Bertemu Adib

1089 Kata
Neri mengerut kening mendengar jawaban Adib. “Kenapa harus melalui kakek Mas Adib?! Mengapa tidak boleh menghubungi Mas Adib langsung?!” tanya Neri. “Biar Kakek tahu kalau kita masih saling berhubungan. Sehingga saya tidak usah memberitahu kakek kalau perjodohan kita berjalan lancar,” ujar Adib. Adib berusaha bersikap sopan dan ramah di depan gadis itu. Padahal di dalam hatinya ia sangat kesal sekali karena ia tidak ingin dijodohkan oleh kakeknya. Ia masih ingin mengembangkan bisnisnya. Bagi Adib tidak ada waktu untuk berpacaran. “Oh, begitu. Baiklah kalau itu yang Mas Adib inginkan,” kata Neri. “Saya pamit. Assalamualaikum.” Adib membawa plastik putih tersebut lalu pergi meninggalkan Neri. “Mas Adib!” Neri memanggil Adib. Adib mendengar Neri memanggilnya. Ia pun berhenti berjalan. ‘Ada apa lagi, sih?’ Entah mengapa Adib merasa kesal ketika Neri memanggilnya. Kemudian ia pun membalikkan badan dan memasang wajah yang ramah. “Tungguin, dong. Kita bareng ke depan.” Neri menyelempangkan tas dan mengambil telepon seluler yang berada di atas meja. Kemudian ia berjalan menghampiri Adib. “Ayo.” Neri merangkul tangan Adib dengan mesra seperti seorang kekasih. Mereka pun berjalan meninggalkan restaurant tersebut. Ketika Adib melewati lorong hotel tempat Siti menangis, Siti sudah tidak ada di sana. Ia sudah masuk ke dalam toilet. Adib dan Neri berjalan menuju lobby hotel. Di depan lobby hotel ada sebuah mobil Audi A7. Mobil itu adalah milik Neri. Adib membukakan pintu penumpang bagian belakang. “Dah. Sampai ketemu lagi Mas Adib.” Neri mencium pipi kiri dan pipi kanan Adib lalu masuk ke dalam mobil. Adib menutup pintu mobil. Mobil itu meluncur meninggalkan hotel. Adib bernapas lega, akhirnya ia bisa terlepas dari Neri. Ia pun berjalan kaki menuju ke resto miliknya yang terletak beberapa ratus meter dari hotel tersebut. . . Pukul dua kurang seperempat Siti menuju ke resto Omar untuk wawancara pekerjaan. Namun, sebelum wawancara pekerjaan ia harus mencari orang yang bernama Adib untuk mengambil kue yang tertinggal di restaurant. Siti menghampri petugas kasir. “Mbak, saya mau ketemu Pak Adib. Saya mau mengambil kue milik saya yang diambil oleh Pak Adib,” ucap Siti. “Tunggu sebentar, Mbak. Saya hubungi Pak Adib dulu,” kata Indah. Indah mengangkat horn intercom lalu menghubungi Adib melalui intercom. Indah berbicara dengan Adib melalui intercom. Siti menunggu sampai Indah selesai berbicara. Akhirnya Indah mengakhiri pembicaraannya. “Mbak diminta untuk ke ruangan Pak Adib,” kata Indah. “Ruangannya dimana?” tanya Siti. “Tunggu sebentar. Saya cari orang untuk mengantarkan Mbak ke ruangan Pak Adib.” Indah mengedarkan pandangannya mencari seseorang. Kemudian ia melambaikan tangan kepada salah satu pelayan resto. Pelayan itu menghampiri Indah. “Tolong antarkan Mbak ini ke ruangan Pak Adib. Dia hendak mengambil kue yang dibawa oleh Pak Adib,” ujar Indah kepada pelayan itu. “Baik, Mbak,” jawab pelayan itu. Kemudian pelayan itu mengajak Siti menuju ruang kerja Adib. Siti mengikuti pelayan itu. Pelayan itu berjalan ke sebuah ruangan yang berada di dekat dapur resto. Pelayan itu membuka pintu lalu masuk ke dalam ruangan. Ternyata ruangan itu adalah sebuah kantor. Di dalam ruangan tersebut ada beberapa orang karyawan yang sedang bekerja. “Ayo masuk, Mbak.” Pelayan itu mengajak Siti masuk ke dalam ruangan. Kemudian ia mengajak Siti ke sebuah pintu yang berada di ujung ruangan. Pelayan itu mengetuk pintu. “Masuk!” Terdengar suara laki-laki dari dalam ruangan. Pelayan itu membuka pintu. Ia menampakkan wajahnya ke ruangan itu. “Pak, ada yang mau bertemu dengan Bapak. Ia mau mengambil kue yang Bapak bawa,” kata pelayan itu. “Suruh dia masuk!” ujar Adib. Pelayan itu membuka pintu agak lebar. “Silahkan masuk, Mbak,” kata pelayan itu. Siti masuk ke dalam ruang kerja Adib. Namun, ia tidak langsung masuk. Ia memperhatikan ke sekeliling ruangan. Ia berhati-hati takut memasuki sarang penjahat. Di dalam ruang tersebut hanya ada seorang laki-laki muda yang usianya sekitar tiga puluh tahun. Laki-laki itu sedang duduk di belakang meja kerja. Di adalah Adib Omar pemilik resto ini. Di atas meja kerja Adib ada kantong plastik yang Siti kenal. Adib mengalihkan pandangannya dari laptop. Ia melihat Siti yang sedang berdiri di depan pintu. Adib mengerut kening melihat Siti yang masih berdiri di depan pintu. “Silahkan masuk!” ujar Adib. Siti pun masuk ke dalam ruang kerja Adib. Adib berdiri dari kursi kerjanya lalu menghampiri Siti. “Silahkan duduk!” ujar Adib. Siti duduk di salah satu sofa yang berada di ruangan tersebut. Adib mengambil kantong plastik yang berisi kue lalu ia letakkan di atas meja. “Ini milik kamu?” tanya Adib. Siti melihat ke plastik tersebut dan memperhatikan kantong plastik tersebut. Jika diperhatikan kantong plastik itu mirip seperti yang tadi ia bawa. “Iya, Pak,” jawab Siti. “Kalau boleh tahu isi kantong plastik ini apa, ya?” Adib sengaja memancing Siti untuk memastikan apakah benar Siti pemilik kue tersebut. “Isinya kue, Pak. Kue bolu pandan yang dihiasi dengan cream putih dan ada tulisannya ‘I Love You’,” jawab Siti. “Kita buka kotak ini. Kita lihat apakah benar isinya seperti yang kamu katakan.” Adib mengeluarkan kotak kue dari dalam kantong plastik. Kemudian ia membuka kotak kue tersebut. Isi kotak kue sama seperti yang dikatakan oleh Siti. “Saya penasaran dengan rasa kue ini. Boleh saya coba?” tanya Adib. “Boleh. Kalau mau Bapak ambil semuanya juga boleh,” jawab Siti dengan tenang. Adib mengerut kening mendengar jawaban Siti. “Loh kok, jadi untuk saya? Bukankan kue ini baru kamu beli?” tanya Adib. “Bukan beli. Saya buat kue itu sendiri,” jawab Siti. “Oh, ya? Saya jadi tambah penasaran seenak apa kue ini.” Adib beranjak dari sofa menuju ke meja kerja. Ia menghubungi seseorang dengan menggunakan intercom. “Tolong bawakan pisau kue, piring kue dan garpu ke sini!” Adib meletakkan kembali horn intercom. Kemudian ia kembali ke sofa. Tidak lama seorang pelayan resto datang memberikan nampan yang berisikan piring kue, pisau kue dan garpu kecil. Adib memotong kue tersebut dan diletakkkan di atas piring. Adib mengambil sepotong kue dengan menggunakan garpu kecil lalu menyuapkan ke mulutnya. Adib mengunyah kue tersebut. Siti memperhatikan Adib yang sedang memakan kue. Ia bingung mengapa bos resto semewah ini tertarik dengan kue buatannya. “Tektur kue lembut. Rasa manisnya pas. Ada aroma daun pandan dan wangi daun suji ketika dikunyah.” Adib memberikan komentar tentang kue yang dibuat oleh Siti. “Itu karena saya buat menggunakan daun pandan dan daun suji asli. Bukan dari perasa buatan,” kata Siti. Adib memicingkan matanya dengan tatapan tidak percaya. “Oh, ya?”
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN