku duduk di tepi ranjang, berusaha mencari celah agar bisa menghiburnya. Jujur saja, tak nyaman melihat Dimas yang cengeng begini. "Lo cowok, Dim. Harus lebih meluaskan hati. Kebanyakan cewek itu memang susah dimengerti, tapi lo harus tau. Kadang, saking nggak taunya harus menunjukkan sayangnya seperti apa, ya itulah yang terjadi. Sabar aja." "Thanks, ya, Re. Lo emang sahabat terbaik gue." Dari nadanya, Dimas sepertinya kembali semangat. "Dahlah, Pak Bos. Mengalah aja, kalo sudah mengalah dan lelah, biarin aja dia berulah. Cukup diam, dan abaikan. Mikirin satu cewek nyebelin, malah bisa bikin hidup lo butuh formalin," selorohku dengan iringan tawa. Dimas memaki-maki di sana. Aku tahu, dia semudah ini kembali tertawa dari kegelisahannya. Tawaku semakin meledak.
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN