bc

Dilema dalam Asmara

book_age18+
96
IKUTI
1.3K
BACA
forbidden
love-triangle
age gap
dominant
heir/heiress
drama
tragedy
serious
campus
office/work place
cheating
like
intro-logo
Uraian

"Motel Hibiscus. Kamar nomor 4. Saya bakal bukain pintu jam 21.00, dan kamu udah harus ada di sana."

Malam ini, Lana bersiap menyerahkan tubuh pada pria asing yang ia temui di dating app. Demi imbalan yang tak seberapa besar, Lana rela melakukan "transaksi" itu dengan sosok bernama Cakrawala. Sosok yang dari fotonya tampak tua, berkumis tebal, macam pria 40 tahunan.

Namun, saat tiba waktunya tatap muka, keduanya sama-sama terkejut. Siapa sangka bahwa pria itu ternyata dosen Lana di kampusnya sendiri? Sang Cakrawala yang ia temui ternyata adalah Althaf Adiputra—pria tiga puluh tahunan yang dikenal bermartabat dan bereputasi di kampus. Sedangkan Lana adalah mahasiswi yang diajar Althaf dalam mata kuliahnya.

Namun, meski dilanda keterkejutan, nyatanya Althaf masih teguh dalam menawarkan "transaksi" itu. Lana dibuat gusar, tak mampu membayangkan dirinya dijamah oleh sang dosen. Dia bukan gadis yang terlahir miskin sebenarnya. Ia terpaksa melakukan ini karena terjerat pinjaman ilegal bersama kawan-kawannya, serta keengganan sang ayah untuk membantu.

Kini dirinya yang harus memilih, haruskah Lana menerima tawaran Althaf untuk mengobral tubuhnya? Atau menyerah dan dicengkram situasi yang melilit?

chap-preview
Pratinjau gratis
Kamar No. 4
Motel Hibiscus. Kamar nomor 4. Saya bakal bukain pintu jam 21.00, dan kamu udah harus ada di sana. Sekarang pukul 20.56. Lana membaca pesan itu sambil menelan segumpal ludah. Pesan itu dikirim dari pria bernama "cakrawala". Mereka berkenalan beberapa hari lalu di dating app. Lalu sepakat bertemu untuk bertransaksi di motel. Di bawah pesan itu, Cakrawala menuliskan kalimat yang membuatnya tersedak: "Saya mau kamu pakai kemeja putih dan celana hitam. Tubuh kamu harus sudah bersih dan dicukur. Silakan kalau mau mandi dulu di motel." Bukan permintaan yang sulit. Hanya saja sebutir pesan itu terlampau frontal. Waktu telah bergeser ke pukul 20.58. Dua menit lagi ia akan masuk ke kandang singa. Nafasnya besar-besar seperti wanita yang mendorong bayi. Pasalnya gadis bernama Atlana Nugroho ini belum pernah bertelanjang di hadapan pria. Terlebih menjual tubuh. Dirinya menelan ludah ketika jam telah mendarat di 21.00. Ia meminta ampun pada Tuhan dalam hati—sambil mempersiapkan nyali. Tak lama kemudian derit pintu kamar itu terdengar. "Selamat malam…" Kepala sang gadis masih menatap lantai. Keringat dingin mengucur di punggungnya. Hatinya bertabuh tak karuan saat ia memberanikan diri menatap. "Selamat mal…" kalimatnya terputus. Keduanya sama-sama bungkam. Dua pasang mata itu bergetar seperti menjerit terkejut. Lana terkesiap. "P-pak Althaf?" "Atlana?" suara sang pria agak parau. "P-pak Althaf kenapa di…" ia berusaha keras menyusun kalimat. Frekuensi detak jantungnya meningkat. Dia merasa t***l karena melupakan suara itu. Sama sekali tak menyangka jika suara familiar itu milik Althaf Adiputra. Pria bertubuh tegap yang menjabat dosen di kampusnya. Tak pernah terlintas di benak, sosok terhormat itu punya kehidupan personal yang berbanding terbalik. Lana hampir saja bersetubuh dengan dosennya sendiri. Pertemuan mereka di motel sungguh di luar nalar logisnya. Kau pun akan tercengang kalau mengenal sosoknya selama ini. "Jadi, anda…Cakrawala?" Lana melihat Althaf yang berubah kaku. "Pak Al—" "Tunggu." Althaf berbalik masuk, kemudian keluar lagi dengan tas kerja. "Maafkan saya, tapi saya harus batalkan appointment kita." Selama beberapa sekon, manik mata mereka beradu. Di depan Lana, Althaf tampak sekali menahan napas. Kedua kaki yang terbungkus pantofel itu bersiap pergi. Mencengkram tasnya dengan ekspresi pucat. "M-maaf, Pak Althaf. Saya tidak tahu kalau—" "Tidak perlu dilanjutkan. Kamu boleh pergi. Tolong lupakan pertemuan hari ini dan anggap ini tidak pernah terjadi." pria itu menunduk. Tak kuasa memandang mahasiswi—yang hampir jadi teman tidurnya malam ini. Althaf berjalan enam langkah ke arah yang berlawanan. Tubuhnya berhenti sejenak sebelum berujar, "Dan jangan beritahu siapapun soal ini." Transaksi batal. Atlana berdiri di sana seperti patung es. Dia berakhir pergi tanpa sepeserpun di genggamannya. Dengan tangan kosong, ia menyeret kakinya untuk pulang. Gadis itu menghempaskan tubuh setibanya di rumah. Otaknya dipenuhi berbagai gelembung pikiran yang berimpitan. Lamat-lamat, indra pendengarannya menangkap derap langkah yang mendekat. Lana bersiap menutup telinganya. "Dari mana jam segini baru pulang? Habis melacur?" Itu suara mamanya, spontan menyambar. "Ya," tukas Atlana sambil memejam. "Tapi kliennya kabur, gagal dapet uang." "Jual aja ginjalmu kalau gagal jual tubuh." Ck. Mamanya memang paling unggul kalau soal sarkasme. "Udah minta maaf ke papa?" Lana menggeleng atas pertanyaan itu. "Papa masih ngambek, nggak mau angkat telepon." "Besok datang ke kantornya. Minta maaf, berlutut kalau perlu." "Percuma, papa bakal tutup telinga." "Kalau gitu datang ke rumah istri sahnya." Ratih mengucap itu seolah-olah bukan hal besar. Air mukanya terlampau datar untuk sebuah ucapan kejam. Lana merasa hatinya ditempa besi panas. Meminta ampun pada papanya akan sangat melukai harga diri. Namun ia mulai putus asa diteror tunggakan-tunggakan itu. Malam ini dirinya tak mampu tidur sama sekali. Ia menatapi riwayat chat dengan Cakrawala berselimutkan rasa malu. Namun di sisi lain, ia masih terkejut karena sosok di balik nama itu adalah Althaf. Pria yang selalu tersenyum ramah, berbicara lembut, dan mengajar dengan lugas itu memiliki "sisi lain" yang tersembunyi. Pertemuan di motel tadi bagaikan tamparan yang menghancurkan ekspektasi. Pria itu mungkin tak kalah shock karena selama ini, Lana dikenal sebagai aktivis kampus yang cerdas. Dan kekhawatiran Lana pun terwujud—mereka bertemu di lorong fakultas keesokan paginya. Althaf berjalan menuju kelas, sementara dirinya dari utara. Ada kuliah Althaf yang sialnya wajib untuk Lana ikuti. Gadis itu tak berhenti menunduk selama di kelas. Berusaha menyimak pria itu yang menjelaskan dengan senyum, sesekali bercanda, tak gusar sedikitpun. Bagaimana pria ini bisa begitu tenang? hatinya bermonolog. Pria itu menutup kuliah dua jam kemudian sambil berkata, "Penanggungjawab kelas silakan ikut saya!" Yang ditanggapi seorang mahasiswi, "Hari ini sedang absen, pak." "Kalau begitu siapapun." mata elang Althaf mengedar. "Ah, mahasiswi yang di pojok, baju biru, silakan ikut saya!" Seisi kelas memutar kepala untuk melihat ke pojok. Lana spontan terserang gugup, menyadari dialah yang berbaju biru. "Saya?" sambil menunjuk diri. "Benar, silakan ikut saya. Saya perlu perwakilan untuk membahas soal buku cetak." ucap Althaf lalu mengemasi bukunya. Mengisyaratkan gadis itu untuk ikut. Jantung Lana berpacu keras. Ia bergerak begitu saja seolah terseret magnet, diliputi gelisah dan takut tak terbendung. Dirinya membuntuti Althaf ke ruang dosen yang kala itu tak dihuni siapapun. Althaf berhenti sebentar di ambang pintu, hidung Lana menabrak punggungnya. Pria itu berbalik dan tersenyum kecil, menatap mahasiswinya dari kaki hingga kepala. "Kamu tidak keberatan kan, untuk bicara berdua?"

editor-pick
Dreame-Pilihan editor

bc

TERNODA

read
198.4K
bc

B̶u̶k̶a̶n̶ Pacar Pura-Pura

read
155.7K
bc

Sentuhan Semalam Sang Mafia

read
188.2K
bc

Hasrat Meresahkan Pria Dewasa

read
29.9K
bc

Dinikahi Karena Dendam

read
233.5K
bc

Setelah 10 Tahun Berpisah

read
47.7K
bc

My Secret Little Wife

read
132.0K

Pindai untuk mengunduh app

download_iosApp Store
google icon
Google Play
Facebook