Bab 5

2000 Kata
Matahari perlahan mulai bersinar di angkasa. Suara kokokan ayam di pagi hari menjadi alarm yang jarang sekali Rengga dengarkan ketika tinggal di perkotaan. Badannya cukup pegal karena tidak terbiasa tidur di kasur kapuk yang tipis. Ditambah lagi decitan tempat tidur yang selalu berbunyi ketika dirinya bergerak sedikit saja. Namun itu bukan masalah. Ketika tirai kamarnya dibuka, yang terlihat adalah kilau keemasan sang surya yang muncul malu-malu untuk menerangi bumi. Udara segar pedesaan ditambah dengan kabut tipis begitu sangat menenangkan. Suara warga yang hilir-mudik membawa bakul sudah dia dengar sejak suara adzan telah berkumandang. Rengga menutup pintu kamarnya setelah selesai dengan sholatnya, dia melihat Raden yang sudah selesai mandi sedang menjemur pakaian. Semua kegiatan di desa memang mulai aktif setelah adzan shubuh. Rengga yang biasanya bangun telat, harus terbiasa untuk bangun lebih pagi. Malu dengan tetangga sekitar jika lampu di rumah belum di padamkan. Baterai handphone sudah terisi penuh, begitu pula dengan laptop. Dia tidak mau menghabiskan waktunya dengan berdiam diri ketika listrik mulai padam sebentar lagi. Tidak ada lampu emergency yang sering dirinya temukan di rumahnya atau tempat yang ada di daerahnya. Semuanya serba sederhana. Sapaan beberapa warga ketika lewat di depan rumah pun dijawab Rengga dengan senyum tipis. Dia tidak tahu harus berbasa-basi seperti apa. Dia tidak pandai dengan hal itu. Nanti akan dia tanyakan kepada Raden yang sudah lama tinggal di sini. "Kak, mau ke klinik jam berapa? Aku mau mandi dulu." Tanya Rengga kepada Raden yang baru saja masuk ke dalam rumah. "Aku mau ke klinik sekarang, Dek. Nanti kamu nyusul aja setelah selesai mandi. Oh iya, nanti sore coba jalan-jalan keliling desa, siapa tahu jatuh cinta." Ucap Raden menggoda Rengga yang hanya menggaruk tengkuknya yang tidak gatal. Mungkin Raden mengetahui apa yang menjadi ganjalannya saat ini. Dia tidak sepenuh hati melakukan tugas di sini. Dia hanya menjalankan apa yang atasannya minta namun tidak benar-benar menyerahkan hatinya sepenuhnya. Pikirannya memang melayang kepada hal-hal tidak penting. Bahkan pertengkaran antara dirinya dengan Calista ikut ambil bagian dalam membuatnya bingung. Perempuan itu adalah bagian yang tidak bisa dia lupakan begitu saja. Temannya, orang yang membuatnya bangkit dari luka namun turut memberinya luka kembali. Jika mengingatnya kembali, membuat Rengga sedikit kesal dibuatnya. Dia tidak mengerti kemana jalan pikiran perempuan itu sampai membuat keputusan sepihak tentang dirinya. Tetapi, semua sudah terlanjur. Nasi sudah menjadi bubur. Dirinya sudah di sini, tidak bisa menyelesaikan masalah mereka yang berlarut itu. Setidaknya sampai dia kembali ke rumah. "Lah, malah bengong. Katanya mau mandi." Tegur Raden yang telah siap dengan kemeja rapinya. Rengga hanya nyengir, lalu buru-buru mengambil handuk dan pelengkapan mandinya. Sedangkan Raden hanya menggelengkan kepalanya tidak percaya. Sekarang, dia lebih mirip ibu-ibu yang meneriaki anaknya ketika berbuat salah. Dia tahu jika Rengga tidak benar-benar menginginkan berada di sini. Siapapun yang melihat gerak-gerik Rengga, pasti langsung tahu jika Rengga hanya mengharga mereka semua. Selama ini, Raden tinggal sendirian karena belum adanya tenaga kesehatan yang dikirim. Katanya, tenaga kesehatan yang akan membantunya datang beberapa bulan yang lalu. Namun kenyataannya, tidak ada satupun orang yang datang. Tidak dokter, tidak bidan, apalagi perawat. Semuanya hanya janji yang sering dikatakan kepada orang biasa sepertinya. Mengingat banyaknya kekurangan, Raden merasa sangat kesulitan menangani beberapa kasus kesehatan di masyarakat. Terlalu banyak yang harus dia tangani, sedangkan tangannya hanya dua. Apalagi terkadang respon dari atas tidak terlalu menyenangkan. Namun, setelah Rengga datang kemarin. Dia baru tahu jika Rengga diutus dari rumah sakit besar dan terbaik milik swasta. Mutu rumah sakit yang menjadi tempat bekerja Rengga bukanlah rumah sakit biasa dengan dokter yang biasa pula. Dia menyadari jika Rengga bukanlah sekedar dokter. Raden bahkan sudah memastikan jika Rengga bukan dari kalangan biasa saja. Dia kelas atas, itulah yang Raden tahu ketika berhadapan langsung dengan Rengga. Karena tidak mau terlalu lama menunggu, Raden langsung keluar rumah untuk ke klinik yang berada di depan rumah mereka. Sedangkan Rengga yang baru selesai mandi hanya menatap sekeliling. Rumah yang tidak cukup besar ini hanya terisi beberapa perabotan kayu yang biasa saja. Tidak ada barang elektronik seperti televisi maupun radio. Mungkin tidak terlalu berguna membeli barang seperti itu mengingat listrik di sini saja dibatasi. Sinyal pun sulit di dapatkan, jaringan internet seakan hilang ditelan lembah. Kadang ada sinyal, namun lebih ke tidak ada. Beberapa pesan masuk ketika tengah malam, itu saja Rengga sudah tertidur. Jika pagi begini, semuanya sudah lumpuh total. Termasuk listrik yang baru saja padam. Mandipun harus dengan bersusah payah. Mengambil air di sumur timba yang berada di belakang rumah. Ditambah dengan kamar mandi terbuka yang membuatnya was-was. Kalau-kalau saja ada yang mengintip. Namun, Raden seperti sudah memastikan jika tidak ada orang kurang kerjaan yang sejak awal Rengga khawatirkan. Memang benar, orang-orang tidak terlalu peduli dengan keadaannya yang sedang mandi. Walaupun dia tidak berani telanjang ketika mandi, namun cukup nyaman. Bahkan lucunya, warga yang lewat selalu menyapanya. Kadang dia juga merasa heran, ketika kamar mandi mereka berdekatan, tidak segan untuk saling berbicara. Yang baginya aneh, ternyata untuk orang lain belum tentu juga aneh. Rengga mengeringkan rambutnya dengan handuk, masih memakai kaos lengan pendek dan celana pendek pula. Harum sabun mandi begitu saja menyeruak. Rasanya, air di sini segar sekali. Maklum karena airnya dari sumur. Itu yang Raden katakan padanya. Belum banyak sebenarnya pembicaraan mereka, namun lama-kelamaan, Rengga sedikit tertarik dengan pembahasan Raden tentang desa ini. Mungkin benar kata Raden, dia harus mulai berkeliling desa untuk melihat suasananya. Bukankah pepatah itu benar adanya, tak kenal maka tak sayang. Maka, setidaknya Rengga harus membuka hati untuk menerima jika dirinya berada di sini. Bukan hanya selama seminggu atau dua minggu, tetapi setahun. Sesekali Rengga mengamati pantulan dirinya di cermin usang yang ada di lemari kayu reyot miliknya. Sungguh, menyedihkan sekali dirinya. Belum genap dua hari tinggal, namun keluhannya panjang sekali. Dalam hati dia sering menggerutu, sekolah tingginya bukan untuk tinggal di tempat terpelosok seperti ini. Berlagak menjadi orang baik juga bukan tujuan utamanya. Lebih baik dibenci menjadi diri sendiri, dari pada harus menjadi orang lain untuk dicintai. "Aku memang benar-benar bukan dokter yang baik. Tidak pernah ada sedikitpun perasaan senang ketika berada di tempat ini. Aku memang payah. Benar-benar tidak punya hati nurani sama sekali." Ucapnya pada diri sendiri. Mungkin, dengan memaki diri sendiri, akan menghilangkan perasaan bersalah ini. Bersalah karena tidak mau meninggalkan zona nyamannya. Karena setiap orang pasti memiliki alasan untuk tetap berada dalam zona nyamannya. Tidak penuh dengan resiko dan juga sudah menjadi rutinitas yang biasa dilakukannya. Mengapa harus keluar zona nyaman? Mungkin itulah langkah awal yang bisa Rengga lakukan mulai saat ini.  ### "Besok kita renovasi deh ruangan ini. Semakin lama atapnya semakin parah, nanti kita minta bantuan bapak-bapak. Mumpung hari minggu juga, sementara barang-barang ini kita pindah ke rumah dulu." Jelas Raden yang tampak prihatin dengan kondisi klinik. Rengga tidak menjawab, dirinya cukup kaget dengan kondisi ruangan yang katanya 'klinik' ini. Apakah pantas tempat seperti ini disebut sebagai tempat pelayanan kesehatan masyarakat? Apakah mereka tidak takut jika tempatnya seperti ini? Rengga menggelengkan kepalanya. Tempat macam apa ini? Sungguh, yang pertama ada dalam bayangan Rengga adalah, ruangan steril seperti yang ada di rumah sakit tempatnya bekerja. Paling tidak, ada ranjang dorong dan rak-rak alumunium yang beraroma obat-obatan. Tetapi, kenyataan yang ada di depan matanya sungguh-sungguh diluar dugaannya. Ranjang kayu dengan kasur ala kadarnya, dilapisi dengan perlak hitam yang sudah pudar warnanya. Rak kayu yang reyot dan juga meja dokter yang tidak bisa dia jelaskan bagaimana kondisinya. Masihkah ada orang yang percaya jika tempat ini adalah pelayanan kesehatan? Apakah tidak mirip dengan penjara yang kotor? "Dek Rengga? Ngapain bengong? Katanya mau lihat ruangan yang lainnya?" Tanya Raden sambil membersihkan berkas pasien yang berada di atas meja sebelum terkena air hujan jika hujan nanti. Maklum, atapnya bocor dan ruangan ini rawan terkena air hujan. "Kak, yakin ada yang mau berobat di tempat kaya gini? Astaga, bahkan ini diluar perkiraan. Paling enggak pasti ada lemari plastik. Tapi yang ada sekarang? Cuma lemari kayu reyot. Gimana caranya Kakak membantu selama ini? Kenapa Kak Raden kuat sih? Kenapa Kak Raden bisa tahan dengan kondisi kaya gini. Bahkan ini enggak layak sama sekali." Cerca Rengga tidak habis pikir. Rengga mengusap wajahnya kasar, tinggal di sini seperti kutukan yang nyata. Dia merasa terbuang saat ini, harusnya dia tidak berada di sini. Andaikan Dokter Arlando tidak kecelakaan, setidaknya Rengga masih berada di UGD. Persetan dengan S2 atau pendidikan tinggi itu. Dia ingin pulang rasanya. Rengga benci, benci mengatakan jika dia seperti menyesal menjadi seorang dokter. Tidak sanggup dengan keadaan, Rengga keluar dari klinik tanpa mengatakan apapun. Dia tidak tahu harus bersikap seperti apa lagi. Dia benar-benar lelah. Menerima kenyataan jika dirinya menjadi tenaga medis di tempat terpencil seperti ini saja sudah membuatnya muak. Apalagi ketika melihat di mana dia bekerja. Emosinya semakin memuncak. Dia duduk di tangga rumahnya, merenung dengan keadaan yang menimpanya. Entah mengapa Raden menyusulnya, laki-laki itu duduk di sampingnya. Menepuk-nepuk bahunya pelan lalu tersenyum samar. "Dulu, aku sama seperti kamu. Tidak menerima keadaan yang sebegitu menyeramkan. Aku sama, takutnya tidak bisa aku bayangkan. Bagaimana jika aku tidak bisa mengemban tugas ini? Bagaimana jika aku mati di sini sendirian dan tidak ada yang menemukanku. Semua itu sangat mengganggu. Aku tahu gimana perasaanmu karena aku pernah berada di posisimu. Dek Rengga, sebenarnya kamu tidak benar-benar ingin ikut pengabdian, kan?" Tanya Raden to the point. "Aku niat kok, Kak. Aku tadi cuma kaget aja." Jawab Rengga berbohong pada Raden. Pandangan matanya kosong, bibirnya seakan lancar mengelak. Lagi-lagi Raden tersenyum. Sudah banyak pengalaman hidupnya apalagi karirnya. Sudah banyak pula orang yang ditemuinya, jadi Raden bisa membedakan karakter dan watak beberapa orang dalam sekali pertemuan. "Terkadang, jujur pada diri sendiri itu perlu. Misalkan tidak suka, kamu bisa bilang tidak suka. Ruangan itu memang menyeramkan, tidak seperti tempat kita, bukan? Bahkan tidak pantas rasanya jika diberi nama klinik. Awalnya aku hampir tertawa, ruangan kerjaku seperti ini? Tetapi aku bersyukur dan berterima kasih, warga di sini membuatkan tempat itu dengan segala usaha yang mereka bisa. Memang, tidak sesempurna yang aku inginkan. Tapi mereka seperti paham jika tempat seperti itu tidak layak digunakan." "Klinik itu dibuat beberapa tahun yang lalu, sebelum aku ditugaskan di sini. Awalnya lebih mengerikan, hanya berupa bedeng-bedeng tidak bersekat. Tapi sekarang? Lumayan bukan? Ada temboknya meskipun bocor atapnya. Lihat deh, rumah mereka bahkan tidak seperti klinik kita. Mereka semua yang membuat tempat itu. Mereka yang memberi ruang bagi kita walaupun sederhana." Ucap Raden pelan-pelan. Rengga mengamati beberapa rumah, memang benar jika tidak ada yang terbuat dari batu-bata. Rata-rata hanya kayu, itu saja sangat sederhana sekali. Dia melirik Raden yang terdiam di sampingnya. "Aku memang terpaksa, Kak. Dokter yang seharusnya dikirim kesini mengalami kecelakaan fatal. Ketua rumah sakit menunjuk aku untuk menggantikan posisi dokter itu. Dengan imbalan, aku akan segera dipromosikan untuk melanjutkan studi. Semua orang tahu kalau aku punya mimpi ingin sekolah lagi. Ah, mungkin ini salahku juga. Terlalu ingin mengambil amannya saja tanpa memikirkan hal lain." Jujur Rengga merasa dirinya tidak berguna sama sekali. "Apapun alasannya, datangnya kamu kesini adalah takdir. Waktunya kan cuma setahun, kamu pasti bisa melewati semuanya. Banyak orang yang membutuhkan tanganmu. Misalkan kamu capek, butuh istirahat atau butuh me time, bilang aja. Jangan sungkan!" Ucap Raden yang berusaha menenangkan. Entah mengapa, apa yang dikatakan Raden seperti cambuk semangat untuknya. Laki-laki itu begitu bijak dan bisa membuatnya tenang walau dengan kata-katanya saja. "Makasih ya, Kak. Aku enggak tahu lagi kalau temanku bukan Kak Raden. Tolong bimbingannya dan jangan lelah cerewet sama aku." Ucap Rengga merendah. "Hm, kamu banyakin ngomong sama orang deh, Dek. Pasti rasanya akan beda. Sosialisasi itu memang sangat melelahkan, tapi tidak ada salahnya. Jangan menunggu orang menyapa duluan, tapi berinisiatiflah untuk menyapa." Nasehat Raden padanya. Rengga mengangguk, selama ini dia memang banyak diamnya. Banyak cueknya juga. Cenderung tidak peduli dengan apapun karena dia bisa melakukan di sini. Tetapi masalahnya dia berada di tempat orang. Maka mau tidak mau harus ramah. Mereka saja bisa menerima Rengga. Sudah sepantasnya jika Rengga juga bisa menerima mereka. Belajar untuk menerima keadaan juga penting sekali. Setidaknya untuk dirinya sendiri. Fase perubahan mungkin harus dilakukannya. Karena apa? Karena dia tidak ingin hidup sendiri. "Yuk, balik lagi ke klinik. Masih banyak yang harus diberesin. Nanti aku mau koordinasi sama Bapak Kepala Desa soal renovasi ruangan besok. Semoga saja bisa secepatnya." Ajak Raden yang sudah berjalan terlebih dahulu. Rengga tidak menjawab, namun dia bergerak juga. Langkah kecil yang akan membawa perubahan. ###
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN