Jatuh cinta adalah fitrah semua manusia yang hidup di dunia. Ketika dua orang manusia saling jatuh cinta, maka takdir sedang mempertemukan mereka. Entah sebagai pasangan, atau sebagai pembelajaran. Apa yang terlihat di depan mata, belum tentu sama dengan apa yang sedang dirasakan saat itu. Definisi cinta sendiri untuk seorang Rengga adalah tidak tahu. Dia tidak pernah punya kisah cinta seperti manusia pada umumnya. Biasanya manusia akan mulai jatuh cinta dan memiliki pacar ketika masa putih abu-abu. Kebanyakan remaja akan mengejar orang yang mereka cintai pada masa itu. Tetapi, tidak menutup kemungkinan untuk patah hati dalam kurun waktu yang tidak lama.
Sekali lagi, Rengga tidak pernah ikut dalam siklus itu. Dia tidak jatuh cinta dan tidak pula patah hati. Hidupnya monoton, terlalu biasa tanpa adanya batu terjal nan berliku yang sering disampaikan beberapa remaja pada masanya. Beberapa orang begitu sangat antusias dalam menyampaikan perasaan cintanya. Beberapa lagi memilih tersenyum malu-malu namun menyimpan perasaan. Sayangnya, Rengga bukan orang dalam dua kategori tersebut. Dia bukan orang yang terang-terangan atau orang yang malu-malu. Karena dia bukan bagian dari percintaan pada masa itu.
Jangan tanyakan bagaimana kisah percintaan Rengga di masa lalu. Dia sama sekali tidak punya kriteria dalam hal itu. Dia dikenal sebagai seorang laki-laki yang cukup pintar dengan banyak penggemar perempuan yang tidak bisa dihitung berapa banyaknya. Rengga begitu terkenal dengan sisi pendiamnya, kecuekannya, dan apa adanya dirinya. Rengga bukan seseorang yang duduk di beberapa jabatan penting organisasi sekolah. Dia hanyalah orang biasa tanpa keistimewaan apapun.
Baginya, cinta bukan bagian dalam planning hidupnya. Rengga terlahir sebagai laki-laki yang menyukai kesendirian tanpa adanya orang lain di dalam hidupnya. Seperti halnya kisah yang selalu diceritakan dalam novel remaja. Rengga adalah tokoh yang selalu dipuja oleh banyak kalangan perempuan. Namun, sayangnya dia tidak bisa ditaklukkan oleh perempuan manapun.
Hidupnya yang terbiasa sendiri, tidak mudah untuk dimasuki siapapun. Bahkan perjuangan seorang perempuan cantik bernama Calista pun menjadi sorotan banyak orang. Calista, seorang kapten basket putri, tiba-tiba mendekati Rengga. Menawarkan persahabatan yang dianggap lelucon oleh Rengga sendiri. Rengga merasa aneh ketika seseorang seterkenal Calista memintanya menjadi sahabat.
Tetapi, melihat bagaimana Calista terpuruk pada suatu saat, membuat Rengga membuka matanya. Jika perempuan itu adalah orang yang sama kesepiannya seperti dirinya. Calista memang mempunyai banyak teman, namun teman yang hanya ingin numpang famous saja. Mereka tidak benar-benar ingin berteman dengan Calista. Bagi Calista, hanya Rengga orang yang bisa diajak berteman tanpa maksud lainnya. Namun dibalik itu semua, Calista melakukan kesalahan fatal.
Calista mencintai Rengga dengan berjalannya waktu. Tanpa pernah mengenal apa itu PDKT, rasa itu seakan tumbuh subur bahkan ketika mereka harus dipisahkan jarak karena sama-sama harus menempuh pendidikan. Calista tidak bisa menemukan satupun orang yang bisa seperti Rengga. Dia selalu gagal untuk move on walaupun dengan usaha yang sangat keras. Mencoba untuk membangun hubungan dengan orang lain pun tidak bisa dia lakukan. Rengga selalu menjadi nomor satu di hatinya.
Calista pikir, selama ini Rengga menunggunya. Tetapi Rengga yang sekarang masih sama dengan Rengga ketika mereka masih SMA. Seseorang yang tidak pernah mengenal cinta manapun. Bahkan cinta sahabatnya sendiri. Rengga rela meninggalkan Calista hanya karena Calista memiliki satu kesalahan, dan kesalahan itu adalah dengan mencintainya.
Rengga memejamkan matanya, terlalu sulit menerimanya. Calista tidak mengangkat teleponnya. Padahal tadi sempat tersambung, tetapi perempuan itu sama sekali tidak mengangkatnya. Apakah Calista marah? Apakah perempuan itu tidak akan memaafkannya? Rengga mulai khawatir. Ketika Calista selalu mengalah dan merendahkan dirinya hanya untuk membuatnya bicara, mungkin Calista mulai lelah dengan penantian yang tanpa ujung seperti ini.
Rengga mondar-mandir di depan pintu mencoba untuk mencari sinyal kembali. Sayangnya sinyal itu tetap ada namun Calista tidak mau mengangkat teleponnya. Beberapa kali Rengga mencoba untuk menelepon kembali, namun tetap sama hasilnya nihil. Calista tetap tidak mengangkat teleponnya meskipun dia tahu jika sambungan teleponnya sudah terhubung.
Rengga selalu mengingat betapa sabarnya Calista menghadapi dirinya dulu. Ketika dia marah, ketika dia membutuhkan bahu untuk bersandar, Calista selalu ada. Namun sekarang semuanya sudah berubah, dia menyia-nyiakan kebaikan perempuan itu. Sekeras apapun dia berusaha namun akhirnya gagal juga.
Hampir saja menyerah, dering ponselnya mengagetkannya. Ada nama Calista di layar ponselnya. Buru-buru Rengga mengangkat teleponnya.
"Halo, Ca..." sapa Rengga dengan pelan. Dia bingung harus bicara apa dan bagaimana memulai percakapan ketika berada dalam panggilan. Ini bukan hanya sekedar panggilan biasa yang tidak perlu menggunakan basa-basi, namun kali ini harus menggunakan kata-kata pembuka setidaknya.
Cukup lama Rengga menunggu balasan dari Calista yang diam saja di ujung sana. Akhirnya dia mengalah, mencoba untuk memulai percakapan. Kata Raden, dia harus segera menyelesaikan masalahnya agar hidupnya tenang di sini.
"Ca, kamu lagi ngapain?" Tanya Rengga berbasa-basi. Namun tidak kunjung mendapat jawaban dari perempuan itu. Yang Rengga dengar hanyalah suara helaan napas panjang yang dia tahu berasal dari Calista.
"Ca, aku minta maaf. Aku tahu, aku keterlaluan sama kamu. Harusnya aku enggak kaya gitu sama kamu. Harusnya perpisahan kita kemarin baik-baik. Semuanya salahku, aku yang enggak bisa ngertiin kamu. Aku yang terlalu bodoh melepaskan kamu. Padahal harusnya aku tahu, perasaan kamu enggak salah. Kamu juga nggak maksa aku untuk membalas perasaan kamu. Aku cuma nggak mau kamu sakit karena aku, Ca. Kamu boleh marah sama aku, kamu boleh enggak jawab omonganku. Tapi aku sayang sama kamu sebagai sahabatku, Ca. Sebagai orang yang selalu ada dalam semua kondisiku. Cuma kamu yang menerima aku apa adanya, menerima semua kekuranganku. Sekali lagi, aku minta maaf ya. Aku tutup teleponnya. Jangan lupa makan." Ucap Rengga yang mematikan sambungan teleponnya.
Rengga menghela napasnya panjang, dia tahu jika Calista menangis di ujung sana. Entah tangisan macam apa. Namun Rengga merasa sangat bersalah. Apakah Calista menangis setiap kali dirinya melakukan ini? Jika diingat, baru sekali Rengga meminta maaf pada Calista akan kesalahannya. Beberapa kali Rengga melakukan kesalahan, namun memaksa Calista duluan yang meminta maaf. Membuat perempuan itu mengemis maaf dan akhirnya hidup seperti biasanya.
Sejahat itukah Rengga? Bagaimana bisa dia berubah menjadi monster yang menyeramkan dan membuat perempuan seperti Calista terluka karena sikapnya.
"Kenapa semua makin sulit? Ah, seharusnya dia ngomong apa gitu. Setidaknya bisa aku masukkan ke dalam pikiranku kalau dia sudah memaafkan aku. Tapi kenapa dia diam aja." Ucap Rengga frustasi.
Tidak biasanya Calista seperti ini, namun apa yang bisa dia lakukan? Menghubungi Calista kembali? Sepertinya itu tidak mungkin. Rengga aku membiarkan Calista sejenak, perempuan itu juga butuh ruang untuk berpikir. Sama dengan dirinya waktu itu. Ini gilirannya, gilirannya untuk menunggu. Seperti apa yang sudah Calista lakukan selama ini.
###
Raden meletakkan beberapa obat-obatan di dalam rak. Rengga sendiri sedang membersihkan ranjang pasien. Mengganti sprei kemarin dengan yang bersih. Katanya akan ada kiriman obat-obatan dan juga peralatan yang baru. Tetapi sampai detik ini belum ada kiriman apapun dari pusat. Rengga belum menghubungi pihak rumah sakit di mana dirinya bekerja. Mungkin jika langsung lapor kepada Profesor Leko, peralatan itu akan jauh lebih cepat datangnya ketimbang dari pusat yang perlu menunggu waktu lama seperti sekarang ini.
Bagaimana bisa pemerintah begitu lama menyalurkan barang-barang sepenting ini. Raden pernah menunggu sampai tiga bulan lamanya. Dia terpaksa menggunakan alat yang ada hanya karena alat yang baru belum juga dikirim. Selalu saja seperti ini, orang-orang yang sedang membutuhkan dengan cepat malah diabaikan begitu saja.
Rengga geram, ini bukan hanya masalah tenaga medis yang sedang butuh alat. Namun orang-orang di sini yang seharusnya mendapatkan fasilitas yang sama dengan orang-orang perkotaan. Sedikit demi sedikit Rengga sadar, selama ini dirinya menutup mata dan telinga terhadap sesuatu yang tidak tampak di matanya. Sekarang, dia begitu miris melihat bagaimana keadaan pelosok negerinya yang belum tersentuh tangan pemerintah untuk dikembangkan seperti pulau lainnya.
"Sudahlah, kita hanya bisa menunggu. Kita sebagai dokter tidak bisa berbuat banyak untuk memaksa pemerintah pusat segera mengantarkan barang. Berpikir positif saja, mungkin mereka sedang bermasalah di jalan atau ada barang yang belum ready. Rumus hidup di sini adalah sabar. Jangan marah dan gegabah, semua akan baik-baik saja." Ucap Raden yang berusaha menenangkan Rengga.
"Kenapa Kak Raden bisa sesantai ini? Apa Kakak enggak marah dengan pemerintah yang menempatkan kita dalam situasi seperti ini tetapi tidak berusaha untuk memberikan kita fasilitas yang memadai. Apa mereka semua sudah gila? Meninggalkan kita di sini dengan barang-barang tidak berstandar seperti ini. Aku akan menuntut mereka jika sampai barang-barang kita tidak segera di datangkan kesini." Kesal Rengga yang membuat Raden tertawa karenanya.
"Kamu ini ada-ada aja." Ucap Raden menenangkan. Laki-laki itu memang tidak pernah merasa terganggu dengan apapun.
Raden selalu menjadi penengah dan juga menenang ketika mereka sedang dalam perdebatan. Padahal, untuk Rengga sendiri, hal seperti ini adalah hal yang fatal. Apa pemerintah tidak tahu jika daerah pedesaan seperti ini juga membutuhkan alat-alat yang sama bagusnya dengan rumah sakit di kota. Walaupun mereka hanya klinik, tetapi semua orang berhak mendapatkan fasilitas yang sama. Mereka juga ikut membayar pajak.
Rengga sedikit melek setelah beberapa saat tinggal di sini. Warga sekitar, bahkan dokter seperti Raden tidak banyak menuntut kesempurnaan. Mereka selalu mensyukuri apa yang telah mereka dapatkan. Sedangkan Rengga, berusaha untuk memperjuangkan apa yang seharusnya mereka dapatkan.
Ruangan ini bahkan tidak layak untuk melakukan praktek. Apalagi ketika Rengga melihat bagaimana isi dari ruangan yang serba seadanya. Apalagi klinik ini berdiri karena usaha warga sekitar yang berusaha untuk mendirikannya secara mandiri. Sampai adanya dokter yang setiap tahun bergantian datang untuk mengisi klinik di desa. Tetapi, satu tahun kemarin hanya Raden yang dikirim karena beberapa dokter menolak. Mereka memilih bertahan dengan posisi mereka di pusat daripada ikut membantu di daerah.
Seharusnya ada dua dokter kemarin, namun hanya Raden yang bertahan. Selama itu, Raden tidak merasa keberatan karena warga memang tidak terlalu sulit untuk diarahkan. Hanya saja, ketika ingin melakukan medical cek up sedikit terhambat karena dokternya hanya Raden saja. Tahun kemarin, Raden melakukan medical cek up dibantu oleh beberapa pemuda di desa ini dan tentara yang berjaga di perbatasan.
Seharusnya mereka juga bertemu dengan tentara perbatasan. Namun karena masih sama-sama disibukkan dengan aktivitas masing-masing dan masih perlu adanya pembiasaan untuk Rengga, mereka belum datang ke markas tentara tersebut. Karena dengan menjalin kerjasama, semua akan lebih mudah dan dapat dikerjakan dengan cepat.
Masih ada beberapa agenda juga untuk melakukan imunisasi untuk anak SD. Namun belum juga terlaksana karena alat berupa suntikan sekali pakai belum datang juga. Itulah yang membuat semua kegiatan mereka terhambat. Selain karena alat belum datang, mereka juga masih perlu datang ke sekolah untuk melakukan penjadwalan untuk kegiatan tersebut.
"Besok kita ke sekolah coba, Dek. Kita tanya dulu deh gimana baiknya untuk kegiatan kita ini. Pihak pusat udah ngabarin aku nih kalau nanti sore alat bakalan datang. Biar aku yang jemput di kota, takutnya yang nganter enggak tahu jalan dan malah tersesat. Aku bisa pinjem motor dulu sama bapak kepala desa." Usul Raden yang baru saja mendapatkan SMS dari pusat.
Rengga hanya mengangguk, dia juga tidak berniat untuk menjemput orang yang mengantarkan alat. Takutnya mereka semua akan tersesat karena Rengga tidak hapal jalan. Selama perjalanan dari kota ke desa ini dengan menggunakan mobil tentara saja, Rengga sama sekali tidak memperhatikan jalan. Yang dia lihat hanyalah pepohonan di kanan kiri jalan.
"Oh iya Kak, nanti boleh nitip cokelat enggak? Itu aja kalau Kak Raden mampir ke minimarket." Tanya Rengga sambil meletakkan sprei kotor ke dalam bak cuci yang berada di belakang tirai.
"Nanti bisa lewat minimarket kok. Mau beli cokelat buat apa?" Tanya Raden balik setelah meletakkan pulpennya di tengah-tengah buku besarnya.
"Sebenarnya sih aku mau bagiin ke anak-anak besok sambil sedikit sosialisasi soal gosok gigi. Sekalian deh Kak, nanti beliin sikat gigi sama pasta gigi ukuran tanggung." Jawab Rengga.
Raden mengangguk lalu mengangkat ibu jarinya ke udara. Mereka kembali melakukan aktivitas masing-masing. Raden sibuk melihat data pasien yang harus dirinya rekap sebagai laporan. Sedangkan Rengga sibuk menata beberapa vitamin di dalam rak agar tetap bersih.
Hari ini masih tidak ada pasien. Kata Raden, tidak setiap hari ada pasien yang datang untuk periksa. Paling banyak adalah ibu hamil yang kadang memeriksakan masalah kehamilannya. Jadi, mereka tidak terlalu sibuk mengurus pasien. Paling hanya sakit ringan seperti flu atau demam.
Ruangan sudah bersih, aroma khas klinik mulai tercium. Walaupun banyak orang yang tidak suka aroma obat-obatan, namun bagi Rengga, aroma ini adalah aroma yang dia rindukan setiap harinya. Menjadi berguna bagi orang lain adalah kemampuannya. Dia banyak belajar dari seorang Raden, menjadi seorang dokter itu, bukan masalah harga, tapi masalah jiwa.
Ketika dia bisa merasakan kepuasan walaupun tanpa dibayar, berarti ketulusan dalam dirinya sudah mulai tumbuh. Mungkin, itulah yang Rengga rasakan sekarang. Kenyamanan meskipun dalam keterbatasan.
###