"Masuk." Terdengar suara yang menyuruh seorang pelayan ber jas menggeser pintu di depanku.
Segera setelah aku masuk, sosok tinggi Takeshi Yoshida terlihat. Pria berwajah masam itu untuk sekali lagi, tak menggubris keberadaanku. Ia asyik membuka sesuatu lewat aplikasi di ponselnya. Tenggelam dalam dunianya sendiri tanpa mau membalas sapaanku.
Dia pikir dia pantas bersikap seperti itu? Gara-gara dia, aku masih harus menjalani hidup dengan penuh penderitaan.
"Halo," sapaku membungkuk.
Berhasil. Ekor matanya teralih sedikit padaku. Sayangnya, hanya sedikit dan tak sampai lima detik, ia kembali berkonsentrasi dengan ponselnya. Tanpa berniat sedikitpun membalas sapaanku.
Baiklah, dia mengabaikanku. Tidak masalah, akupun akan melakukan hal yang sama. Aku menarik keluar ponselku dari balik lipatan Yukata. Mengaktifkan aplikasi chat lalu mulai membalas puluhan pesan yang terbengkalai. Selain dari Himeko, yang menarik perhatianku adalah pesan dari Arzhou.
*
Sensei, kau dimana sekarang? Aku mendapat nilai A dari hampir semua mata pelajaran. Aku berencana mengikuti ujian masuk ke Universitas Tokyo.
2 minggu yang lalu.
*
Arzhou memang hanya mengirimkan satu pesan, tapi meski begitu entah bagaimana aku sudah sangat senang.
"Apa itu dari pacarmu?" tanya Takeshi memecah keheningan di antara kami.
"Hah?" ucapku tak mengerti--lebih tepatnya aku tak peduli.
"Saat aku mengangkatmu kemarin, kau terus memanggil nama seseorang,"
"Sepertinya kau salah paham, aku tidak pernah punya pacar sejak kakek membunuh Toru," kataku menusuk, membalas tatapan tajamnya tanpa rasa takut. Baiklah, seandainya dia mau tersenyum dan memperbaiki sikapnya, wajah juga postur Takeshi jauh dari buruk. Mungkin aku bisa menyukainya walau sedikit. Sayang, dia adalah Yakuza. Sikapnya akan seperti itu hingga mati.
"Jika kau masih berpikir untuk bunuh diri seperti itu, mempermalukan klanku, aku bisa saja membawa pemuda itu kehadapanmu. Kau tahu? Apa yang akan aku lakukan? Membunuhnya secara perlahan," senyum Takeshi, memiringkan kepalanya.
Brengsek. Aku yakin sekali, dia akan mebuatku seperti seorang jalang jika ia berhasil menikahiku. Belum apa-apa saja dia sudah berani mengancamku.
"Jangan setegang itu, hari ini aku kesini karena berniat memberimu sebuah kejutan. Semacam hadiah sebelum pernikahan."
Dengan pelan dan tanpa menunggu reaksiku, Takeshi memberi isyarat kecil dengan tepukan tangan pada seorang penjaga di pojok ruangan.
Aku mendengus, meneguk teh hijau yang sedari tadi tersedia di atas meja terburu-buru. Bukan karena aku tegang dengan apa yang akan dia hadiahkan padaku, tapi karena emosiku mulai tidak terkendali.
Srek...
Aku yang duduk membelakangi pintu mendengar seseorang masuk. Sebenarnya aku penasaran, tapi aku tidak sudi menoleh.
"Dia adalah pengawal khusus yang akan menjagamu 24 jam sampai hari pernikahan kita. Aku yakin kau akan memperlakukannya dengan baik karena dia berasal dari prefektur Akita. Kudengar kau pernah mengajar di sana," kata Takeshi tersenyum miring lalu melipat ujung Yukata miliknya hingga lengan bertatonya mengintip keluar. Itu tato yang seksi. Sebuah Naga kecil berwarna merah menyala.
"Itu berlebihan Tuan Takeshi, aku menolak,"ucapku berdecak sebal. Aku tahu, ia ingin mengintimidasiku sekarang.
"Jangan buru-buru menolak, kau bisa berkenalan dulu dengannya." Lagi, Takeshi tersenyum miring. Sinis dan merendahkan.
"Baiklah, bisa kau perkenalkan diri pada calon istriku? Mungkin jika dia mendengar suaramu pikirannya akan berubah."
"Tidak! Apa kau tidak dengar? Aku menolaknya dan kau...," ucapan emosiku terpotong begitu mudah saat dengan ringan, Takeshi mengangkat satu tangannya di depan wajahku. Ia mendelik, mengancam agar aku diam. Akh, baiklah. Aku tak ingin terlihat bodoh karena berdebat dengan orang sinting
"Kenapa diam? Ayo perkenalkan dirimu, waktumu lima menit,"ucap Takeshi memangku dagunya, melirik kearahku sinis. Kenapa aku punya firasat buruk?
Sejenak hening, aku yang masih membelakanginya tak lagi sabar menunggu.
"Nama saya Hideaki umur 18 tahun. Kelahiran Kyoto dan menghabiskan masa SMA di Akita Senior High scholl. Menguasai ilmu bela diri dan penggunaan senjata api."
Deg.
Lelucon macam apa ini? Hideaki? Omong kosong! Dia tidak mengatakan nama lengkapnya. "Aku menolak Tuan Yoshida! Bawa pergi dari hadapanku! Sekarang!"pekikku marah, bangkit dari duduk.
"Kenapa? Jika kau tidak mau menerimanya menjadi pengawalmu, lalu bagaimana dia bisa melunasi hutangnya? Apa kujual saja di tempat geisha khusus pria?" tawa Takeshi terkesan dibuat-buat. Hutang? Bagaimana mungkin?
Kini dengan emosi yang kian meninggi, aku berbalik.
Pemuda itu, tentu saja Hideaki Arzhou menunduk, tak mau beradu mata denganku. Kenapa harus di saat yang buruk? Tuhan, aku tak mau lagi bertemu dengannya.
"Cukup! Apa tidak bisa kau lepaskan dia? Kau dengar Tuan Takeshi? Dia hanya mainanku di atas ranjang! Tak ada arti apapun. Biarkan dia pergi dan aku berjanji tidak akan ingkar," jeritku berlari ke arah Takeshi. Pria itu, Takeshi, tiba-tiba mengambil helaian rambutku dengan kasar. Ia menariknya hingga aku tidak punya pilihan selain mendongak, menatap pupilnya yang sedikit melebar karena kaget.
"Jadi itu mainanmu?" tanyanya lugas.
"Iya! Jadi, lepaskan dia!" pekikku tak kalah sengit, kuhempaskan tangan kokohnya kesal. Aku mungkin membuat Arzhou membenciku seumur hidup, tapi ini yang terbaik. Betapa sewenang-wenangnya seorang asing yang hanya berstatus 'calon'. Aku bukan wanita pengemis yang akan meminta sedekah pengampunan. Aku menawarkan negosiasi.
"Akh, baiklah. Kau lah yang membuat segalanya rumit. Jika aku tahu kau senang bermain seperti itu, aku akan bersedia menjadi mainanmu." Suara Takeshi Yoshida, pria masam super menakutkan itu, sungguh membuat wajah c***l nan m***m lngsung membayang jelas sekarang.
Apa? Ia bersedia menjadi mainanku?
Arzhou mengintip wajahku dari balik kelopak matanya yang kecil. Pria menjulang itu membisu, berdiri di antara angin malam. Yang terjadi tadi siang, sungguh di luar dugaan. Bahkan sekarang terasa sedang bermimpi. Berbicara berdua dengan Arzhou di dekat kediaman pribadi milik Kakek adalah hal paling tidak masuk akal.
"Maaf, seharusnya aku tidak melibatkanmu dalam kehidupanku," kataku, merapatkan selembar jaket bulu ke depan dadaku.
"Tidak, Sensei. Aku tidak dipaksa untuk datang kesini."
Aku mendongak, menatapnya bingung. Takeshi si m***m itu bilang sebaliknya. Sebenarnya apa yang terjadi? Aku mencium hal yang tidak beres.
"Jangan panggil Sensei, aku bukan gurumu lagi dan tidak akan pernah mengajar, karena profesi itu, kakekku yang menginginkan. Bukan aku."
Kulirik wajah Arzhou dalam keremangan lampu taman. Ia tak menyahut. Melainkan memeriksa sekeliling kami waspada. Entahlah apa yang harus aku katakan melihat Arzhou berjas seperti itu. Menggelikan. Aku memang menyukainya, tapi tidak pernah menganggapnya bisa melindungiku.
"Kau harus segera pergi dari sini, aku baik-baik saja,"ucapku mengambil sebuah kunci warna perak di lipatan obi. Itu adalah kunci ruang bawah tanah yang menghubungkan kamar mandi pribadiku dengan pintu keluar. Aku tidak pernah memakainya lagi karena semenjak aku direncanakan menikah dengan Takeshi, kakek selalu mengawasi keberadaanku setiap satu jam sekali. Dulu, Ibuku yang memberikannya. Warisan turun temurun dari nenek. Semua, sama saja. Tidak tahan dengan kekangan keluarga 'Uno'.
"Tidak, aku akan menunggumu hingga pesta pernikahan selesai," tolak Arzhou menatapku lekat-lekat. Ya, lagi-lagi darahku berdesir dan hasratku membuncah hanya karena kami bertatapan lama.
"Aku tidak ingin kau ada disini, jika kau khawatir karena aku sempat menenggelamkan diri ke laut, percayalah itu hanya karena aku kecewa dengan tabiat Takeshi yang buruk. Bukan karena aku tidak bahagia atau karena dirimu,"ucapku menghela nafas hati-hati. Aku tahu, ini tidak penting. Namun Arzhou masih terlalu muda untuk mengalami hal buruk karena ulahku.
"Aku sudah bilang, aku kesini bukan karena paksaan seperti yang Tuan Takeshi katakan. Ia menawariku hal yang tidak bisa kutolak."
Kini, aku bingung. Takeshi bukanlah orang yang gampang menawarkan sesuatu pada seseorang. Apalagi Arzhou hanyalah pemuda biasa tanpa keahlian apapun. Ya, ada sebuah rencana busuk di sini. Arzhou tanpa sadar terlibat dalam sebuah hal paling berbahaya.
"Dia, akan memberiku peluang untuk membawamu pergi dari sini sebelum pernikahan dilangsungkan. Apa ada yang lebih baik dari itu?" ucapnya sedikit emosional.
Aku menggeleng keras. Berusaha tetap berfikir rasional. Tidak ada yang gratis di dunia ini. Takeshi b******n! Apa yang akan dia rencanakan dengan memperdaya ketidak tahuan Arzhou?!
"Itu hanya omong kosong. Tidak ada Yakuza yang merelakan sesuatu tanpa mendapatkan apapun. Jika aku sampai kabur untuk kedua kalinya, akan berakibat buruk untuk kakek."
Hening. Meski seburuk apapun, dia tetap kakekku. Tidak ada yang berubah.
"Ya, aku tahu." Ia bergumam lirih lalu melirik jamnya di balik pergelangan jas. Sudah lewat waktu tidur dan tanpa bicara lagi, kami berjalan dalam diam, melewati beberapa lampu di koridor yang dipenuhi sorotan cctv.
"Kau bisa mengirimi aku pesan. Aku ada di sebelah kamarmu bersama dua penjaga yang lain."
Aku hanya mengangguk, menggeser daun pintu dengan sedikit hentakan keras. Aku berusaha mengabaikan perasaanku hari ini tanpa menjawab ucapan selamat malamnya. Arzhou, dia tidak boleh ada di sini dalam waktu lama. Ia tidak punya sedikitpun alasan untuk mengantarkan nyawanya.
Kecuali jika ia mencintaiku.
Berdebar untuk hal yang tidak jelas membuat posisi tidurku sangat tidak nyaman. Ponselku kemudian menyala dalam genggaman. Ada pesan masuk.
*
Aku melakukannya karena aku yakin kau mengharapkan seseorang untuk menyelamatkanmu.
Arzhou.
*
Aku tertegun. Antara kecewa dan bingung harus membalas apa.
*
Apa bukan karena kau mencintaiku?
Sent.
*
Akh. Memalukan! Kenapa aku malah terlihat murahan?
Dan, kenapa begitu lama Arzhou membalas? Sialan!
*
Ya, aku sungguh sangat mencintaimu. Bukankah aku mainanmu? Aku pasti akan berkunjung besok.
Yoshida Takeshi
*
Oh s**t! Aku salah kirim. Bagaimana bisa?
Aku bingung dengan apa yang terjadi lalu memutuskan tidur dengan membiarkan ponsel dalam keadaan mati. Sebelum benar-benar terlelap, aku hanya berharap Takeshi diserang sekelompok orang pada bagian kepala. Berakhir amnesia atau gegar otak, jadi ia bisa melupakan kejadian malam ini.
Bullsyit!