Terpisah : Jakarta

1510 Kata
Ardan's Bakery. Jakarta. Suara tawa menggema. Itu tawa milik Tiara. Sudah punya anak perempuan yang bawel kayak emaknya. Padahal belum bisa ngomong. Baru bisa loncat-loncat boro-boro jalan. Jadi hiburan tersendiri bagi Dina yang sedang menjaga toko kuenya sendiri yang diberi nama....yeah you know lah. Walau sempat menolak nama ini karena dinilai dari kisah cinta si pemilik nama yang kandas dan sampai saat ini belum menemukan pendamping, Dina khawatir toko rotinya bernasib sama. Tapi ternyata tidak. Karena ada foto gantengnya Farrel yang dijadikan Dina sebagai tameng sekaligus model untuk mempromosikan rotinya. Jangan tanya kenapa bisa Farrel, itu ada sejarahnya. Cukup panjang tapi intinya, Farrel pasrah karena terus dirongrong para sepupunya. "Jadi begitu kejadiannya?" seru Taira lantas kembali terbahak. Dina hanya tertawa kecil. Mereka sedang bernostalgia tentang kasus patah hatinya Ardan dua tahun lalu. "Parah lo!" "Parahan Emak gue lah, Kak. Coba bayangin, Kak? Emak mana lagi bisa tega-teganya membiarkan anak lelakinya datang ke pesta lamaran mantan?" Tiara kembali terbahak. Memang lah, pikirnya. Gak Emak gak anak yaa sama saja sablengnya. Untung Om-nya masih waras. Setidaknya masih bisa menyelamatkan rumah tangga itu dari kemelengan juga kseablengan yang hakiki. Bagaimana pun harus ada yang menyeimbangkannya bukan? "Tapi tuh bocah keknya kagak kapok-kapok ya?" Dina terkekeh. Ia tahu betapa Ardan bebal tentang persoalan hati ini. Coba pikir kan, orang waras mana yang masih belum bisa move on dari mantan gebetan dan ditinggal menikah dua tahun lalu? Dina menyebutnya sebagai orang waras jika mampu melupakan dengan logika. Sayangnya, saudara kembarnya yang sableng itu sama sekali tak bisa melupakan. "Tapi kalo pun bareng-bareng, belum tentu cocok ya?" Dina berdeham. "Namanya juga bukan jodoh, Kak. Kalo si Tatal kan kelihatan memang tipe cowok yang disukainya bukan model Ardan yang pecicilan. Dia suka cowok serius gitu dan agak tua memang." "Tua dalam artian?" "Dewasa kali ya lebih tepatnya. Bawaannya si Tatal juga dewasa banget sih. Dari cara ngomongnya terus caranya mengambil sikap. Kalau sama Ardan kasihan si Tatal karena kayak ngadepin bocah dua tahun. Kagak tahu apa-apa tentang hidup." Tiara kembali terbahak mendengar kata-kata perumpamaan itu. Tapi Tiara mengakui kebenaran dari kata-kata Dina ini. Bukan apa-apa sih, Ardan itu masih terlampau polos untuk ukuran lelaki. Berbeda jauh sama Ferril meski kadar kesablengannya gak beda jauh. "Dia masih menganggap kalau semua orang sama baiknya." Dina mengangguk. Memang benar ucapan Tiara itu. Makanya Ardan gampang ditipu olehnya dan Rain. Hihihi. Pasalnya, bocah sableng itu tak pernah curiga. "Tapi bisa ngeri juga kalo dia megang perusahaan bokap lo disaat sekarang." Dina terkekeh. Ia membenarkan. Makanya Papanya masih memegang kekuasaan secara penuh sementara Ardan dididik dari posisi paking bawah. Ardan masuk pertama kali ke dalam perusahaan Papanya sebagai staf biasa. Tidak seperti Ferril yang langsung diberi tanggung jawab sebagai manajer oleh Om-nya Ferril padahal Ferril bahkan belum lulus kuliah. Usianya tentu lebih muda dibanding Ardan tapi pengalaman juga insting Ferril terlihat lebih mampu untuk memimpin sebuah perusahaan. Begitu pula dengan Farrel. "Mama sih, Kak, yang paling khawatir. Bukan persoalan untung-ruginya tapi jiwanya. Ya, Kak Aya tahu lah bagaimana dunia bisnis." Tiara mengangguk-angguk. Bisnisnya saja dijaga mati-matian oleh daddy-nya dan Ando. Biasa lah, tidak semua orang melakukan bisnis secara jujur. Ada yang hobi menjatuhkan bisnis orang lain untuk keuntungan sendiri. Maka itu butik kecil Tiara di-handle penuh oleh kedua lelaki itu. Usaha milik suaminya juga begitu. Walau kini, sepertinya daddy-nya hendak memintanya ikut bergabung. Tiara agak cemas sebetulnya karena takut suaminya belum terbiasa dengan kerasnya dunia bisnis. Tapi mungkin ia saja yang terlalu khawatir. "Tapi mungkin Ardan makin banyak belajar. Sekarang dia posisinya apa?" "Senior staff deh kalo gak salah." Tiara mengangguk-angguk. "Untuk yang belum lama kerja, itu udah lumayan, Din." "Tapi sepertinya ada campur tangan Papa," tuturnya yang membuat Tiara terkekeh. Ia tak sengaja mirik jam di dinding toko roti milik Dina. "Eh, gue kayaknya harus balik ke butik deh," tutur Tiara setelah dua jam menghabiskan roti jualannya Dina. "Kenapa, Kak?" Tiara berdeham. Ia melirik jam di ponselnya yang sudah menunjukan pukul empat sore. "Mas bilang setengah jam lagi sampe rumah," tuturnya lantas mengambil anaknya dari pangkuan Dina. Ia baru saja membaca pesan itu. "Eh nanti tagihan rotinya kirim ke kantor suami gue aja ya," tambahnya ketika hendak pamit. Dina cuma tersenyum kecil. Biasanya juga begitu. Hal-hal yang membuatnya lucu. Lantas membiarkan sepupunya itu pergi. Kemudian ia masuk lagi ke dalam tokonya. Memandang ke arah dinding, menatap foto besar yang ada di sana. Ternyata, mereka sudah besar semua. Ia menaruh foto keluarga besarnya di sana. Waktu memang berjalan begitu cepat. Ia juga tak menyangka kalau akan tiba di titik ini di mana ia semandiri ini membuka usaha. Para sepupunya juga sudah memiliki kesibukan masing-masing. Ada yang sudah berumah tangga. Ada yang sibuk dengan bisnis. Ada yang sibuk di kantor. Ada yang sibuk kuliah di luar negeri. Ia menarik nafas dalam. Semua hal terasa berubah bagai dalam sekejab. Ardan juga semakin sibuk dengan perusahaan papanya. Papanya lebih sibuk lagi. Sering bolak-balik ke luar negeri. Mamanya? Masih sama. Kerja di rumah sakit milik Om-nya. Tapi biasanya jam segini sudah di rumah. Mamanya masih gesit sekali bolak-balik ke sana ke mari. Hal yang membuatnya sadar akan satu hal. Apa? Betapa sakitnya dengan perjuangan orangtua untuk membesarkannya dan Ardan juga membiayai hidup mereka. Oke, mungkin keluar dari kedua orangtuanya memang sudah serba ada. Tapi kece nya, kedua orangtuanya maupun Oma dan Opanya selalu mengajarkan sesuatu yang disebut dengan kerja keras. "Mbaaaaak!" panggil suara dari ponselnya. Ia berdeham. Ia baru saja memegang mixer, hendak membuat kue untuk cemilan di rumah nanti. "Yaa? Kenapa, Yuu?" "Anuu, maaf lagi, Mbak. Sepertinya Ayu akan telat datang karena dosennya masih belum mau keluar." Ia tersenyum tipis. Tentu saja ia tak keberatan. Ia malah salut dengan perempuan-perempuan seperti Ayu. Jika ia yang berada diposisi gadis itu, ia mungkin tak akan mampu. Bayang kan saja, gadis itu baru berusia 20 tahun dan ini adalah semester pertamanya setelah menunda dua tahun untuk kuliah karena ketiadaan biaya. Hari-harinya dihabiskan dengan mengambil berbagai pekerjaan agar dapat membiayai kuliah sekaligus membiayai hidup keluarganya di kota besar seperti ini. Dina tak terbayang betapa susahnya kehidupan mereka. Maka itu, sejak mendengar cerita Ayu pertama kali dikala ia wawancarai untuk menjadi stafnya, gadis itu menunjukan kegigihan yang tak bisa Dina tolak. Hitung-hitung ini akan membantu perkuliahan juga kehidupan keluarga Ayu. "Gak apa-apa, Yu. Aku masih bisa menunggu," tuturnya lantas membiarkan Ayu mematikan telepon dan ia kembali fokus dengan mixer-nya yang sangat berisik. Bahkan suara panggilan dari Mamanya pun tak kunjung terdengar. Ia tenggelam dalam kesibukan membuat kue hingga hampir satu jam kemudian, Ayu baru datang. Sesuai perkiraan gadis itu, kalau ia memang akan datang terlambat menilik perjalanan dari kampusnya ke sini pun lumayan jauh. Dina tersenyum kecil. Ia sedang menjaga kasir ketika gadis itu datang dan menyuruhnya untuk mengganti baju sekaligus beristirahat sebentar. Lima belas menit kemudian, ia berjalan menuju dapur dan melepas celemeknya. "Yu, nanti jangan lupa kuncinya dititipin aja sama Pak Nasir. Terus bawa juga beberapa roti untuk di rumah ya, Yuu. Untuk Pak Nasir juga," ingatnya. Ayu mengangguk-angguk saja karena sibuk melayani pembeli. Dina kembaki ke ruangan kecil di dekat dapur untuk mengambil tasnya. Ia mengeluarkan kue dari oven yang kebetulan matang. Ia menyisakan setengahnya untuk Ayu sementara setengahnya lagi ia bawa untuk di rumah. Ia mengemasnya dengan cepat. Kini ia akan pulang setelah Ayu datang untuk menggantikannya menjaga tokonya yang kecil ini. Kecil memang. Jauh jika dibandingkan dengan martabak ganteng milik Farrel yang bahkan memiliki sebuah restoran khusus martabak di Jakarta dan Depok. Sisanya, hanya ruko-ruko kecil yang bercabang-cabang di sekitar Jabodetabek. Tapi ia tetap bangga dengan usaha yabg ia miliki ini meski tidak seberapa keuntungannya. Ia membuka toko berkat gaji bekerja di rumah sakit Om-nya selama setahun. Kemudian menengadahkan tangan pada Ardan untuk membantu menambahkan modalnya. Saudara kembar sablengnya itu terpaksa jual motor lamanya yang cungkring untuk membantunya. Bukan terpaksa juga sih tapi dipaksa. Hihihi. Karena Dina berdalih toh Ardan sudah punya mobil sendiri. Walah sambil mengomel toh Ardan tetap ikhlas membantunya. Alhasil nama tokonya harus menggunakan nama Ardan. Sableng kan? Terakhir, ia mendapat sumbangan dari Mama dan Papanya yang walau tak banyak tapi cukup untuk membuka usaha kecil-kecilan ini. Lagi pula, ia memang tak berniat membuka yang lebih besar. Ia hanya suka membuat kue dan ingin menjualnya agar bisa dinikmati banyak orang. Itu saja. Ia mengambil tasnya yang hampir ia tinggalkan karena pikirannya tadi teralihkan dengan acara mengemas kue cemilan kemudian berjalan menuju mobil kecilnya yang berwarna putih itu terparkir tak jauh dari toko rotinya. "Yuu, ada kue juga di dapur. Jangan lupa dibawa yaaa!" teriaknya. "Iya, Mbaaaak!" Ia tersenyum kecil ketika membuka pintu mobilnya. Akhirnya, setelah setahun merengek, ia diizinkan juga untuk menyetir lagi. Mobil ini sebenarnya juga dibelikan oleh Papanya karena kasihan padanya jika harus naik angkutan umum. Terlebih, supir yang dulu sering mengantar-jemputnya sudah tak ada. Sudah meninggal hampir dua tahun lalu karena asma. Kini ia melenggang. Menebas jalanan Jakarta menuju rumahnya yang tercinta. Masih dengan senyum yang hangat. Tak pernah berubah meski pernah ada luka. @@@
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN