Terpisah : Makassar

1470 Kata
Makassar. Kota yang pernah dihindari Adit mati-matian, nyatanya ia malah pindah ke sini. Terakhir, ia membatalkan pembangunan rumahnya di Jakarta dan memilih menabung. Kini malah tinggal di apartemen walau sempat pindah-pindah. Setelah di Solo, ia sempat menetap satu tahun di Madura. Mengurus pembangunan hotel di sana. Setelah selesai urusannya dan dilanjutkan oleh Teo, ia didepak ke Belanda. Diikutkan pelatihan di sana selama setengah tahun. Kemudian kembali setengah tahun lalu dan langsung ditempatkan di Makassar. Ia sengaja pergi agak jauh agar bisa melupakan apa yang telah terjadi dua tahun lalu. Meski itu terasa mustahil. Bagaimana mungkin ia bisa begitu saja melupakan seseorang yang telah berarti dalam hidupnya? Selama setahun ini, ia sudah tak pernah kembali ke Jakarta. Terakhir, satu bulan lalu Kayla mengunjunginya karena rindu. Berbekal tiket yang ia kirim, kakaknya itu datang bersama Kala yang sudah kian tinggi. Kini kabarnya baik-baik saja. Masih bisa tertawa walau masih ada sendu dimatanya. Meskipun yah, sempat menjadi bulan-bulanan massa di kantornya yang di Solo gegara dramanya dan Dina di depan kantor. Kejadian paling pahit itu ternyata disimak oleh satu kantor berkat kelakuan Nara yang kepo. Perempuan yang satu itu mengikuti kepergiannya usai kabur dari rapat. Alhasil yaaah, dramanya ditonton puluhan pegawai kantor. Bahkan sangat laris. Untung saja tak ada sutradara yang berniat memfilmkannya. Ia tak mau viral karena urusan asmara yang menyakitkan ini. "Gilak! Gilak! Gilak!" Itu Ardan. Akhirnya setelah dua tahun bekerja dan mendekam di Jakarta, sejak setahun ini ia mulai bisa dipercayakan untuk memantau proyek Papanya di luar kota. Termasuk di Makassar ini. Meskipun bukan Adit yang mengurusnya, tapi tentu saja kedatangannya di sini akan mempertemukannya dengan Adit. Karena Adit masih bekerja di perusahaan milik Om-nya. Adit betah tanpa ingin keluar dengan niat yang terselubung di dalamnya. Ia memang masih berharap kalau suatu saat bisa bertemu Dina lagi. Masih ada peluang jika ia tetap bekerja di sini karena ia pun masih sering bertemu Wira, ayah gadis itu. Berharap sesekali Wira datang tak sendiri. Nyatanya harapan hanya tinggal harapan. Hal yang sangat diharapkan kadang kala tidak pernah terjadi. Karena apa? Entah lah. Namanya juga takdir. Lagi-lagi memang hanya Tuhan yang benar-benar tahu apa yang terbaik bagi hamba-Nya. "Apa kabar lo? Gilaak! Udah balik ke Indo kagak ngasih kabar!" Ardan masih heboh. Ia menepuk punggung Adit saking kangennya. Sahabatnya ini sudah jarang memberi kabar. Tidak seperti dulu. Walau Ardan paham tapi rasanya berbeda karena ini persahabatan dan tak ada urusannya dengan saudara kembarnya. Ia juga selalu mengunci mulutnya tiap bertemu Adit. Tak sepatah kata pun mengeluarkan nama Dina. Sebaliknya juga. Ia tak mau membuat saudara kembarnya yang paling sableng tapi disayang banget itu sedih. "Ada urusan?" Ardan mengangguk. "Biasa lah, lagi banyak proyek. Hampir tiga minggu kagak balik-balik ke rumah, gue udah kayak bang Toyib," tuturnya sambil berjalan menuju kantin. Adit terbahak dibuatnya. Bang Toyib sih tiga kali lebaran kagak pulang-pulang, Dan...Dan..... Ternyata sahabatnya ini belum berubah. Apalagi muka lawak yang lebih dominan dari tampangnya yang cukup ganteng itu. Yeah, cukup ganteng lah. Kalau Ardan sangat ganteng dan juga lucu nanti kasihan sama yang ganteng tapi gak lucu. Hihihi. "Udah di kantor, Pa," tuturnya usai mengangkat telepon dari Papanya. Adit hanya mengaduk-aduk es teh manisnya seraya menatap Ardan yang gak manis. Secara fisik, Ardan masih sama. Masih sableng bin tengil. Masih kurus bin ceking. Apalagi ya? Ya, anggap saja masih sama. Walau mungkin dompetnya lebih tebal sekarang dibandingkan dengan dua tahun lalu. "Iya, tapi Ardan makan dulu, Pa. Laper tadi gak sempat makan di pesawat," alasannya padahal sih mabok di pesawat sampai-sampai pramugarinya agak-agak jengkel mengurusnya. Karena apa? Karena mengira kalau cowok model Ardan ini modus saja. Apalagi gampangnya juga tidak meyakinkan. "Nanti mungkin jam dua, Pa. Ardan juga belum lapor Pak Ihsan." Adit menatapnya lurus. Saat acara telepon itu sudah selesai, Ardan kembali menatapnya. Tangannya mulai memasukan lagi sesendok nasi ke dalam mulut. Kemudian menatap Adit yang masih terpaku. "Gue dengar rumah lo jual." Adit tersadar. Ia menghela nafas lantas sok sibuk dengan meneguk es teh manisnya. "Lo gak berniat balik lagi ke Jakarta? Mau jadi orang Makassar secara resmi?" Adit menimbang-nimbang. Ia tampak berpikir sebelum menjawab pertanyaan berat itu. Ardan hanya menyimak reaksi keengganan Adit yang terlalu kentara. Sahabatnya ini tak bisa menyembunyikan apapun karena dijidatnya tertulis jelas 'galau dan patah hati akut'. Mungkin kalau ada rumah sakit cinta, ia akan melarikan Adit ke sana karena sudah darurat. Atau ia juga perlu bergabung? Eh! "Gue bakalan pindah-pindah kerja. Bingung juga kalau di biarin begitu. Mending gue jual. Rumah bisa dibangun lagi," tuturnya dan ia tampak menghindari tatapan Ardan. Ardan mengangguk-angguk. Obrolan keduanya memang tampak serius kali ini. Bukannya karena Ardan tak mau melawak tapi ia merasa aura serius milik Adit mulai menguar. "Tapi bagaimana pun suatu saat nanti, lo pasti akan menetap. Entah di mana dan dengan siapa." Adit terpaku sebentar. Ya, kata-kata Ardan memang benar. "Lo sendiri?" ia melempar tanya. Malas saja rasanya kalau hanya membicarakan hidupnya yang tampak hampa dua tahun belakangan ini. Ardan menarik nafas. Ia mengelus-elus dagunya. Wajahnya tampak serius karena berpikir tapi entah kenapa membuat Adit malah ingin tertawa. Ia menggelengkan kepala dengan senyuman tipis. "Emak gue gak berhenti nyuruh gue beli rumah." "Kenapa?" Ardan mengendikan bahu. Wajahnya masih sok serius. "Mungkin mau pacaran lagi sama bokap. Biar gue dapat adik baru." Adit terbahak. Ia geleng-geleng kepala bahkan tak habis pikir dengan jalan pikiran Ardan. Ia juga penasaran, apa yang sebetulnya ada dipikiran Ardan hingga kata-kata yang keluar dari mulutnya memang absurd tapi....tetap menghibur. @@@ "ADIIIITT!" Suara cempreng milik gadis berkerudung dari kejauhan membahana. Begitu sosok itu muncul, Ardan langsung menyenggol lengan Adit, minta dikenalkan. Lumayan, pikirnya. Gadis ini cantik dengan muka yang mungil. Dan omong-omong itu tipenya Ardan. Yeah, hampir semua cewek tipe Ardan sih. Hihihi. Sialnya, hampir semua cewek tidak mengharapkan lelaki setipe Ardan untuk menyukai mereka. Hahaha! "Akhirnya ketemu lo lagi, Diiiit," ia heboh sendiri lantas mengambil duduk di depan Adit. Adit cuma terkekeh. Ia sih sudah dengar kalau gadis ini masuk ke kantornya setelah melewati masa pelatihan tiga bulan di kantornya. Khusus di kantor cabang Makassar, pegawai dengan posisi tertentu memang akan diikutkan pelatihan dulu di Jakarta untuk bisa ditempatkan di sini. "Ada yang mau kenalan nih," tutur Adit lantas mengerling ke arah Ardan yang langsung memasang tampang ganteng. Tapi sayangnya, cewek itu hanya melirik sekilas lantas fokus menatap Adit lagi. Hal yang membuat Adit mati-matian menahan tawa sementara Ardan ngelus d**a. Kurang ganteng gimana lagi coba si Ardan? Apa tadi telat masang tampang gantengnya? Apa hanya wajah lawannya yang terlihat? Tapi kenapa gadis ini bahkan tidak terpesona? Ya Allaaaaaah....apa dosanya? "Tungguin gue makan dong, Dit," pintanya yang tentu saja diiyakan. Adit dan Ardan memang duduk di bangku kantin. Keduanya baru saja hendak beranjak. "Temennya Adit?" Ardan bersuara. Walau agak bete karena sempat diabaikan. Setidaknya, ia boleh menyapa dong? "Emang iya ya, Dit?" Ia malah melempar tanya pada Adit. Kontan saja Adit terbahak. "Namanya Indriana, Dan," tuturnya kemudian. Oooh. Ardan mengangguk-angguk. Sudah hilang ketertarikannya karena diabaikan gadis ini. Yaa kalau agak tersinggung dengan sikap gadis itu, Ardan akui. Tapi, ia bukan orang yang mau menyimpan dendam. Jadi, ia hanya bertingkah biasa saja. Anggap saja tak ada yang terjadi tadi. Dan lagi, ia sudah sering diperlakukan seperti ini. Padahal gampangnya cukup ganteng. Dibandingkan Adit, jelas Ardan ganteng dikit. Paling beda lima poin sama Adit tapi kan lima poin itu besar bagi Ardan. Hanya saja, Ardan juga bingung di mana letak kesalahannya. Apa ia terlalu lawak? "Kenal waktu di Belanda. Dia lagi S2 di sana." "Oh. Sekarang kerja?" "Menurut L?" jawabnya yang membuat Adit nyaris tersedak. "Kok temen lo gak ada yang keren sih, Dit?" dumelnya pada Adit. Ardan langsung tersinggung dibilang begitu sampai berdeham keras. Gilaaak! Baru kali ini ia dikatain cewek di depan mata! Biasanya? Di samping sih. Hihihi! Adit sudah tak sanggup memberikan jawaban. Cowok itu benar-benar terbahak dibuatnya. Sementara gadis itu tersenyum tipis. Senang melihat Adit tertawa sampai segitunya. Selama kenal Adit di Belanda, ia tak pernah melihat Adit tertawa begitu lepas seperti saat ini. "Iya? Halo?" Ardan menjawab telepon sampai terbatuk-batuk. Tiba-tiba saja ponselnya berbunyi. Ia tak melihat siapa yang menelepon. Begitu mendengar suara Papanya ia melirik layar ponselnya sekilas kemudian kembali menaruhnya ditelinga. "Ya udah. Ardan ke rumah sakit sekarang, Pa," tuturnya kemudian menutup telepon. Sepertinya ia harus membatalkan agenda hari ini. Berhubung ada urusan yang lebih darurat. Adit langsung menghentikan tawa saat mendengar kata-kata Ardan barusan. "Ada apa, Dan?" "Sorry, gue cabut dulu, Dit. Urgent!" tuturnya lantas segera berlari. Tahu-tahu Ardan sudah menaruh dompetnya juga ponselnya disaku. Lupa pula membayar makanannya. Tapi itu bisa diambil alih oleh Adit. Sementara Adit kehilangan nafsu makannya. Menduga-duga perasaan yang tidak enak yang kini menyeruak di d**a. Apa yang terjadi? Sesuatu yang buruk kah? Tapi apa? Apa kabar lo, Din? @@@
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN