Bab 4

2022 Kata
Rumah berbentuk panggung dengan dinding kayu menyambut. Rengga mengamati tempat tinggalnya yang baru. Tempat yang jauh dari apa ekspektasinya. Rengga menarik kopernya, menatap beberapa rumah penduduk yang tidak jauh dari rumahnya. Mereka benar-benar memiliki rumah yang sama dengan dinding kayu. Bahkan di tempat ini jarang sekali rumah berdinding batu bata. Kata Raden, harga bahan bangunan mahal sekali. Bahkan hampir semua barang, harganya mahal jika dibeli di sini. Mereka masuk ke dalam rumah, ukurannya cukup luas dengan ruang tamu di bagian paling depan. Tidak ada kursi atau meja, yang ada hanya sebuah tikar dengan sapu lidi kecil di pojokan. Disamping ruang tamu, ada dua ruangan kamar, yang paling depan akan menjadi kamarnya. Baru dibuka pintunya, debu mengudara kemana-mana. Raden memang sudah sempat membersihkannya, namun masih belum tuntas karena kamar sebelah memang tidak pernah digunakan. Rengga masuk, mungkin perlu waktu untuk membersihkan debu di kamar. Dia bisa melihat betapa kumuhnya kamar ini. Aroma apek dan debu tebal seakan memperjelas semuanya. Kamar yang ukurannya tidak ada apa-apanya dengan kamarnya. Kamarnya bahkan bisa lebih luas daripada ini, dengan perabotan yang bermerek dan fasilitas lengkap. Di kamar ini, hanya ada ranjang reyot yang sudah berdecit ketika dia duduki, ada juga lemari kayu usang di pojok ruangan, sebuah meja kayu dan kursi. Ada juga saklar lampu warna kuning dan terminal listrik yang ada satu. Rengga tidak tahu harus memulai dari mana. Tetapi kamarnya sungguh memprihatinkan. Tidak ada apapun yang sekiranya bisa menghiburnya atau dia gunakan sebagai hiburan dikala bosan. Gorden rajutan yang menutupi jendela kayu sengaja dia lepas. Udara akhirnya bisa masuk juga ke dalam kamar. Rengga meletakkan gorden itu di bawah, mungkin dia harus mencuci gorden dan juga sprei. Untungnya dia membawa sprei dari rumah. "Dek, mau bersih-bersih sekarang? Tak ambilin sapu nih. Mau dibantu enggak?" Tanya Raden yang meletakkan sapu di depan pintu. "Enggak usah Kak, ini cuma sedikit kok. Oh iya Kak, aku mau ngisi baterai, tapi kok listriknya enggak nyala, ya?" Tanya Rengga karena daya di ponselnya tidak bertambah. "Kamu Dek, ada-ada aja. Jam segini mana ada listrik. Di sini listrik hidup dari jam enam malam sampai jam enam pagi. Kamu harus terbiasa ya, awalnya saja yang berat, tapi setelah itu kamu bakalan betah." Jawab Raden yang membuat Rengga buru-buru menatap jam tangannya. Sekarang masih jam tiga sore, dan itu artinya masih lama untuk mengisi daya ponselnya yang hampir mati. Rengga menghela napas panjang, di era modern seperti ini, masih ada daerah yang dibatasi penggunaan listriknya. Lalu apa kabar dengan kehidupan masyarakat jika tidak ada barang elektronik yang bisa mereka gunakan ketika siang hari. "Terus aktivitas warga di sini gimana, Kak? Kalau enggak ada listrik kan jadinya susah. Mereka kalau mau telepon atau kirim pesan? Terus komputer?" Tanya Rengga penasaran. Lagi-lagi Raden tertawa. Seperti ada yang lucu dari pertanyaan yang dirinya tanyakan. Rengga tampak bingung, mengapa tinggal di daerah seperti ini menyusahkan juga. Ya, dia mengakui untuk masalah orang-orangnya sangat ramah, namun ketika menginjak masalah teknologi sangat-sangat kurang. "Di sini belum banyak yang punya HP, Dek. Apalagi kamu bilang komputer itu, mereka malah merasa heran dengan adanya komputer. Namanya juga orang belum pernah, jadi aneh aja mungkin. Anak-anak di sini juga belum terjangkit virus sosial media. Jadi mudah untuk kita membina dan jauh dari kata gaul. Sekali-kali coba kamu jalan-jalan, sapa mereka. Pasti mereka langsung antusias." Ucap Raden mengarahkan. Rengga mengangguk, dia bersyukur memiliki rekan yang baik seperti Raden yang tidak segan-segan untuk mengarahkannya. Itu yang Rengga butuhkan, pengarahan dan juga pengertian dari orang-orang sekitarnya. Rengga kembali dengan aktivitas bersih-bersihnya. Semua benda yang berdebu dia bersihkan dengan telaten. Dia adalah orang yang mencintai kebersihan meskipun selama di rumah, ada pembantu yang membersihkan segalanya. Namun sekarang? Dia dituntut untuk mandiri. Melakukan apapun sendirian. Perlahan ruangan itu mulai kembali bersih dengan tatanan baru yang sengaja Rengga tata sesuka hatinya. Ada beberapa perabotan yang sudah reyot seperti kursi kayu yang sengaja dia keluarkan dari kamar. Alat-alat elektronik sederhana seperti speaker tampaknya tidak akan berguna di sini. Listrik saja susah, apalagi mau memutar musik. Dia terlalu sayang dengan daya baterainya dibanding dengan memutar musik. Padahal biasanya, Rengga selalu mendengarkan musik ketika sedang lelah. Tirai berdebu dan juga kelambu sudah beralih ke dalam pelukannya. Kaos warna hitam yang tadinya bersih, penuh dengan sarang laba-laba. Rengga membawa tirai dan kelambu itu keluar dari kamar. Bertanya pada Raden tentang di mana kamar mandi dan di mana mereka akan mencuci. Sejenak Rengga tertegun dalam keheranan. Bagaimana bisa tempat ini dijadikan mandi sekaligus tempat mencuci? Ada bilik lumayan besar tanpa atap yang jaraknya lumayan jauh dari rumah mereka. Berupa dinding semen yang melingkar tanpa pintu atau tirai sama sekali. Rengga meletakkan tirai dan kelambu kotor itu di dalam ember dekat sumur. Baru kali ini dia melihat sumur yang bisa digunakan mata airnya. "Duh..." Keluh Rengga seraya memegang erat bak mandi semen yang berada di dalam kamar mandi. Hampir saja dia jatuh ke lantai karena licin. Pantas saja dirinya hendak jatuh, jika dilihat lantainya saja sudah berlumut. Ada tumbuhan liar yang sudah tumbuh di dinding. Benar-benar kamar mandi dengan suasana alam. Air di bak mandi penuh, sedikit kotor karena dedaunan yang gugur dari pohon terbawa angin dan jatuh di bak. Ada juga hewan kecil seperti cacing yang berada di pinggir kamar mandi. Rengga bergidik, seperti inikah kondisi rumahnya? Bagaimana bisa, teman-teman kerjanya berebut hanya untuk hidup seperti ini? Tunjangan sebesar apapun tampaknya akan terkalahkan dengan kondisi yang baru saja dia alami. Hidup berkecukupan dan biasa tinggal di tempat yang layak, mungkin tempat ini adalah tempat yang baru untuknya. Lingkungannya begitu kumuh dan kotor. Tidak seperti di kota dengan fasilitas yang begitu banyak dan beragam. Bahkan hanya sekedar mandi saja harus berusaha menimba sendiri. Tidak ada saluran air yang langsung ke rumah warga tanpa menimba terlebih dahulu. "Mau ngapain, Dek? Hati-hati lho, lantainya licin soalnya banyak lumutnya." Peringatan Raden itu seperti angin lalu bagi Rengga. Dia hanya menaikkan jempolnya ke udara. Rengga sedikit marah dengan keadaan. Dia kesal dengan dirinya sendiri karena tidak bisa menolak ketika si pemilik rumah sakit yang memintanya untuk bertugas. Dia sama sekali tidak habis pikir, mengapa ada orang yang mau tinggal di tempat yang terpencil seperti ini? Sebisa mungkin Rengga menguasai dirinya. Sifat badmoodnya berusaha dia hilangkan, setidaknya ketika dia berada di sini. Karena sekarang bukan hanya tentang dirinya, namun nama baiknya juga. Jika di sana bisa bersikap masa bodoh karena di kota nyatanya orang-orangnya seperti itu. Namun ketika dirinya berada di sini, mau tidak mau harus mengikuti cara orang di sini. "Iya Kak, ini mau nyuci. Tapi bingung gimana nyucinya." Ucap Rengga seraya menggaruk tengkuknya yang tidak gatal. Raden turun, memakai sandal jepit lusuh yang berada di bawah rumah. Laki-laki itu mendekat ke arah Rengga yang berdiri sambil menenteng ember berisi tirai dan juga kelambu kotor tadi. "Nyuci di depan aja sini. Lah pakai aja kursi kayunya terus di tempat itu ada sabun cuci. Semuanya serba manual Dek Rengga, enggak kaya di kota, apa-apa ada. Jadi, harus banget menyesuaikan diri, Dek." Ucap Raden menasehati. Rengga mengangguk, mengambil posisi untuk mencuci. Meskipun tidak pernah mencuci menggunakan tangan, setidaknya Rengga tahu caranya. Sejak kecil memang dia dididik menjadi pribadi yang mandiri. Ditambah lagi pengalaman menjadikannya dewasa. Mungkin rasanya begitu asing, tempat ini tidak terlalu menyenangkan dan cukup membosankan. Rengga lebih suka hiruk pikuk rumah sakit yang selalu ramai dengan pasien. Dia rindu mendorong brangkar ketika pasien akan masuk ke ruangan UGD. Dia juga rindu suasana rumah sakit yang syarat dengan aroma obat-obatan yang menyeruak. Rasanya aneh ketika harus keluar dari rumah sakit dan tinggal bersama dengan masyarakat yang sama sekali tidak dikenalnya. Entah mengapa pengabdian seperti ini bukanlah menjadi minat dan impian Rengga sejak kecil. Rengga selalu menghindari pekerjaan yang membawanya jauh dari keluarga. Seperti yang selalu dia rasakan dulu, ketika Papanya bolak-balik keluar kota untuk tugas. Tahu sendiri bagaimana abdi negara? Jarang pulang dan jarang memberikan kabar. Dia tidak mau seperti itu. Namun pada kenyataannya, Rengga dibawa kesini untuk mengabdi. Dia bukannya tidak mau, namun pengabdian selalu berhubungan dengan meninggalkan orang tersayang. Seperti yang dia lakukan sekarang. Penuh dengan keterpaksaan karena sebenarnya Rengga tidak suka. Rengga tidak mau, namun tetap dipaksa berangkat. Semua orang tampak menyanjungnya. Padahal, pada kenyataannya, ini bukanlah kemauannya. Dia tidak sepeduli itu, tidak pula semulia itu. Dia hanya menjalankan tugas yang telah diberikan atasannya dan untuk mengamankan posisinya. Itu saja! Setelah selesai dengan mencuci sambil meratapi nasibnya, Rengga masuk ke dalam rumah. Didapati Raden sedang duduk di dapur dan sedang memotong-motong tempe. Rengga menghampiri Raden untuk membantu, walaupun dia sendiri tidak tahu masalah dapur. "Kak, mau dibantuin enggak?" Tanya Rengga yang ikut duduk di depan Raden. "Boleh. Kamu bisa ngiris cabe enggak?" Tanya Raden balik. Rengga sedikit tersenyum lucu, dia tidak pernah melakukan pekerjaan dapur. Selama ini, Mamanya pun juga sering menyerahkan pekerjaan dapur kepada pembantu di rumah. Lagipula, dia tidak pernah berada di rumah. Sedangkan selama indekos, Rengga hanya bisa memasak mie dan telur saja. Selebihnya dia membeli makanan matang di luar. Raden yang paham hanya bisa tertawa. Laki-laki yang lebih tua darinya itu mengambil beberapa cabe, mengajarkan Rengga memotongnya. "Nah, gini caranya. Kamu bisa lanjutin kan?" Tanya Raden yang disambut anggukan kepala dari Rengga. Disela-sela acara masak mereka, diam-diam Rengga mengamati Raden yang sudah tampak biasa melakukan semuanya sendirian. Maklum, Raden sudah lebih setengah tahun tinggal di sini sendirian untuk membantu pelayanan kesehatan. "Kak, memangnya ada ya gas kaya gini? Kok selama ini aku enggak tahu ada gas yang mereknya ini sih?" Tanya Rengga menunjuk gas yang berada di bawah meja. Selama ini Rengga tidak pernah menemukan atau melihat yang seperti itu. Makanya, sekali melihat Rengga langsung tertarik. Raden mengalihkan pandangan matanya pada benda yang Rengga tunjuk. "Oh itu, di Indonesia memang enggak dijual. Itu dari Malaysia, Dek. Kamu jangan heran kalau apa-apa dibeli di Malaysia. Bahkan untuk kebutuhan dapur kaya gini, pedagang di sini kebanyakan belanja di saja dan dijual kembali di warung mereka." Jelas Raden. "Lho, memangnya enggak ada pasar Indonesia? Bukannya sebelum masuk ke desa ini ada beberapa pasar ya, Kak?" Tanya Rengga lagi. Dia sempat melihat beberapa pasar sebelum dia masuk ke desa ini. Lalu mengapa orang-orang di sini lebih memilih belanja diluar? "Itu kan lumayan jauh, Dek. Lagipula barang-barang yang dibeli di negara tetangga itu jauh lebih murah dari yang ditawarkan di pasar yang ada di sana. Kurangnya pasokan seperti gas elpiji seperti ini memang menjadi masalah. Kalau misalkan distribusi tidak sampai di sini atau paling tidak lama datangnya, mereka tidak bisa masak dong. Jadi, disiasati dengan membeli gas di negara sebelah. Mereka bukannya tidak cinta produk Indonesia, tetapi karena keterbatasan yang ada jadi harus mencari alternatif dari masalahnya." Jelas Raden kepada Rengga. Rengga mengangguk, dia paham bagaimana sulitnya akses di sini. Dia baru datang dan dia sudah tahu bagaimana sulitnya tinggal di sini. Seperti tempat yang terisolir. Jauh dari perkotaan dan tidak mempunyai fasilitas apapun. Sayangnya, Rengga tidak bisa banyak membantu. Dia hanya merasa prihatin, bagaimana nasibnya? Bagiamana orang-orang di sini hidup dengan banyak keterbatasan seperti ini. "Oh gitu, kehidupanku jauh lebih beruntung ternyata. Tapi sayangnya, aku belum tahu caranya bersyukur. Jadi, banyak ngeluhnya terus sampai sekarang." Ucap Rengga sambil membantu Raden memotong cabe. Raden hanya tertawa mendengar ucapan Rengga. Sudah lama tidak bercengkrama dengan orang lain di rumah. Selama ini Raden merasa sepi karena tidak memiliki teman. Namun sekarang, ada Rengga yang akan menemaninya dalam segala hal termasuk menangani orang yang sakit. Diam-diam Raden bersyukur karena diberikan teman seperti Rengga. Meskipun tampak manja dan tidak terbiasa hidup susah, namun Rengga bukan sosialita yang tahunya hanya duduk saja. Meski dilihat dari penampilannya, Rengga memang terlihat seperti anak orang kaya dan berada. Namun mau tidak mau Rengga ditempatkan di tempat yang seperti ini. Keluhan mungkin ada, namun tidak seperti yang diperlihatkan anak kota lainnya. Rengga cenderung cuek namun banyak tanyanya. "Kamu orang yang seru ternyata. Aku kira, teman yang akan diberikan untukku adalah orang yang sangat menyebalkan. Nyatanya, atasan memberikan aku teman yang nyambung denganku. Akhirnya aku bisa bersyukur dengan apa yang sudah diberikan untukku hari ini. Semoga kamu betah ya Dek Rengga, apapun masalahnya, kamu harus banyak-banyak cerita ke aku." Ucap Raden yang ditangguki dengan mantap oleh Rengga. Raden memang senior yang baik. Orang yang rela membantu dirinya dan menjelaskan satu-persatu yang tidak dia pahami. Setidaknya, ada orang yang mau peduli padanya meskipun hanya satu orang saja. ###
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN