Bab 7

2013 Kata
Raden menghidupkan lilin yang ketiga. Karena hujan lebat, listrik ikutan padam. Padahal baru saja hidup sekitar dua jam lalu. Rengga menghela napas panjang, baterai ponselnya belum terisi penuh. Jika saja tahu akan mati listrik, Rengga tidak akan menggunakan ponselnya untuk bermain game. Tetapi nasi sudah menjadi bubur, ponselnya tidak terisi penuh dengan banyak pesan dari orang-orang terdekatnya. Ada Mamanya yang sudah mengomel karena tidak kunjung mendapatkan balasan dari Rengga. Selain susah sinyal, Rengga juga sedang malas membuka aplikasi pesannya. Nama Calista masih menjadi nama kontak yang disematkan. Pesannya pun paling banyak namun belum ada satupun yang Rengga buka. Dering ponselnya terkadang membuat Raden terheran-heran. Namun Raden tidak bertanya, mungkin karena hal itu semacam privasi. Mereka berdua duduk di teras depan rumah karena sama-sama takut dengan angin yang berhembus kencang. Apalagi disertai dengan hujan yang cukup lebat malam ini. Ditemani dengan singkong rebus pemberian salah satu warga tadi siang. Untunglah mereka belum tidur dan bisa berbincang di depan rumah sambil menunggu hujan reda. "Kita belum pernah ngobrol santai ya, Kak. Aku belum pernah tanya sama Kak Raden tentang kenapa Kakak bisa ada di sini." Ucap Rengga membuka topik setelah beberapa saat terdiam. Raden menoleh, mencoba untuk mengingat mengapa dirinya bisa sampai di tempat ini. Laki-laki itu tersenyum samar lalu memulai bercerita. Setiap kali mengingat ceritanya, Raden merasa beruntung sekaligus merasa tidak beruntung. Banyak hal yang terjadi sebelum akhirnya berada di sini.  "Awalnya, aku sama kaya kamu. Enggak terlalu setuju ditugaskan di tempat seperti ini. Waktu itu, aku udah mau nikah sama pacarku, Dek. Kami udah pacaran lama banget, sejak aku masih jadi dokter koas. Pacarku itu anaknya salah satu konsulen yang ada di rumah sakit tempatku koas. Aku ketemu sama dia waktu dia datang ke rumah sakit buat nganterin makan ke Papanya. Karena yang paling terkenal waktu itu aku, dokter ini langsung ngenalin aku ke anaknya. Cantik, banget!" Raden membayangkan bagaimana cantiknya perempuan yang dia ceritakan itu. Bahkan ekspresinya yang tersenyum lebar membuat Rengga percaya jika Raden sangat mencintai perempuan yang dia ceritakan. "Setelah lima tahun pacaran sama dia, kami memutuskan untuk menikah. Semua anggota keluarga setuju karena udah sama-sama saling kenal. Tapi apa yang terjadi? Beberapa Minggu sebelum kami menikah, ketika persiapan pernikahan sudah hampir 70% dia membatalkan semuanya. Dia bilang bakalan mengembalikan uang yang aku keluarkan untuk acara kami yang tidak jadi. Dia berjanji akan mengembalikan semuanya. Tapi sayangnya, sebanyak apapun dia mengembalikan uang, tidak akan bisa mengembalikan kepercayaan diriku, kan?" Raden mengusap wajahnya yang berubah memerah. Rengga bisa merasakan kepedihan dibalik cerita Raden tersebut. Dia begitu penasaran mengapa pacar Raden tega melakukan hal seperti itu kepada Raden. Padahal, Raden adalah laki-laki yang baik dan bisa diandalkan. Tutur katanya yang halus, sikapnya yang penuh dengan tata krama khas orang Jawa, tidak pernah sombong, dan pintar. "Dia memilih kembali dengan mantannya yang polisi. Katanya, mereka pacaran waktu SMA dan putus karena cowoknya itu masuk pendidikan AKPOL. Akhirnya mereka menikah tepat tiga hari setelah tanggal yang ditetapkan untuk aku dan dia menikah. Kabarnya, sekarang dia sudah melahirkan anak pertama." Jelas Raden begitu pahit. "Aku datang kesini karena terluka dengan seseorang. Pernikahanku gagal, semua orang membicarakan aku. Karena enggak kuat, akhirnya aku mengajukan diri untuk ikut dalam pengabdian ketika pihak rumah sakit menawarkan. Aku sebenarnya enggak minat awalnya, tetapi untuk apa aku berada di sana? Pasti akan menambah luka kan? Ketika aku melihat dia bersama dengan orang lain. Duh, malah curhat." Ucap Raden tertawa karena membongkar masa lalunya dengan Rengga yang baru dikenalnya beberapa hari. Rengga menepuk bahu Raden pelan lalu tersenyum. "Enggak semua orang kaya Kakak, lho. Pelampiasan ke arah positif dengan mengobarkan waktu dan tenaga Kakak selama satu tahun lebih. Kayanya, Kak Raden kerjanya bukan karena terpaksa, tapi karena Kakak ikhlas lahir batin." Komentar Rengga setelah mendengarkan kisah yang Raden ceritakan. Banyak pelajaran yang bisa diambil dari kisah Raden.  "Kamu juga bisa gitu kok, Dek. Awalnya aja kamu terpaksa tinggal di sini. Lama-kelamaan kamu bakalan jatuh cinta banget. Aku tahu kamu lagi ada masalah sama seseorang makanya badmood. Jadi, selesaikan dulu masalahmu itu, jangan kabur. Takutnya, kamu bakalan menyesal suatu saat nanti. Ingat ya, kamu bisa mencintai perempuan manapun. Tapi yang paling penting, orang yang kamu cintai itu bisa mencintai harga dirimu." Pesan Raden yang seolah tahu apa masalahnya. Mungkin benar, Rengga cukup banyak pengalaman dalam hal itu. Raden juga bisa membuat seseorang yang mendengarkannya merasa diberi solusi. Raden beranjak dari duduknya karena hujan sudah reda. Laki-laki itu menepuk pelan pundak Rengga. Meminta agar Rengga segera menyelesaikan masalahnya. Dia paham sekali mengapa semuanya terjadi. Dan itu karena dirinya. Dengan keberanian yang setengah, Rengga membuka ponselnya. Ada beberapa pesan dari Calista yang belum pernah dirinya buka sejak beberapa waktu lalu. Memang, apa yang Rengga lakukan selama ini cukup kekanakan. Dia melakukan semuanya hanya karena satu kesalahan yang dibuat Calista. Namun kesalahan itu adalah mencintainya. Rengga tidak mau orang lain terluka karena mencintai dirinya. Inilah yang Rengga takutkan, jika mencintainya hanya akan mendapatkan luka batin saja. Ada satu pesan yang menarik perhatiannya. Rengga langsung membukanya, sedikit menyesal karena tidak buru-buru membukanya waktu itu. From : Calista Maafin aku ya, aku salah sama kamu. Aku tahu kamu enggak akan buka pesanku. Tapi Rengga, aku cuma mau ngasih tahu kamu kalau aku bakalan pergi ke Singapura. Aku dapat tawaran di sana. Awalnya aku enggak mau mengambilnya, tapi rasanya enggak ada alasan untuk aku menolak. Misalkan kamu buka pesan ini, aku harap kita bisa bicara sekali lagi. Biar aku jelaskan semua kesalahpahaman ini. Harusnya aku tahu ya, mencintai orang yang terluka itu lebih sulit. Jadi, aku minta maaf. Jangan putus persahabatan kita karena ini, Rengga. Aku enggak sanggup menerima kemarahan kamu. Rengga menghela napas panjang. Mengapa sebodoh itu dirinya, Calista adalah perempuan yang baik. Bahkan Calista selalu merendahkan dirinya hanya untuk mengalah agar hubungan mereka baik-baik saja. Seharusnya Rengga yang sadar diri, seorang Calista mau menerimanya bukankah itu sudah bagus. Sekarang perempuan itu pergi, mungkin tidak akan pernah kembali lagi padanya. Sebodoh itukah Rengga melepaskan Calista begitu saja? Dia tidak punya siapapun dan Calista menawarkan pertemanan. Lalu apa yang terjadi sekarang? Dia sudah keterlaluan pada perempuan itu. Rengga hendak menghubungi Calista, namun akhirnya sinyal tidak mengijinkannya. Beberapa kali Rengga menghubungi Calista, namun tidak bisa. Padahal sinyal sejak tadi lumayan bagus, ketika dirinya berusaha menghubungi Calista, sinyal menghilang begitu saja. Akhirnya dia menyerah, mungkin dilain waktu Rengga akan kembali menghubungi Calista. Semoga saja semua akan baik-baik saja, Calista bisa memaafkannya dan bisa mengerti mengapa semua ini dirinya lakukan. ### Masalah renovasi ruangan praktek sudah beres. Atap yang bocor sudah dibenarkan, kayu penyangga yang reyot sudah diganti, ruangan yang berdebu sudah disapu, rak dan juga berkas sudah ditata rapi, ranjang pasien juga sudah dibersihkan lalu diberikan sprei yang baru. Almari obat-obatan sudah ditata sedemikian rupa. Kemarin obat-obatan memang datang, namun belum ditata karena mengingat akan ada perbaikan di ruangan praktek mereka. Baskom steril juga sudah berada di dekat nakas peralatan. Intinya ruangan itu sudah bersih dan rapi. Tidak seperti awal Rengga datang dan melihat bagaimana kumuhnya ruangan praktek yang akan menjadi basecamp-nya untuk menangani pasien. Mereka berdua dituntut serba bisa. Menjadi dokter yang mampu diandalkan dalam banyak hal. Raden juga menguasai obat-obatan tradisional karena kakeknya adalah dokter tradisional di daerah Jogja. Apalagi pengalaman yang banyak membuat Raden cukup cakap menangani pasien. Sebenarnya Rengga belum melihat secara langsung bagaimana Raden berhadapan dengan pasien. Namun dari caranya menjelaskan kepada bapak tadi tentang proses bersalin, membuatnya dapat menyimpulkan dengan mudah, jika Raden mampu dalam banyak hal meskipun diluar ranahnya. Katanya di tempat ini tidak ada bidan praktek yang menangani masalah kehamilan sampai menuju persalinan. Katanya Raden beberapa kali ikut andil dalam penanganan kelahiran bayi karena beberapa masalah yang ditimbulkan dari persalinan yang dilakukan oleh dukun bayi di daerah ini. Sebagian masyarakat memang masih mempercayakan persalinan pada dukun bayi. Mereka cenderung datang pada dokter yang bertugas setelah mengalami masalah serius. Tetapi ada juga beberapa pasien yang sudah lebih dulu meminta saran untuk masa persalinannya pada Raden. Ya, begitulah sekiranya kehidupan di desa ini. Masih cukup tradisional. Awalnya Rengga juga tidak terlalu percaya, namun setelah melihat kehidupan mereka, Rengga merasa khawatir dengan kondisi para ibu yang memilih melahirkan dengan bantuan dukun bayi tanpa melibatkan dokter atau bidan. Jadi, mau tidak mau mereka menjadi terlibat sebagai alternatif jika tidak ada bidan atau terjadi masalah pada proses kelahiran bayi. Sebagian ibu mungkin merasa malu karena yang menangani adalah Raden——yang notabene adalah seorang laki-laki. Tapi bagi dokter, melihat hal yang dianggap tabu atau bahasa kasarnya adalah saru (dalam bahasa Jawa—artinya tidak senonoh) sudah tidak menjadi masalah. Rengga ikut nimbrung dalam pembahasan yang cukup sensitif yang melibatkan bapak-bapak serta Raden yang lues dalam menjelaskan. Dia harus banyak belajar dari Raden yang sangat pintar membuat istilah agar lebih mudah dipahami oleh orang awam dan tidak terdengar vulgar. Bagaimanapun juga, berbicara hal seperti ini di depan orang-orang yang non kedokteran atau kesehatan memang harus sangat hati-hati agar tidak dianggap kurang ajar. Entah mengapa mereka semua bisa sampai pada topik ini. Sebagian bapak-bapak juga curhat masalah kesehatan istrinya yang sedang hamil, lalu menanyakan masalah s*x yang kadang membuat mereka malu sendiri. Tetapi dengan mudahnya Rengga menjawab sesuai dengan apa yang dia pahami. Mungkin karena pembahasan seperti ini, Rengga bisa ikut membaur. Bapak-bapak itu hanya manggut-manggut, paham dengan penjelasan dua dokter ganteng itu. "Maaf dok, istri saya kan sebentar lagi mau melahirkan. Sebenarnya saya sudah bicara sama istri saya kalau lahirannya di sini saja supaya bisa ditangani sama ahlinya. Tapi kata istri saya malu karena dokternya laki-laki semuanya." Raden hanya tertawa tipis, sudah biasa. Rengga juga menggaruk tengkuknya yang tidak gatal. "InsyaAllah, kami berdua amanah kok, pak. Memang sih, beberapa ibu menjawab dengan jawaban yang sama. Malu karena dokternya laki-laki. Tapi sebenarnya dokter spesialis kandungan itu malah banyak yang laki-laki. Enggak tahu kenapa ya, tapi memang kebanyakan sih begitu. Lagipula mau laki-laki atau perempuan, jika sudah bersumpah sebagai dokter maka harus bisa amanah terhadap tugasnya. Lebih baik dibicarakan dulu dengan istri. Sekali-kali diajak periksa main kesini, siapa tahu berubah pikiran." Jawab Rengga panjang lebar dengan cengiran. "Iya dok, nanti kapan-kapan saya ajakin kesini. Kayanya saya kurang setuju kalau ke dukun bayi, takut kenapa-napa." Ucap bapak tersebut dengan was-was. "Hush, nggak boleh gitu, pak. Yang penting doanya dikencengin lagi. Semoga ibu dan anaknya selamat, mau lahiran di sini atau di dukun bayi." Tambah Raden yang kembali menyodorkan camilan ala kadarnya. Raden dan Rengga memang membeli sedikit camilan. Lumayan menjadi teman ngobrol seperti saat ini. Baru setelah adzan Ashar bapak-bapak pun pamit untuk pulang ke rumah masing-masing. Rengga menatap ruangan praktek yang sudah bersih dengan keadaan yang lebih baik. Dia masih tidak percaya jika tempat seperti ini akan menjadi tempat pengabdiannya selama setahun ini. Namun, jika terus meratap apalagi galau tidak jelas akan membuat masa pengabdiannya semakin lama. Lebih baik dirinya menikmati prosesnya. Raden memang orang yang begitu rendah hati. Kata-katanya begitu menenangkan dan dapat dimengerti dengan mudah. Apalagi untuk orang-orang awam yang buta tentang dunia kedokteran, Raden mampu menjelaskan dengan mudah dan cukup terperinci tanpa mengeluarkan nama-nama ilmiah dalam dunia kedokteran yang rumit. Rengga banyak belajar dari Raden diam-diam. Orang yang bisa dia kagumi dengan mudahnya karena gaya berpikirnya, dari kata-kata yang keluar dari mulutnya sebagai sebuah penenang. Selama ini Raden yang selalu menenangkan, memberikan banyak wejangan tentang kehidupan dan banyak mengajarinya tentang dunia yang lebih besar dari dunia kedokteran. Awalnya, Rengga ingin acuh seperti biasanya. Namun, kehidupan di desa memaksanya menjadi pribadi yang lebih terbuka dan mau menerima kehadiran orang lain. Jika bertugas di rumah sakit, dia bisa seenaknya. Tidak bertegur sapa dengan orang lain pun bukan menjadi masalah. Namun ketika dia tinggal di sini, Rengga tidak bisa diam saja, dia harus mulai belajar berkomunikasi dengan siapapun. Raden menepuk pundak Rengga, tersenyum tipis. Ada perubahan yang Rengga perlihatkan selama beberapa hari, dia berusaha untuk berubah. Menjadi pribadi baru yang menyenangkan dan bisa berbicara dengan siapa saja. Padahal Raden tahu betul bagaimana perangai Rengga. Orang yang jarang bicara dan sebenarnya punya masalah dari masa lalu yang tidak pernah diketahui orang lain. Namun luka itu, seakan menjadi kenangan tidak terlupakan yang menjadi momok tersendiri bagi Rengga. Andaikan orang lain tahu apa luka yang dia rasakan selama ini, mungkin mereka semua akan mengerti mengapa Rengga bersikap demikian. Tetapi Rengga tidak pandai untuk mengatakan apa yang selama ini dia rasakan. Dia terus memilih diam saja. Diam dalam lukanya sendiri. ###
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN