Air yang seharusnya kuminum dari mulut, tersedak naik hingga ke hidung. Rasanya sakit dan itu gara-gara perkataan Himeko.
"Kau bilang apa? Jika perutmu kenyang, otakmu mendadak kosong," cibirku memutar bola mataku kesal.
"Itu, lihatlah, dari tadi dia menatapmu. Kenapa sih dengan isi kepalamu?" gerutu Himeko kesal karena bicaraku yang tidak jelas. Tepat 10 meter dari bangku kami, aku melihat Arzhou. Dari kejauhan, ia memberiku isyarat agar aku melihat ponselku. Astaga! Apa yang dia lakukan? Bagaimana jika ada yang melihat?
"Siapa?"tanya Himeko penasaran. Aku yang terlalu fokus dengan apa yang diperintahkan Arzhou tak memperdulikannya. Set... Set... Set..
Jariku bergerak cepat memeriksa kotak masuk.
*
Ini nomorku. Arzhou.
*
Hanya itu? Baiklah terserah.
"Sepertinya kau lupa menceritakan sebuah hal seru padaku, oke. Biar kutebak, apa dia murid yang membuatmu b*******h? Sepertinya kau akan sulit mendapatkannya," bisik Himeko setengah mencibir. Aku tetap diam, menatap layar ponselku yang kembali menyala.
*
Sensei, kapan kau mengizinkanku menemuimu lagi?
*
"Mu-chan! Kau mendengarku?" tuntut Himeko menarik perhatianku agar menghiraukannya. Aku mendengus, berbisik sambil sedikit mencondongkan bibirku di sebelah telinga Himeko.
"Aku sudah tidur dengannya. Mungkin aku akan mencobanya beberapa kali lagi sebelum kembali ke rumah."
*
Sore ini, supermarket di dekat apartemenku sangat ramai. Hampir semua ibu seputaran kompleks menyerbu puluhan bahan keperluan dapur yang sedang di diskon setengah harga.
"Kenapa hanya berdiri?" seseorang membuyarkan lamunanku dan itu adalah pria menjulang yang tengah mendorong troli belanja menuju diriku. Wajahnya yang full masker mengintip kecil dari balik topi baseball yang ia pakai. Siapa yang menyangka? Jika aku saja sempat menyangsikan ia adalah Arzhou. Postur tubuhnya yang nyaris sesempurna pria dewasa seperti tipuan alami. Ya, aku terperdaya dengan mudah tadi. Aku hanya berdehem lalu menggeleng,"Apa kau sudah selesai? Ayo kita pergi."
Tanpa peduli dengan jawaban Arzhou, aku melenggang menuju kasir untuk membayar bahan makanan yang menurutku tidak penting. Biarlah, dia bilang ini yang terakhir. Setengah jam yang lalu, Arzhou datang dan memaksa masuk ke apartemenku setelah membunyikan bel belasan kali dalam 20 menit. Tentu saja, aku mendapatkan umpatan tetangga dan peringatan keras dari satpam yang langsung datang menemuiku. Sungguh memalukan.
Kami berdebat kecil selama 10 menit dan aku akhirnya mengalah. Kuturuti apa kemauannya hari ini. Yaitu belanja bahan makanan.
"Bawa pulang saja semuanya. Selama hidup, aku hanya bisa merebus mie instan,"kataku mencegahnya membuka lemari pendingin besar di pojok dapur.
Arzhou tak menggubris. Ia asyik menata sebagian bawang dan sebotol kecap ikan di dekat wastafel. Mencuci beberapa sayur, lobak dan entah apa lagi.
"Sensei, bisa tolong bantu aku mengupas bawang?"
Aku mengernyit. Tidak pernah sekalipun aku menyentuh benda bau itu.
"Tidak, aku tidak mau," gerutuku mengambil sekaleng soda lalu meminumnya dengan tingkah kesal. Ini tempat tinggalku, kenapa dia berlagak?
"Baiklah, aku akan memasak dengan cepat. Setelah kau makan, aku berjanji akan segera pergi," kata Arzhou mencacah jamur kancing dengan cekatan. Diam-diam aku kagum dengan cara masaknya yang bagus. Setengah bersandar pada kursi dekat dapur, aku berakhir tidur. Entah berapa lama aku terlelap hingga aku akhirnya terbangun dan mencium aroma khas kuri musim gugur yang sangat menggoda.
Arzhou melepas celemeknya, mengatur meja makan dengan sebuah lilin yang sangat kecil. Untung saja ia tidak berencana mematikan lampu. Lilin sekecil itu bisa padam dalam lima menit.
"Sensei, makanlah lalu aku akan pergi."
Lagi, Arzhou mengatakan kalimat 'pergi' secara berulang-ulang, aku sangat tidak nyaman.
"Masih panas, aku akan memakannya nanti," tolakku, berjalan menuju wastafel untuk mencuci muka dan tangan.
"Jadi, Sensei berencana menahanku lebih lama di sini?" tanya Arzhou memangku dagu. Ia menatapku yang terlihat salah tingkah.
"Baiklah, aku akan memakannya sekarang," rutukku merasa ditekan. Kulihat Arzhou tersenyum di sudut bibir. Dengan telaten layaknya seorang istri, ia menuangkan segelas teh hijau dingin di atas meja kayu di depanku. Kuri buatan Arzhou sebenarnya sangat menggoda, tapi entah kenapa aku malas memakannya sekarang. Apa benar aku ingin menahannya lebih lama disini?
"Enak, "senyumku menyuapkan sendok kedua ke arah mulut. Aku suka kacang Almond dan kuri itu penuh butiran Almond.
"Sensei, apa kau akan pergi setelah masa magangmu selesai?" tanya Arzhou tiba-tiba. Ia fokus menatap pupil mataku yang sedikit melebar karena kaget.
"Ya," jawabku singkat. Arzhou sukses membuat nafsu makanku hilang dalam sekejap. Melihat caranya bertanya, itu bagai intimidasi kecil. Aku membenci perasaan ini.
"Aku akan pulang dan mungkin akan menikah."
Tak ada reaksi yang cukup berarti di wajah Arzhou. Remaja itu hanya diam, mendudukkan kepalanya sebentar hingga ia kembali mendongak, menatapku. Entah, apa arti pandangannya.
"Aku juga akan pergi cukup jauh setelah lulus."
Aku mengangguk kikuk, menahan suapan akhir di tenggorokan lalu menyiramnya dengan air pada gelas yang telah diisi teh olehnya. Hening. Aku bisa merasakan hatiku sedikit ngilu. Apa yang Arzhou rasakan?
Masa depan kami sungguh berbeda. Aku akan melanjutkan hidup di sebuah sangkar emas dengan seorang pria yang mungkin saja sekejam kakek. Sedang dia? Akan banyak hal baru. Cintanya mungkin akan berlabuh untuk gadis lugu. Menikah, lalu melupakan segalanya.
Malam itu terasa panjang. Punggung Arzhou yang berbalik untuk meninggalkanku perlahan lenyap, masuk ke sebuah taksi putih yang sudah kupesan sepuluh menit sebelumnya. Aku selalu berharap, ia akan bahagia. Semoga, kita tidak bertemu lagi.
*
Dua bulan kemudian, tepian pantai Hokaido.
Aku berjalan dalam kegelapan menyusuri pinggiran pantai itu dengan ujung Yukata yang basah dan kaki telanjang. Dering ponsel yang bersatu dengan suara ombak, menenggelamkan apapun untuk di dengar. Aku sebenarnya tahu, sekarang ada puluhan orang yang sedang berkeliaran untuk menangkapku. Pertunangan akan dihelat satu jam lagi dan aku berhasil lolos lewat jendela toilet. Aku tidak peduli ujung Yukata milikku robek dan banyak memar pada tumit.
Sejak awal melihatnya, aura bengis, b******n dan m***m berkumpul menjadi satu di wajah calon suamiku. Persetan dengan kakek! Aku lebih baik mati daripada harus hidup dengan orang seperti monster! Apa jadinya jika aku berakhir seperti ibu? Dicampakkan ayah lalu gantung diri?
Buntu. Debur ombak membuat pikiranku kosong hingga tanpa sadar berjalan menuju ke tengah lautan lepas. Goncangan air laut tidak juga membawaku agar kembali sadar, bahwa ini adalah takdir seorang cucu Yoshio Uno. Pendiri klan Uno, dasar terpenting dari organisasi Yakuza terbesar Jepang.
Sesak. Aku merasakan nadi dalam tubuhku mulai berhenti secara perlahan saat air asin lautan menenggelamkan hampir seluruh wajahku hingga hidung. Dalam cahaya terakhir di bawah sinar bulan, aku melihat sosok yang tanpa sadar selalu kumimpikan tiap malam.
Ia berlari lalu berenang menuju kearah tubuhku yang terhisap kearah lautan lepas.
Mungkinkah ini akhir? Akh... Wajah Arzhou tidak berubah ternyata. Tetap tampan dan menggairahkan.
*
Ingatan saat pertama kali bertemu dengan lelaki itu, adalah salah satu hal paling buruk. Perkataannya mungkin selembut kapas, tapi hatinya tajam dan penuh gerigi.
Dia, Takeshi Yoshida. Anak dari seorang Yakuza dari daerah Fuji yang akhir-akhir ini melebarkan bisnis senjata api ke daerah Kanto. Aku masih ingat dengan baik hari itu. Bagaimana Takeshi menatap sinis kearahku lewat sudut matanya yang gelap. Aku tidak suka, benar-benar tidak suka. Aura miliknya selalu mengingatkanku pada sifat kakekku sendiri. Pancaran yang penuh dengan ambisi.
Namun, malam dimana aku melihat Arzhou di tengah lautan. Ternyata itu adalah halusinasi. Ialah yang menyelamatkanku dengan berenang melawan dingin di puncak musim semi. Meski sempat tak mau percaya, tapi itulah yang terjadi.
*
"Temui dia."
Suara serak lagi berat milik Kakek berdengung tajam masuk ke telinga. Hari ini adalah hari ketiga pasca percobaan bunuh diriku, Kakek tidak jera. Ia tanpa peduli, terus memaksakan kehendaknya meski aku sudah di ujung batas.
"Ya."
Bodoh. Aku tahu, bukan itu yang aku ingin katakan. Setelah puas dengan jawabanku, Yakuza tua itu berdiri lalu meluruskan kedua lututnya yang dipenuhi tatto.
"Sepuluh menit, jangan lebih," ucapnya menggeser pintu kamar dengan hentakan yang sedikit kasar. Bayangannya pergi ke lorong bagian tengah.
Sekalipun aku menangis darah, tidak akan ada yang berubah. Aku terlahir seperti ini. Di sebuah istana kecil yang hanya punya satu kunci. Kehidupan untuk kakek atau mati untuk diriku sendiri.
Sepuluh menit memandangi tubuhku yang terbalut Yukata satin, aku berjalan keluar. Menapaki lantai kayu di tepian kolam ikan yang memanjang hingga ke balairung pribadi milik Kakek.