PART 10

832 Kata
Sebenarnya, lima kimono jenis furisode yang ditawarkan oleh pelayan toko itu sangat tidak menarik dan terlalu kuno. Jika aku boleh memilih, aku lebih suka Yukata sederhana dengan motif burung bangau yang sedang di diskon. Namun, berhubung ini acara penting, aku terpaksa peduli. "Masih lama?" gerutu Takeshi berdiri dengan raut wajah seram. Kaos dengan terusan kemeja kotak-kotak itu sebenarnya sudah membalut pas di tubuhnya yang tinggi. Sayangnya, tatto yang bertebaran di sekitar tangan dan leher Takeshi masih tidak tertutupi dengan baik. Wajah masam plus tubuh penuh tatto. Lengkap sudah atmosfer tak bersahabatnya memenuhi toko kecil itu. Sangat berbeda dengan Arzhou, pria ku yang tengah berdiri tak jauh dari kami itu sungguh elegan dengan jas hitam dan earphone yang terpasang di telinga. Kesan keren khas para bodyguard tergambar jelas pada sikapnya. "Baiklah, bungkus saja kelima-limanya,"kataku menunjuk dari ujung ke ujung tak peduli. Ya, biar saja. Apa urusanku hingga harus memikirkan acara laknat itu? "Kenapa asal, huh!" kata Takeshi tak terima, ia mencengkeram bahuku sebal di depan para pelayan yang jelas ketakutan melihat tingkahnya. Kulihat Arzhou menatap kejadian itu dengan tangan terkepal. Aku berkedip santai, memberinya isyarat agar tenang. Takeshi memang seperti itu, hanya bisa menunjukkan perasaan lewat kekerasan. "Kalau begitu kau saja yang pilih, aku lihat semua bagus kok, dan ukurannya juga tidak masalah." Cengkeraman Takeshi mengendur. Menghela nafas, pria itu menunjuk Arzhou agar berjalan mendekat ke arah kami. "Dengar anak kecil, jika kau ingin menikah, warna apa yang kau suka dari gaun furisode pasanganmu? " Apa-apaan dia? Kenapa menanyakan hal itu? Arzhou sejenak diam, meneliti setiap ekspresi juga nada kalimat dari mulut Takeshi. "Aku suka motif sakura dengan latar furisode warna biru laut," kata Arzhou menatapku penuh arti. Aku termenung, melempar pandanganku ke penjuru toko kecil itu. Pelayan bilang, stok yang Arzhou maksud kosong. Arzhou berbohong. Ia tidak suka warna biru. Yang aku lihat selama ini ia lebih suka warna kuning dan hijau. "Kenapa? Kau tak suka aku bertanya dengan bawahanku?" tantang Takeshi menghunjamkan tatapan seram padaku. Sejatinya, aku sama sekali tidak takut, tapi bisa berakibat buruk jika aku meladeninya di tengah keramaian. Ya, mengalah dengan orang sinting tidak ada salahnya. "Baiklah, jadi beli tidak? Aku lapar dan ingin makan ramen pedas!"ucapku memberi isyarat pada seorang pelayan toko agar segera membungkus pilihan terakhirku saja. Benar-benar! Berada di tengah keramaian dengan Takeshi membuat adrenalinku membuncah parah. Awalnya, kulihat ada penolakan. Ia tetap berdiri dengan gaya premannya di deretan furisode warna lain. Namun, pada akhirnya ia mengikutiku dan Arzhou setelah berbincang kecil dengan pelayan yang membungkus kimono ku. * Sepuluh menit menunggu di meja kedai, akhirnya tiga mangkuk ramen panas tersaji juga di atas meja kami bertiga. Untunglah, Takeshi cukup pengertian dengan membiarkan Arzhou duduk dan menikmati makanannya. "Berhenti melakukan itu di depan wajahku," rutuk Takeshi menunjuk aku dan Arzhou secara bergantian dengan sumpit. Geli juga melihat raut wajah Takeshi yang berusaha untuk tidak melihat kedekatan kami. Memang benar, sejak tadi baik aku maupun Arzhou berbincang lewat bahasa isyarat dengan sesekali tersenyum bersamaan. "Ayumu, kau tahu benar jika besok aku resmi menikahimu, aku tidak akan membiarkan hal seperti ini." Perkataan itu, membuat ramen di depanku seketika terasa hambar. Kugenggam jemari Arzhou yang sedikit bergetar. Aku ingin ia bisa tetap tenang dengan apapun yang Takeshi katakan. Ya, Takeshi berhak untuk itu. "Aku sudah memintamu untuk memilih, tapi kau malah tetap ingin menikah denganku. Padahal aku bersedia membantu kalian untuk melanjutkan hidup di luar sana, rubah pikiran konyolmu itu," ucap Takeshi menghisap helaian mienya dengan tenang. "Dan? Kau akan menindas klan kami dengan alasan perjanjian pernikahan di langgar oleh kakek?"kataku melotot tajam. Belum pernah aku menahan amarahku seperti ini. Rasanya lenganku ingin terangkat untuk meninju seseorang ---tentu saja, itu adalah Takeshi. Arzhou menatapku, mungkin ia mulai mengerti kenapa aku terus bertahan selama ini. Atau, bisa saja ia kecewa dengan keputusanku untuk tidak memilihnya. Aku bingung mengartikan makna dari tatapannya. "Benar juga, mainan tetaplah hanya mainan bukan?" kekeh Takeshi tersenyum dengan nada memuakkan. Ukh. Kenapa hatiku tertusuk? Aku tidak pernah menganggap hubunganku dan Arzhou adalah permainan. Aku tulus, tapi? Ada benarnya, karena kami bahkan tidak punya ikatan sama sekali. Brak. Bersamaan dengan gebrakan keras itu, Arzhou berlalu pergi dari sana. Aku terkesiap kaget melihat reaksi keras dari pria itu, bahkan ia pergi tanpa menoleh sedikitpun padaku. Berjalan begitu cepat dan lenyap di antara lalu lalang manusia. "Lepaskan b******k!" pekikku mencoba melepaskan pergelangan tanganku dari Takeshi. Ukh. Sial, tenaganya sangat kuat meski hanya dengan satu tangan! "Dulu aku mengambil keputusan yang salah dengan membiarkannya masuk ke rumahmu. Kupikir dia bisa membuatmu pergi, tapi? Lihatlah! Lelaki mainanmu itu bahkan meninggalkanmu dengan amarahnya yang seperti seekor betina!" ucap Takeshi tergelak. Meski itu menyakitkan, aku mengakui kalau Takeshi benar. Betapapun aku menyukai Arzhou, ia tetaplah masih anak kecil dan belum bisa melindungiku. "Ayo pulang!" "Tidak! Takeshi, aku harus mencarinya!"tolakku terus berusaha lepas dari cengkraman tangannya. Pria itu mendengus marah. Setengah menyeret ia menyambar sekantong belanjaan berisi kimono sebelum membawaku keluar dari kedai itu. Tentu saja, kami menjadi tontonan sepanjang jalan. Sejak awal pria itu selalu menjadi pusat perhatian dengan auranya yang mengerikan.
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN