Bab 9

2004 Kata
Pandangan Rengga tidak pernah lepas dari perempuan yang mengenakan seragam dinasnya. Seorang guru dengan rambut pendek dan senyuman tipisnya. Perempuan itu adalah perempuan yang sama dengan yang dirinya temui waktu itu. Tidak membalas senyumannya dengan ramah. Lagi-lagi Rengga mengamati perempuan itu dari atas sampai bawah. Mengabaikan penjelasan kepala sekolah yang sedang menjelaskan tentang sekolah mereka. Memang kurang sopan rasanya, namun pandangannya sulit untuk dialihkan. Bukan karena Rengga jatuh cinta atau semacamnya. Tetapi dia heran dengan perubahan drastis perempuan itu. Image yang dia bangun begitu sangat meyakinkan sebagai seorang guru. Tatapan matanya yang ternyata begitu teduh, dengan senyuman khas yang tipis namun luwes, tatanan rambut yang mirip dengan seorang Polwan namun tidak menghilangkan kesan anggun. Perempuan itu bisa berubah secepat itu. Rengga tahu betul wajah perempuan yang mengacuhkannya beberapa hari lalu. Membuatnya kesal karena merasa diabaikan. Seharusnya dia diberikan senyuman hangat seperti yang orang lain lakukan padanya. Perempuan itu mengalihkan pandangan matanya. Menatap Rengga yang buru-buru memalingkan wajahnya. Dia tidak mau ketahuan mengamati perempuan itu. Bahkan seperti tidak terjadi apapun diantara mereka. Seperti tidak pernah bertemu sama sekali. Raden sibuk berkomunikasi dengan kepala sekolah, menanyakan perihal imunisasi yang ada dilakukan Minggu depan. Peralatan kesehatan juga sudah datang kemarin, mengundang omelan Rengga yang panjang. Raden hanya bisa menahan tawanya karena petugas yang mengantar merasa tidak enak. Apalagi ketika Rengga mulai mengatakan jika mereka sangat membutuhkan alat itu kemarin namun tidak segera dikirim. Kehadiran Rengga baginya adalah sebuah anugerah yang begitu indah. Teman sekaligus adik baginya dan orang yang bisa diajak diskusi meskipun Raden sadar jika Rengga memiliki mood swing yang parah. Tetapi, dibalik itu semua, Rengga adalah orang yang menyenangkan. Sebenarnya dia adalah orang yang peduli dengan siapapun, hanya saja Rengga tidak pernah menyadari hal itu. Rengga hanya merasa jika hidupnya perlu sentuhan. Tidak monoton seperti biasanya. Hanya ada kekakuan dan dirinya sendiri. Karena Rengga tidak pernah berusaha untuk bersosialisasi dengan sekitarnya.  Raden mengerutkan keningnya ketika melihat Rengga sedang mengamati perempuan berambut pendek di depannya. Diam-diam dia tersenyum karena melihat wajah menyelidik Rengga pada perempuan itu. Rengga merasa jika pernah bertemu namun tidak tahu kapan. Kadang hatinya tertarik, namun berusaha agar tidak tertarik. Itulah Rengga, selalu menutupi hatinya.  "Oh iya Pak Dokter sampai lupa memperkenalkan diri. Saya Bu Dwi, kebetulan kepala sekolah di sini. Ini Bu Asti, guru yang sudah empat tahun belakangan ini mengabdi dengan sabar di desa kami. Beliau ini berasal dari Jogja, fresh graduate langsung meminta menjadi guru di tempat seperti ini. Apresiasinya sangat kami hargai, masih ada generasi muda yang mau mengajar di tempat seperti ini." Ucap Bu Dwi yang memperkenalkan perempuan di sampingnya. Raden dan Rengga mengangguk, Raden tampak sangat antusias dan bertanya ini itu kepada Asti. Mereka seperti saudara lama yang akhirnya dipertemukan karena takdir Tuhan. Asti ternyata orang yang cukup ramah dan banyak bertanya. Perempuan mandiri yang langsung mengabdi pada negerinya tanpa takut dengan resiko apapun. Asti adalah orang yang berhasil menetap di desa ini dan jatuh cinta secara langsung karena pesona tempat ini. Sayangnya, Asti akan diminta oleh pusat setelah tahun ini berakhir karena akan ada pergantian guru. Sebenarnya Asti tidak mau, tetapi aturan pemerintah yang memaksa dirinya untuk pulang. Padahal biasanya, harus memerlukan waktu sepuluh tahun untuk pindah, tetapi baru tahun kelima, Asti sudah diminta. Entah karena apa. Tetapi tetap saja Asti merasa sedih karena harus meninggalkan tempat ini. Tempat yang sudah menjadi saksi bisu perjuangannya selama empat tahun ini. "Untuk imunisasi, saya akan dibantu dengan Dokter Rengga." Ucap Raden yang memperkenalkan Rengga yang berada di sampingnya. Laki-laki itu hanya tersenyum kaku, anggap saja itu sebuah senyuman.  Mungkin beberapa orang sudah mengenal Raden karena sudah setahun tinggal di sini, namun berbeda dengan wajah baru di sampingnya. Rengga sama sekali belum mengenal siapapun kecuali beberapa warga di dekat rumah mereka. Kadangkala pun Rengga lupa dengan beberapa orang yang sudah dikenalnya. "Perkenalkan, nama saya Rengga, Bu. Saya yang akan membantu Dokter Raden kali ini." Sapa Rengga kikuk dengan sopan. Tatapan Asti dan Rengga beradu, mereka buru-buru memutus kontak mata mereka dan fokus dengan penjelasan Bu Dwi yang mengarahkan Rengga untuk ke kelas. Rengga memang akan mengadakan semacam sosialisasi tentang menggosok gigi kepada anak-anak. Peralatan sikat gigi dan juga pasta gigi sudah dibawa. Begitu pula dengan sekotak besar cokelat juga tidak dia lupakan. Rengga tidak pernah melakukan demonstrasi mandiri kepada anak kecil soal hal ini. Selama ini Rengga hanya menjadi pembicara atau melakukan sosialisasi kepada orang dewasa karena dianggap lebih mudah jika dibandingkan dengan anak-anak yang membutuhkan perhatian dan kesabaran ekstra. Tetapi, mungkin program ini akan menjadi sebuah terobosan baru untuk dirinya sendiri. Mencoba dunia baru dan juga pengalaman yang belum pernah dia lakukan sebelumnya. Pertama kali anak-anak melihat dirinya adalah terdiam cukup lama. Kata Bu Dwi, anak-anak memang sedikit parno dengan adanya dokter. Mereka menganggap kehadiran dokter akan berhubungan dengan suntik-menyuntik. Mungkin bukan hanya anak-anak di sini saja yang takut dengan dokter. Bahkan kebanyakan anak selalu menganggap dokter adalah momok menakutkan yang harus mereka hindari. Tidak jarang yang menangis padahal dirinya belum melakukan apapun. Anak-anak itu saling senggol satu sama lain. Padahal dirinya atau Raden tidak ada yang memakai jas putih biasanya karena memang tidak menangani pasien. Hanya memakai kemeja biru polos dan celana kain bahan dengan sepatu hitam yang sudah disemir. Memangnya masih mirip dokter? "Baunya kayak dokter." Bisik seorang anak kepada temannya. Rengga menggaruk tengkuknya yang tidak gatal. Mereka merasa tidak nyaman dengan kehadirannya. Inilah tantangan yang Rengga maksud tadi, dia tidak biasa menghadapi anak-anak karena membutuhkan kesabaran. Apalagi membuat mereka tidak takut saja sudah PR yang cukup sulit dilakukan. "Selamat pagi..." Sapa Rengga ramah di depan kelas. Berusaha membangun kenyamanan sebelum memasuki sesi yang Rengga inginkan. Walaupun tidak hanya bersama dengan Raden, namun kedua guru itu hanya bisa membantu mengkondisikan murid dari belakang. Apalagi ada tatapan mata Asti yang berubah padanya. Padahal tadinya perempuan itu begitu ramah dan banyak bicara. Sekarang yang bisa Rengga lihat adalah tatapan dingin tidak bersahabat. Pikirannya menjadi bercabang dan tidak fokus. Ada apa dengan perempuan itu. Mengapa memusuhinya begitu? "Selamat pagi." Jawab anak-anak itu dengan singkat. Mereka masih tampak takut dengan kehadirannya. Rengga mencoba mengeluarkan beberapa batang cokelat yang sudah dibelinya. Anak-anak itu tampak antusias ketika melihat makanan yang belum pernah mereka makan tampak di depan mata. Memang, harga cokelat batangan yang biasanya bisa dibeli dengan mudah di dekat rumah, harus melewati banyak kilo meter menuju kota jika di sini. Apalagi harganya yang biasanya dua puluh ribuan jika di pulau Jawa, di sini bisa lebih mahal dari itu. "Nih, Pak Dokter punya cokelat lho. Siapa yang mau?" Tanya Rengga menawarkannya di udara. Anak-anak itu tampak malu-malu, saling senggol dan akhirnya ada yang mengacungkan jarinya ke atas. "Saya mau..." Ucapnya dengan polos yang disoraki teman-temannya. Pasalnya, sebelum ada sogokan cokelat ini, mereka hanya diam saja. Setelah ada cokelat, mereka sangat antusias. Tidak salah ternyata dia membeli cokelat. Diam-diam, Asti memperhatikan Rengga dari belakang. Tentunya tanpa sepengetahuan Rengga. Ada yang salah dari pertemuannya, namun Asti tidak mau membaginya dengan Rengga. Dia memilih diam dan tetap melanjutkan tugasnya sebagai seorang pengajar. Mengawasi setiap gerak-gerik yang Rengga lakukan. Rengga berjalan mendekat ke arah anak yang mengangkat tangannya. Laki-laki itu tersenyum dan mengajak anak itu ke depan kelas. "Nah, ini namanya siapa?" Tanya Rengga kepada anak itu ketika mereka telah berada di depan kelas. Anak itu malu-malu, apalagi teman-temannya menyorakinya. Dari apa yang Rengga dengar, anak itu adalah ketua kelas. Karena muridnya tidak terlalu banyak, maka ketua kelas hanya satu orang. Mungkin lebih tepatnya adalah ketua sekolah. "Jafiar." Ucapnya cukup lantang dengan semangat yang menggebu karena akan mendapatkan cokelat dari Rengga. Rengga memberikan sebatang cokelat yang sudah dia janjikan tadi. Jafiar tampak sangat senang, memperlihatkannya kepada semua teman-temannya yang sepertinya juga ingin mendapatkannya. "Nah, setelah makan cokelat jangan lupa nanti gosok giginya ya." Pesan Rengga setelah menyuruh Jafiar untuk kembali ke tempat duduknya. Anak itu mengangguk dengan semangat dan memamerkan cokelatnya kepada teman sebangkunya. Asti melihat bagaimana interaksi antara Rengga dan muridnya. Walau tidak terlalu lues menghadapi anak-anak, namun Rengga cukup fasih mengendalikan kelas dan membuat suasana yang awalnya menegangkan menjadi kondusif kembali. Asti tahu, laki-laki itu sudah berusaha sangat keras untuk melakukan ini semua. Membuatnya mengingat sesuatu yang tidak ingin dia ingat. Asti menepis semua pemikiran itu, dia kembali fokus dengan tugasnya, membantu Rengga mengkondisikan anak-anaknya yang sudah terhipnotis dengan cokelat yang Rengga bawa. Karena makanan itu adalah makanan mahal yang tidak pernah mereka rasakan. "Nah, kali ini Pak Dokter bawa sikat gigi sama pasta gigi. Jadi, Pak Dokter akan mengajari kalian bagaimana menyikat gigi yang baik dan benar. Sebelumnya, Pak Dokter mau tanya, berapa kali kita menyikat gigi dalam sehari? Yang bisa angkat tangan, nanti Pak Dokter kasih cokelat lagi deh." Ucapnya menawarkan yang membuat anak-anak itu berani mengangkat tangannya. Anak perempuan yang sedikit gempal mengangkat tangannya tinggi-tinggi, meminta Rengga memperhatikannya dan memintanya untuk maju. Rengga dengan semangat meminta anak itu untuk maju, menyebutkan namanya lalu menjawab pertanyaan yang sudah Rengga berikan. Dengan lantang anak itu menjawab dua kali. Lalu Rengga kembali memberikan cokelat dan meminta semua anak untuk bertepuk tangan setiap ada teman mereka yang maju dan mendapatkan cokelat. Pembelajaran kali ini tampak sangat menyenangkan. Banyak anak yang berani maju karena ingin mendapat cokelat itu. Setelah selesai dengan pembagian cokelat, Rengga langsung masuk ke materi. Tidak lupa dia membawa gigi tiruan untuk memperagakan cara menggosok gigi yang baik dan benar. Raden siap untuk memperagakan dengan gigi tiruan itu dan Rengga yang akan menjelaskan langkah demi langkahnya. Mereka sangat antusias melihat bagaimana cara menggosok gigi yang baik dan benar. Seperti tidak pernah ada acara semacam ini sebelumnya. Mereka juga baru tahu jika harus menyikat gigi ketika malam hari. Ada sedikit kelegaan ketika mereka mengerti dengan materi yang dia berikan. Bahkan ada anak yang berani maju dan memberikan contoh setelah Rengga melakukannya. Setelah selesai menjelaskan, Rengga tidak lupa membagikan sikat gigi dan pasta gigi kepada masing-masing anak. Lalu mereka digiring ke keran yang ada di depan sekolah untuk melakukan sikat gigi bersama-sama. Rengga sesekali mengarahkan kepada anak-anak agar tidak salah atau memberikan pujian kepada anak yang sudah bisa menyikat gigi sesuai dengan prosedur yang telah dilakukan. Anak-anak itu tampak riang dan memamerkan sikat gigi yang mereka dapat karena berbentuk karakter lucu. Rengga juga sengaja membeli pasta gigi khusus anak-anak dengan berbagai rasa buah-buahan. Melihat mereka senang, Rengga merasa sangat puas. Sudah lama sekali dia tidak tertawa selepas ini. Kehidupan gelapnya ternyata bisa tertawar hanya karena melihat senyuman anak-anak SD yang tidak pernah melihat barang seperti yang dia berikan. Ternyata, sesuatu yang menurutnya biasa saja, bisa terlihat begitu sempurna dan bagus di mata orang lain. Raden menepuk pundak Rengga pelan lalu tersenyum. Ibu jarinya diberikan kepada Rengga setelah usaha yang dia lakukan kali ini. "Terima kasih banyak, Pak Dokter. Anak-anak lebih ceria dan tentunya terbantu dengan apa yang Dokter Rengga dan Dokter Raden berikan. Saya senang melihat mereka bisa menikmati materi dan berlomba untuk maju ke depan kelas." Ucap Bu Dwi setelah mereka semua berada di ruang guru. Rengga dan Raden hanya tersenyum senang. Ditemani dengan pisang goreng dan juga teh panas yang tersaji di atas meja. Tidak lupa seorang Asti yang duduk berhadapan dengan Rengga. Matanya yang bulat dan bibir tipisnya membuat Rengga hilang fokus. Mengapa perempuan seperti Asti lebih menarik dari pada Calista yang bertahun-tahun dia lihat. Rengga mengalihkan pandangan matanya, mengapa dia membandingkan perempuan yang baru di temui dengan Calista. Rengga tidak habis pikir, mengapa Asti begitu dingin dan tidak terlalu peduli dengannya. Bahkan banyak perempuan yang berlomba-lomba untuk mendapatkan perhatiannya. Namun perempuan di depannya, tampak tidak tertarik sama sekali. "Sepertinya Dokter Rengga ini dokter dari rumah sakit besar, ya? Soalnya, wajahnya bukan seperti orang biasa. Kalau Dokter Raden saja, saya sudah hafal karena setiap ponakan rewel dan panas langsung sembuh dengan Dokter Raden." Ucap Bu Dwi yang begitu antusias. "Saya hanya kebetulan mendapatkan kesempatan bekerja di rumah sakit, Bu. Rumah sakit mana saja, menurut saya sama, Bu." Jawab Rengga yang tidak mau mengungkap, rumah sakit seperti apa yang merupakan tempat kerjanya. Bu Dwi mengangguk mengiyakan, perempuan itu mulai mengobrol dengan Raden. Sesekali mereka tertawa karena cerita Bu Dwi, sedangkan Rengga dan Asti hanya diam. Mereka tenggelam dalam pikiran masing-masing. Mungkin pemikiran mereka sama, namun tidak ada yang buka suara. Mereka sama-sama menyembunyikan sesuatu. Asti melirik Rengga cukup lama, dia telah menemukan laki-laki itu. Ah, atau mungkin Rengga lah yang menemukan dirinya. Atau mungkin, takdirkah yang menemukan mereka. ###
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN