"Apa kau baik-baik saja? Aku mendengar ada sesuatu tadi," kata Arzhou menerobos masuk. Ia bersimpuh, meraba pipiku kemudian berhenti di sudut bibir. Darah Takeshi pasti ada yang tertinggal di sana.
"Aku ingin bicara serius," bisikku pelan. Melihat wajah Arzhou yang menenangkan, membuat rasa cengeng seorang perempuan menyebar keluar lewat air mata.
Dan, seandainya saja hanya ada Arzhou, sudah pasti aku akan memeluk tubuh yang selalu kurindukan itu erat -erat. Membawanya keatas tempat tidur agar menjadi pelampiasan hingga pagi. Nyatanya tak bisa. Sebelum aku bicara, tangisanku sudah terlanjur pecah di sana. Membuat bingung bodyguard lain. b******k! Kenapa aku harus menikah dengan lelaki seperti itu?
Aku menatap keadaan di sekitarku yang separuh gelap. Terakhir menyelinap keluar, sebenarnya belum terlalu lama, tapi entah kenapa suasana lorong kecil itu terasa berbeda. Lebih banyak penerangan dan lebih lebar.
"Apa kau yakin?"
Suara Arzhou yang berjalan di belakangku bergaung kecil di lorong berbentuk pipa itu. Daripada menyahut , aku lebih memilih menggenggam tangannya erat-erat. Jemarinya yang terasa hangat dan lembut mampu menenangkanku di saat yang tepat.
Bruk.
Begitu melihat ujung, aku langsung menendang penghalang kecil yang menghubungkan antara rumahku dengan dunia luar. Benda pipih itu terpental ke belakang saat aku menendangnya dalam sekali sepak.
"Aku pernah juara Judo tingkat nasional," bisikku melompat keluar dengan ujung Yukata yang sedikit sempit. Mata bening Arzhou membeliak, menampakkan sedikit keterkejutan yang kupikir menggelikan. Mungkin selama ini ia melihatku sebagai wanita yang tidak punya karisma sama sekali.
"Jangan katakan apapun. Sepuluh menit dari sini ada pantai, kita akan pulang sebelum jam malam,"ucapku menarik tangan yang ku genggam ke arah selatan. Arzhou diam, tak mampu menolak meski hal itu sangat berbahaya untuk kami berdua. Aku berharap, laut malam ini tidak pasang.
Cukup lama terseok di atas pasir, kami berakhir duduk di salah satu landasan paling nyaman. Tanpa segan, aku nekad menyandarkan kepalaku dalam lingkaran tangannya.
Arzhou masih diam, menurut lalu mempererat sentuhan pada rambutku. Suara debur ombak mengikis pertahananku satu-satu. Aroma laut juga tubuh pria ini membuatku rapuh.
"Kau sudah memutuskannya?" bisik Arzhou memeluk leherku. Suaranya sedikit menekan tanpa emosi sedikitpun.
"Ya, aku tidak bisa melarikan diri dari masalah ini," jawabku dengan sedikit terisak.
"Baiklah, apa kau mau mendengar sesuatu dari mulutku malam ini?"
"Tidak, jangan bicara apapun. Aku ingin seperti sekarang. Sepuluh menit saja, jangan bergerak."
"Ya, aku tidak akan bergerak atau meninggalkanmu. Mu -chan, apapun yang terjadi, aku tidak akan pergi, tidak akan,"ucap Arzhou membenamkan hidungnya ke helaian rambutku. Nafasnya seakan menghisap aromaku. Aku mendongak, menemukan bibirnya dalam kegelapan. Kelembutan itu, mampu membakar tubuhku dalam waktu paling singkat. Lidah Arzhou menyapu rongga mulutku, melumat dan menyesap ujung bibirku dengan penuh perasaan. Ciuman itu, sungguh aku rindukan, tapi kenangan saat Takeshi menciumku secara brutal langsung menganggu otakku.
Aku secara sadar, membandingkan perbedaan dan tempo ciuman mereka. Arzhou si lembut dan menenangkan, lalu Takeshi si kasar yang menyebalkan. Mereka punya daya tarik yang berbeda.
"Argggghhh..."
Aku mendesah kecil saat Arzhou menyusuri tengkukku dengan bibirnya yang basah.
Shit! Ini sudah hampir waktunya untuk kembali, atau kami akan bermasalah nanti.
"Dengar, ayo kita kembali," bisikku menghentakkan tangannya yang akan beraktivitas lebih jauh. Ini tempat umum, dan meski gelap tak ada orang, aku tidak nyaman.
"Sebentar saja, aku akan menyelesaikannya dengan cepat." Arzhou bersuara parau.
"Tidak, aku memakai Yukata, butuh waktu lama untuk memakainya," tolakku meminta pengertian,"lagipula kita harus kembali dalam waktu lima menit."
Hening, tapi ia tak membantah lagi. Kami berjalan tanpa bicara dan sesampainya di ujung lorong menuju kamarku, Arzhou sempat menciumku lagi.
"Selamat malam,"bisiknya menggeser pintu keluar, meninggalkanku dengan enggan. Akh, sungguh menyebalkan. Seharusnya aku tidak memancing hasratnya tadi.
Sepuluh menit kemudian sebelum memejamkan mata, aku mengganti yukata sialan itu dengan selembar pakaian tidur yang tentu akan sangat berbeda jika aku memakainya tadi.
Rrrr....
Suara getar ponsel mengurungkan niatku untuk segera tidur.
*
Sepertinya kau lupa bercinta dengan pria lain sebelum menikah itu dilarang. Kalau kau mau, aku lebih hebat dari si kecil itu.
Takeshi.
*
Sial. Apa dia menguntitku tadi?
*
Omong kosong. Berhenti mengangguku, b******k.
Send
*
Kumatikan ponselku lalu kulempar ke bawah futon dengan gerakan kasar.
*
Hampir lima bulan aku kembali ke rumah, tapi baru pagi ini, aku bisa ikut acara minum teh dengan baik. Tidak buruk, tapi aku memang tidak suka campuran herbal dalam teh buatan Ohara-sama. Pahit dan sedikit beraroma obat.
"Habiskan,"tegur kakek menatap tajam padaku. Rupanya ia tahu jika aku berniat menyisakan separuh lebih cairan tehnya yang berharga. Tak mau berdebat, aku meneguk seluruh isi cangkir tanah liat itu layaknya menenggak wishky. Bodohnya, aku lupa betapa bencinya kakek pada seorang yang tidak bisa meminum teh dengan benar.
"Pergi, kau merusak acara minum tehku,"kata Kakek datar tapi sungguh menusuk. Lengan terangkat saat menunjuk pintu keluar.
Akh, lagi-lagi.
Menyingkir dengan gerakan mundur, Ohara--sama membantuku menutup pintu geser berlukis naga itu.
"Membosankan,"gerutuku melirik ruangan kakek dengan kesal. Hari ini sebenarnya aku ingin minta ijin keluar, tapi kalau kakek tidak mau bicara denganku, lantas bagaimana aku bisa keluar?
"Ada apa?"tanya Arzhou muncul dari balik guci tanah liat. Lengkap dengan jas hitam dan penghubung handytalky di earphone yang menempel di telinga.
Akh sial. Gara-gara hasrat yang menggantung,melihat wajahnya sepagi ini aku tersiksa.
"Tadinya aku berencana minta ijin keluar, tapi kakek seperti biasa, susah diajak bicara,"sungutku duduk di tepian kolam ikan. Aku memasukkan ujung kakiku, menikmati sapuan ikan koi yang berlarian mendekati kulit ari. Akh, bagaimana kabar Himeko? Dia pasti bingung karena aku tiba-tiba menghilang.
"Aku bisa mengajakmu keluar jika kau mau memohon padaku."
Suara Takeshi langsung memecah lamunanku. Selalu, pria masam itu datang di saat suasana hatiku sedang keruh. Lagipula kenapa juga dia setiap hari ada di sini?
Belum sempat aku menolak, terdengar pintu ruangan kakek digeser. Kakek diikuti Ohara sama keluar, mengangkat sedikit ujung Hakamanya saat menapaki lorong tempat aku bermain air. Arzhou mundur, memberi jalan. ku cepat-cepat mengeluarkan kakiku dari kolam ikan. Tentu saja, lantai basah yang kutimbulkan itu tidak luput dari mata perfecksionisnya.
"Pergilah, beli dua atau tiga kimono untuk upacara pertunangan kalian besok malam,"kata pria tua itu memberiku tatapan tajam. Aku tahu, ia tidak ingin mendengar penolakan lagi dari mulutku. Tidak sekarang.
Kulihat Takeshi membungkuk, memberi sapaan sopan yang jujur membuatku muak. Dasar bermuka dua. Seharusnya kakek tahu betapa pria itu sangat busuk karena menginginkan kekuasan klan Uno. "Aku ingin pengawalmu juga ikut, dia bisa membawakan barang belanjaanmu nanti," ucap kakek sinis.
Arzhou menjawab perintah kakek dengan membungkuk, pertanda ia setuju dan siap dengan perintah apapun. Semenit setelah kepergian kakek, aku berlalu begitu saja dari hadapan Takeshi. Bergegas menuju kamar untuk mengganti Yukata sialan ini dengan jeans dan kaos favorit yang sudah lama menganggur di lemari.
Biar saja, si Takeshi m***m itu berkeliaran sendiri di mall. Aku bisa pergi kencan diam-diam dengan Arzhou saat ia lengah.
Akh, sebaiknya aku pakai rok. Batinku jahil.