Siti mengangkat kedua bahunya. “Terserah kalau Bapak tidak percaya dengan perkataan saya.” Ia tidak perduli Adib mau percaya atau tidak dengan perkataannya. Karena kedatangannya ke sini adalah untuk melamar menjadi sekretaris bukan melamar untuk menjadi pembuat kue.
Adib meletakkan garpu di piring lalu ia mengelap mulutnya dengan tissue. “Begini. Saya sedang mencari pembuat kue khusus untuk kue bercitra rasa Indonesia yang akan dihias dan ditata seperti kue-kue Eropa,” ujar Adib.
Siti mendengarkan perkataan Adib, ia tidak berusaha untuk mencela. Ia membiarkan Adib menyelesaikan perkataannya.
“Besok kamu bawa berbagai macam kue buatanmu yang bercitra rasa Indonesia. Jika rasa, tektur, kualitas dan bentuk kue buatanmu sesuai dengan quality control resto ini maka kamu akan saya terima sebagai chef khusus untuk kue bercitra rasa Indonesia di resto ini,” lanjut Adib.
Siti menarik napas dalam-dalam sebelum menjawab perkataan Adib. “Saya memang sedang melamar pekerjaan di resto ini. Namun, bukan sebagai pembuat kue. Saya melamar sebagai sekretaris,” kata Siti.
Adib kaget mendengar perkataan Siti. “Kamu melamar sebagai sekretaris?!” Adib memicingkan matanya. Ia memperhatikan Siti dari ujung rambut sampai ujung kaki. Penampilan Siti tidak mirip seperti seorang sekretaris. Biasanya seorang sekretaris berpenampilan menarik, tapi penampilan Siti terlalu sederhana.
Tubuh Siti terlihat berisi. Tangan dan jari tangannya juga berisi. Pipi Siti terlihat chubby. Rambut dikuncir kuda seperti anak sekolah. Pakaian yang digunakan oleh Siti mirip seperti seragam pelayan restaurant. Sepatu yang digunakan Siti adalah sepatu dengan model pantofel dengan tinggi hak dua centimeter. Adib menggeleng-geleng kepala melihat penampilan Siti.
“Kenapa, Pak? Ada yang aneh?” Siti memperhatikan penampilannya.
“Tidak,” jawab Adib.
Adib beranjak dari sofa menuju ke meja kerja. “Nama kamu siapa?” Adib mengambil map yang berisi dokumen surat lamaran.
“Siti Komariah,” jawab Siti.
Adib membuka map satu persatu mencari nama Siti. Akhirnya ia menemukan surat lamaran Siti. Ia membaca Curriculum Vitae milik Siti. Di Curriculum Vitae tertulis kalau Siti lulusan dari Universitas swasta yang cukup terkemuka di Bandung. Siti mengambil jurusan Bisnis. Ia lulus Cumlaude dengan angka IPK yang cukup mencengangkan yaitu 3,79.
‘Dia pintar juga,’ puji Adib di dalam hati.
Adib melanjutkan membaca Curriculum Vitae Siti. Tiba-tiba Adib mengerutkan kening ketika membaca sedang membaca Curriculum Vitae. Ternyata Siti belum mempunyai pengalaman kerja. Namun, di Curriculum Vitae tertulis kalau Siti memiliki keahlian berbicara tiga bahasa. Yaitu bahasa Inggris, Jepang dan Mandarin. Adib benar-benar terkejut dengan keahlian yang dimiliki oleh Siti.
‘Kita lihat apakah dia benar-benar menguasai ketiga bahasa itu,’ kata Adib di dalam hati.
“Siti, kamu duduk di sini.” Adib menunjuk ke kursi yang berada di depan meja kerja. Siti beranjak dari sofa lalu ia duduk di kursi yang ditunjuk oleh Adib.
“Saya akan mewawancarai kamu sekarang.” Adib duduk di kursi kerja lalu ia mulai mewawancarai Siti.
Adib menanyakan semua yang ia ingin ia ketahui dari calon sekretaris baru. Termasuk alasan mengapa Siti begitu berani melamar menjadi sekretaris? Padahal Siti belum mempunyai pengalaman kerja. Siti mengatakan jika selama ini ia membantu bisnis toko kue milik orang tuanya. Sekarang ia melamar kerja karena ia ingin bekerja di kantor seperti perempuan-perempuan seusianya.
Hingga akhirnya Adib selesai mewawancarai Siti. Ia sudah mengambil keputusan dari hasil mewawancarai Siti.
“Baiklah Siti, kamu diterima bekerja sebagai sekretaris saya,” ujar Adib.
Mata Siti berbinar-binar dan bibirnya tersenyum gembira. Ia tidak menyangka akan diterima bekerja. “Terima kasih, Pak,” ucap Siti.
“Tapi saya berharap kamu mengajarkan resep-resep kue andalan kamu kepada pembuat kue kami,” ujar Adib.
“Tentu saja, Pak. Dengan senang hati saya akan membantu,” jawab Siti.
Adib berdiri dari tempat duduk lalu mengulurkan tangan. Ia mengajak Siti untuk bersalaman. Siti pun berdiri dari tempat duduk lalu menyalami tangan Adib.
“Selamat bergabung di perusahaan kami,” ucap Adib.
“Terima kasih, Pak,” ucap Siti.
Kemudian Siti pun pamit pulang karena Siti baru mulai bekerja besok. Namun, baru saja beberapa langkah meninggalkan tempat duduk Adib memanggil Siti.
“Siti!”
Siti menghentikan langkahnya lalu membalikkan badan. “Ya, Pak. Bapak manggil saya?” tanya Siti.
“Kue mu ketinggalan.” Adib menunjuk ke kotak kue yang berada di atas meja sofa.
Siti menghela napas. Sebetulnya kue itu ia buat untuk Beni, tapi Beni malah memutuskan cinta-nya. Siti sudah tidak memerlukan kue itu lagi.
“Untuk Bapak saja. Saya tidak memerlukan kue itu,” jawab Siti. Siti pun membalikkan badan dan meninggalkan ruang kerja Adib.
.
.
Keesokan hari, Siti berangkat ke kantor pagi-pagi sekali. Ia tidak ingin telat di hari pertama masuk kerja. Sesampai di sana pintu resto sudah dibuka. Ada beberapa orang karyawan yang sedang membersihkan resto. Sepertinya karyawan kantor belum ada yang datang. Siti memutuskan duduk di kursi di dekat pintu.
Beberapa menit kemudian karyawan kantor mulai berdatangan. Siti tidak tahu harus menemui siapa, karena ia tidak tahu staf SDM yang mana. Ia memutuskan untuk menunggu Adib.
Ketika Siti sedang memperhatikan karyawan yang datang, tiba-tiba Siti melihat Adib masuk ke dalam resto. Cepat-cepat Siti beranjak dari tempat duduk lalu menghampiri Adib.
“Selamat pagi, Pak,” ucap Siti.
Adib menoleh ke arah Siti. “Kok, kamu masih di sini?” tanya Adib.
“Saya tidak tahu dimana meja kerja saya,” jawab Siti.
“Ayo ikut saya!” ujar Adib.
Siti mengikuti Adib, mereka menuju ke kantor resto. Di dalam kantor sudah banyak karyawan yang datang. Adib memperkenalkan Siti kepada semua karyawannya. Setelah itu ia mengajak Siti menuju ke meja kerja Siti.
“Ini meja kerja kamu.” Adib menunjuk ke meja yang berada di depan ruangan Adib. Adib memberitahu apa saja yang harus dilakukan saja yang harus dilakukan oleh Siti. Siti mendengarkan semua perkataan Adib dan mencatat di buku catatan agar ia tidak lupa. Setelah memberitahu semuanya, Adib masuk ke dalam ruangannya. Siti duduk di kursi kerja dan ia mulai bekerja.
.
.
Pada suatu hari Adib memanggil Siti ke ruang kerja-nya. Siti duduk di kursi yang berada di depan meja Adib. “Begini, Sit. Saya minta kamu menemani saya,” ujar Adib.
“Menemani Bapak ke mana?” tanya Siti.
“Ke acara makan malam keluarga saya,” jawab Adib.
Siti mengerutkan keningnya mendengar pekataan Adib. Mengapa harus ia yang menemani Adib? Mengapa bukan kekasih Adib yang menemani ke acara keluarga? Acara makan malam keluarga Adib tidak ada hubungannya dengan urusan pekerjaan. Sehingga bukan tugas Siti untuk menemani Adib ke acara makam malam keluarga Adib.
“Kenapa harus saya? Kenapa Bapak tidak mengajak kekasih Bapak saja?” tanya Siti.