Pagi yang cerah dan aku terbangun dengan luar biasa malas. Acara minum teh hijau akan dimulai sebentar lagi dan kakek tidak pernah suka jika aku terlambat.
Tok. tok. tok.
Seorang pelayan wanita mengetuk dari balik pintu transparan kamar mandi. Aku hanya menatap bayangannya yang meninggalkan sebuah pakaian tradisional di atas futon yang belum kurapikan. Aku mendengus kesal karena selalu butuh waktu lama untuk memakainya.
Setelah membungkuk di depan pintu kamar mandi, ia pergi meninggalkan suara geseran pintu kamar. Aku diperlakukan seperti putri raja, padahal pelayan itu tak lebih dari seorang manusia yang sempat dijaminkan oleh orang tuanya dengan sejumlah uang pada kakek. Entah sampai kapan ia akan terikat.
*
Tiga puluh menit berselang setelah memakai lapisan obi terakhir, aku keluar dengan tergesa-gesa.
"Acara minum teh sudah selesai semenit yang lalu," ucap Arzhou berdiri sambil menyelipkan handytalky di pinggangnya. Ah, s**t. Dia sungguh tampan.
"Apa yang kau lihat?"
"Tidak, tapi kau memasangnya tidak benar," ucapku tergagap bingung mendapati diriku sendiri tengah mengintip pinggang seorang pria pagi-pagi.
"Akh, seperti ini? Apa sudah benar? "
Arzhou memasang kabel tipis mirip earphone ke telinga. Buru-buru aku mengangguk. Memberi isyarat agar lebih diposisikan ke arah kiri.
"Kenapa kau tidak membalas pesanku semalam? Apa sudah tidur?" tanya Arzhou selirih mungkin.
Aku mengiyakan kemudian teringat tentang ponselku yang sengaja kumatikan.
Namun, daripada memikirkan hal lain, aku malah merasakan jantungku berdebar. Aura Arzhou bagai feromon terdahsyat pagi ini. Bibir, dagu juga leher pemuda itu seperti berkilau kecil di bawah terik matahari.
"Ehm... Apa kau sengaja tidak ikut acara teh karena bodyguard tampanmu?" kekeh Takeshi muncul dari ujung belokan lorong. Mengganti kesenanganku dengan bad mood terburuk.
"Selamat pagi tuan Takeshi," ucap Arzhou membungkuk pada monster itu. Akh, aku benci kenyataan dimana Arzhou adalah bawahannya.
"Apa yang terjadi semalam? Kenapa kau nekad tidak menyanggul rambutmu? Dan lihat, masih basah dan bau shampoo," kata Takeshi berlalu melewati Arzhou. Aku dengan sigap bergerak mundur karena kulihat tangannya akan terulur menjamah rambutku.
"Aku harus berbicara serius denganmu tuan Takeshi yang terhormat."
"Okh, tentu saja calon istriku, apapun untukmu." Takeshi terkekeh miring, mengendikkan bahunya lalu berjalan ke arah kamar kosong di dekat kolam ikan. Ia memberi isyarat padaku seperti seorang pelayan yang harus mengikuti tuannya.
"Jika kau ingin meminta sesuatu, ada baiknya pengawalmu tidak ikut bukan? Aku akan mendengarnya jika kau lembut padaku."
Pandanganku teralih pada Arzhou. Kulihat tangannya bergetar, mengepal kuat karena menahan emosi.
" Kenapa lambat, huh!"teriaknya berbalik kesal karena aku tidak juga mengikutinya.
Pria angkuh itu sungguh merusak pagiku, penghancur mood paling ampuh. Baru saja melihat Arzhou yang bagai oase, ia datang seperti mendung pembawa cuaca buruk. Saat melihatnya memakai Hakama yang menjuntai hingga ke tatami, ingin rasanya aku menginjak ujung pakaiannya itu agar ia terjerembab jatuh lalu masuk ke air amis di kolam ikan.
"Berkhayal apa?" tanya Takeshi menatapku tak suka. Alis tebalnya menyatu saat kami duduk berhadapan dengan dua cangkir teh hijau yang masih mengepul. Buru-buru aku membuang muka. Melihatnya dalam waktu lama membuatku tak nyaman.
"Ayo bicaralah, bukankah semalam aku sudah menjawab pesanmu?" ucap Takeshi menyeringai kecil. Terdengar mengejek.
"Kau tahu kan? Itu bukan untukmu tuan Takeshi? Apa yang sebenarnya kau rencanakan dengan membawa Arzhou kesini? Membunuhnya? Atau melenyapkan kami berdua?"
Takeshi tersenyum di sudut bibir,"Menurutmu aku sekejam itu? Bagaimana jika pada kenyataannyannya aku malah membiarkan kalian pergi dari masalah ini?"tanyanya sambil menyesap teh dengan tangan kiri. Oh ya ampun. Dia pikir aku sebodoh itu?
"Apa yang kau mau? Jangan bertele-tele!" dengusku membalas tatapan Yakuza itu tak kalah sengit.
Hening. Sejenak yang terdengar hanya suara pedang dari lorong sebelah. Itu mungkin kakek, ia selalu latihan dengan para samurai yang tersisa di Akita setiap hari rabu.
"Aku hanya perlu sedikit ruang untuk bernafas. Pernikahan bodoh yang diatur dari garis klan kuno membuatku terkekang dan tentu saja aliran uang tak lagi sepenuhnya aku miliki. Kau tahu? Aku menyesal menyelamatkanmu," bisik Takeshi. Seketika wajah masamnya berubah luar biasa gelap. Akh, baiklah. Terserah.
"Lalu? Apa kau kira aku mau pergi meninggalkan kakek? Membiarkanmu merusak keluargaku? Jangan bermimpi! Sekalipun aku harus menderita seumur hidup, ayo kita lakukan bersama-sama,"kataku tajam. Darah Yakuza yang kumiliki mungkin sedang bergejolak sekarang. Sungguh bodoh aku harus seperti ibu. Meski nasib kami menyedihkan setidaknya aku harus kuat.
"Boleh aku tahu? Kenapa kau bisa berubah secepat ini? Jangan bilang kalau kau jatuh cinta padaku,"ucap Takeshi sinis. Pria bertato itu jelas berusaha menutupi keterkejutannya pada keputusanku.
"Tuan Takeshi, mungkin kau lupa, kakekku hanya menyuruhku untuk menikah. Terserah padaku untuk memberikan hatiku pada siapa saja. Dengan kata lain aku tidak peduli dengan kesetiaan."
Pupil mata Takeshi membulat. Kembali ia terkejut," Kau akan menyesal."
"Tentu saja tidak. Kenapa aku harus menyesal?"
Hening, hingga aku mendengar gigi Takeshi beradu kecil di mulut dan jemari tangannya mengepal kuat di atas meja. Aku mencoba tenang, bahaya jika ia marah di ruang sekecil ini.
"Kenapa? Kau takut? Mana kesombonganmu?" ejek Takeshi tiba-tiba mendekatiku dengan merangkak pelan ke sudut tempat di mana aku duduk. Oh ya ampun. Apa yang akan dia lakukan?
Takeshi terus mendekat hingga aku bisa mengintip tatto naga merah di dadanya karena ia membungkuk sedikit dalam.
Apa ia sedang menakut-nakutiku? Sayangnya aku malah takut pada hasratku sendiri.
"Hati-hati. Kau bisa tergores,"
Dengan sedikit gerakan kecil, aku berhasil meraih sebilah pisau lipat dari lekukan obi. Ujungnya yang tajam tepat mengarah ke titik fital pada lehernya yang kokoh. Siap menyayat kulit pria itu dalam satu kali hentakan kecil.
"Kau tahu? Apa yang menggairahkan dari anak seorang Yakuza? Keberanian mereka. Ranjang yang memanas juga desahan kencang..."
Sial.
Aku lupa kalau yang kuhadapi adalah seorang lelaki b******k yang pandai mengambil celah. Dengan sekali gerakan saja ia mampu mengunci tubuh kecilku ke sudut. Membuat keberanianku pupus seketika.
"Aku bisa saja menghabisimu, sayangnya kau terlalu rumit jika mati begitu saja. Bagaimana kalau kita bermain-main dulu?"
Brengsek! Aku tidak akan berteriak. Ini memalukan.
Aku berusaha untuk tetap tenang, tapi itu hanya berlangsung sesaat. Begitu Takeshi mengambil paksa bibirku, barulah aku sadar, dia pria menakutkan. Meski ia melakukannya dengan lembut, hatiku sangat terluka dan harga diriku tercabik karena diperlakukan begitu rendah. Takeshi semakin mendorong tubuhku, melumat dan menyesap rongga mulutku dengan lidahnya. Kesempatan tidak datang dua kali. Ya, aku menggigit lidah Takeshi lalu mendorong tubuhnya hingga jatuh menghantam sisi lain.
Bruk.
Menggetarkan lantai kayu berselimutkan puluhan tatami.
Napasku terengah dan rambutku berantakan. Aku yakin menggigit lidahnya lumayan keras tadi, tapi kenapa ia tidak mengerang sedikitpun?
Takeshi, pria menakutkan itu bangkit. Merapikan Hakamanya yang terkena tetesan darah dari dalam mulutnya. Dasar sinting. Ia malah tertawa lalu menjilat darah itu tanpa ekspresi sakit sedikitpun.
"Kau harus menemukan cara lebih ekstrim untuk melawanku di atas ranjang pengantin. Kita akan lihat, siapa yang akan bertahan. Kau dengan ideologimu yang nyaris tidak masuk akal, atau tawaran terakhirku."
Tenggorokanku seketika kering. Teh hijau di atas meja adalah pilihan terakhir untuk menghilangkan darah Takeshi yang tertinggal di mulutku.
Dia b******k tapi auranya sungguh menakjubkan. Darah pembunuh dari seorang Yakuza membayang dari setiap ancamannya.
"Meski aku mati, ayo kita mati bersama -sama. Aku tidak akan lari, menikah dengan seorang psikopat adalah keputusanku."
Indera penglihatan kami bertemu, saling menatap dalam waktu lama.
"Takeshi, aku tertarik padamu. Menikahlah denganku."
Bodoh. Aku tahu, Arzhou mungkin sedang mendengarnya dari balik pintu. Namun egoku kalah. Aku ingin menaklukkan pria ini. Dia harus menjadi milikku.
Takeshi tersedak lalu otot rahangnya mengeras. Tak lama tanpa mengatakan apapun ia berakhir pergi meninggalkanku. Menyisakan suara pintu geser yang dihempaskan sangat kasar.