Bab 10

2003 Kata
Rengga meletakkan undangan di depan Raden. Sebuah undangan tentang medical cek up yang akan mereka lakukan lusa. Sebuah printer baru tadi pagi datang diantarkan. Raden cukup kaget karena dia sendiri tidak meminta alat itu mengingat bagaimana listrik di desa ini. Lalu tiba-tiba ada yang datang kembali membawakan genset. Pelakunya tidak lain dan tidak bukan adalah Rengga. Laki-laki itu sengaja menghubungi Profesor Leko untuk memberikan barang-barang yang mereka butuhkan. Belum selesai rasa kaget Raden, beberapa mobil truk datang dengan membawa peralatan medis seperti jarum suntik yang lumayan banyak. Ada kantung infus beberapa yang mereka butuhkan. Bagi Rengga, mendapatkan semua itu tidak terlalu sulit, yang sulit adalah bagaimana mengirimkan barang itu ke desa. Tampaknya warga desa sangat heran dengan kedatangan barang-barang yang baru mereka lihat. Lagipula, Rengga bermaksud mempermudah pelaksanaan kegiatan di klinik. Dengan adanya genset, kebutuhan listrik mereka akan terpenuhi. Apalagi ketika listrik mati, klinik jadi gelap dan proses penanganan pasien mungkin kurang efisien. "Hm, kamu itu orang macam apa coba, Dek? Kenapa barang-barang itu bisa semudah itu sampai di sini? Padahal obat-obatan yang aku minta dari tahun kapan baru datang beberapa hari yang lalu." Selidik Raden yang hanya ditanggapi dengan senyuman lucu oleh Rengga. "Aku hanya memanfaatkan apa yang seharusnya aku manfaatkan, Kak. Lagipula, ini semua aku lakukan untuk kepentingan klinik." Jawab Rengga dengan santai. Membuat banyak tanda tanya di dalam pikirannya.  Padahal, bagi Raden, apa yang Rengga minta adalah sesuatu yang bahkan tidak pernah terpikirkan olehnya. Namun ada hikmahnya juga Rengga dikirim sebagai rekan dokternya. Mungkin, jika bukan Rengga, tidak akan ada kemajuan apapun di desa ini. Walaupun awalnya Rengga begitu terpaksa, saat ini Rengga senang melakukan apapun yang menurutnya membantu. Jika memang tidak suka, Rengga bisa saja cuek dan tidak melakukan apapun. Namun malah kebalikannya, Rengga membuat gebrakan baru. Bermula dengan memberikan informasi kepada anak-anak tentang menggosok gigi dan memberikan pelatihan secara gratis kepada anak-anak. Raden tahu, semua fasilitas yang Rengga gunakan ketika melakukan sosialisasi di SD kemarin menggunakan uangnya sendiri. Rengga melakukan semuanya dengan ikhlas tanpa pamrih. Bahkan dia tampak menikmati perannya kemarin. Menjadi seorang dokter yang mampu berbaur dengan anak-anak. Meskipun Rengga sudah bilang jika tidak bisa mengkondisikan anak-anak karena tidak pernah berhubungan dengan anak-anak, nyatanya Rengga bisa membawa diri. "Gimana Kak sama undangannya? Aku sengaja bikin semenarik mungkin supaya pada datang. Oh, iya aku hampir lupa. Seharusnya selain nganterin undangan, kita juga harus door to door. Soalnya aku pikir, enggak semua orang di sini bisa baca. Terutama para orang tua nih. Gimana menurut Kak Raden?" Tanya Rengga yang menyodorkan kembali undangan yang sudah dia buat. Raden mengamati undangan itu, membacanya dengan cermat lalu mengangguk-angguk kepalanya. Rengga memang benar-benar paham bagaimana cara menarik orang lain. Sayangnya, Rengga hanya kurang bersosialisasi. Jika saja mereka sudah kenal dengan Rengga, Raden yakin seratus persen jika mereka semua akan menyukai Rengga dengan mudah. "Ya udah kalau gitu, kita bisa pakai sistem itu. Lagipula medical cek up kan penting banget, kalau pesanannya enggak tersampaikan malah sia-sia aja program kita. Aku pokoknya mengandalkan kamu, Dek. Untuk masalah tempat, aku udah minta bantuan ke pemuda untuk tolongin masang tenda supaya yang antri enggak kepanasan. Jangan lupa siapin nomor urut, nanti biar salah satu pemuda yang bagiin. Oh iya hampir lupa, nanti malam pak kepala desa minta kita berdua datang ke rumahnya. Katanya harus ada perkenalan secara resmi dari kamu. Acara itu juga sekalian sama rapat, jadinya pertemuannya enggak bolak-balik." Ucap Raden yang kembali menyodorkan kertas itu. Rengga mengangguk, dia sudah dengar soal rapat desa yang akan melibatkan dirinya. Menurut Rengga, ini adalah waktu yang tepat untuk memberikan pengumuman masalah medical cek up yang akan mereka laksanakan sebelum undangan diberikan. Entah mengapa akhir-akhir ini, energi positif seakan terperangkap ke dalam tubuhnya. Seperti mendapatkan banyak semangat namun dari dirinya sendiri. Tok... Tok... Tok... Raden dan Rengga saling bertatapan mendengar pintu ruangan klinik yang diketuk dari luar. Rengga berjalan mendekat, membuka pintu dari dalam dengan menyunggingkan senyuman. Rengga mengerutkan keningnya heran ketika seorang anak laki-laki yang pernah dia temui waktu itu berada di depan klinik sendirian. "Kamu, anak yang waktu itu, kan? Yang ketemu di lapangan itu. Nama kamu siapa? Maaf Pak Dokter lupa." Tanya Rengga kepada anak itu dengan ramah. Untunglah ingatannya masih bagus, jadi untuk mengingat anak itu sedikit mudah.  "Okta, Pak Dokter." Jawabnya singkat. Anak itu tampak baru pulang dari ladang. Dilihat dari tubuhnya yang masih kotor, tidak beralas kaki, dan keringat yang cukup banyak menghiasi wajahnya. Kulitnya juga kusam ditempa matahari, mungkin itulah alasan anak itu tidak sekolah. Dia harus mencari uang untuk keluarganya dengan membantu ibunya bekerja. "Oke, ada apa? Kamu sakit?" Tanya Rengga menunduk, mensejajarkan tingginya dengan anak itu. Okta menggeleng lalu menyeka keringatnya yang semakin bercucuran. Dia sulit mengatakan tujuannya kepada Rengga, seperti ada yang mengganjal di hatinya. Rengga tetap menunggu, dia yakin jika Okta datang karena menginginkan sesuatu. "Apa saya bisa dapat cokelat seperti teman-teman yang lainnya?" Tanya Okta lirih tanpa menatap Rengga yang sedikit terkejut karena permintaannya. Okta mendengar jika Rengga membagikan cokelat yang enak kepada semua anak. Okta pun sama, dia ingin mendapatkan cokelat. Pasti sangat enak menikmati makanan itu.  "Saya lihat, semua teman saya membawa cokelat yang sama. Kata mereka, dapat dari Pak Dokter ketika penyuluhan tadi. Jadi, apa saya bisa mendapatkan cokelat yang sama? Saya juga ingin makan cokelat dan punya sikat gigi karakter seperti yang teman saya punya." Ucapnya menjelaskan. Rengga tersenyum lalu mengangguk, untunglah masih ada sisa di dalam rumah. Dia bisa memberikan itu kepada Okta. Apalagi anak itu tidak memiliki kesempatan yang sama dengan temannya yang lain. Rengga berdiri, mengelus pundak Okta pelan. "Kamu tunggu sebentar, biar Pak Dokter ambilkan. Tapi kamu harus menjawab pertanyaan Pak Dokter dulu." Tawar Rengga yang langsung ditangguki oleh Okta dengan semangat. Rengga sedikit berpikir, apakah yang harus dia tanyakan pada anak itu. Setidaknya pertanyaan yang ada hubungannya dengan sekolah. Rengga meminta ijin kepada Raden untuk kembali ke rumah terlebih dahulu. Dia mengajak Okta untuk pulang ke rumah. Memberikannya sebuah buku tulis dan juga pulpen. Mereka duduk di depan rumah berdua. Rengga menyodorkan sebuah buku tulis dan meminta Okta untuk menuliskan angka satu sampai dengan seratus. Okta mengangguk dan menuliskan angkat di bukunya. Rengga mengamati anak itu, tidak ada kesulitan sedikit pun. Okta mampu menuliskan angka tersebut tanpa bertanya sama sekali. Sampai akhirnya dia berhasil menulis sampai dengan seratus. "Wah, kamu berhasil. Jadi, Pak Dokter akan memberikan kamu dua cokelat sebagai hadiah. Oh iya, ini ada sikat gigi dan pasta gigi juga untuk kamu. Jangan lupa sikat gigi setelah makan cokelatnya." Pesan Rengga yang memberikan dua batang cokelat kepada Okta. Okta tampak sangat senang karena mendapatkan dua cokelat. Matanya berbinar, seperti keinginannya telah terpenuhi. "Terima kasih banyak, Pak Dokter. Saya pulang dulu, ya. Pasti mamak senang karena saya bawa cokelat." Ucap Okta yang beranjak lalu berlari untuk pulang. Kebahagiaan ini tidak terlalu berlebihan rasanya, namun Rengga bisa merasakan jika ketulusan yang ada dalam dirinya begitu saja terbangun di sini. ### Balai desa berupa ruangan luas yang dibatasi dengan dinding kayu tampak penuh dari luar. Para warga sudah mulai datang, Rengga dan Raden juga baru saja datang. Mereka langsung dipersilahkan untuk duduk di tempat yang paling depan. Tidak ada kursi yang berjajar di ruangan itu, hanya tikar panjang yang memutari ruangan sebagai tempat duduk warga sekitar. Warga memang cukup antusias karena mendapat kabar akan ada perkenalan dari dokter baru yang sekarang tinggal di desa mereka. Walaupun nama Rengga langsung terkenal di lingkungan mereka, namun perlu adanya perkenalan terlebih dahulu. Bapak kepala desa ikut menemani Rengga dan Raden berbincang santai. Beberapa anak perempuan di ujung pintu saling senggol-senggolan, kekaguman kepada dokter di depan sana sangat terlihat. Memang, nama Rengga dan Raden begitu menjadi buah bibir dikalangan ibu-ibu maupun perempuan muda ataupun remaja. Selain karena kinerja mereka sebagai dokter, mereka disukai karena memiliki wajah yang cukup ganteng di desa mereka. "Selamat malam..." Sapa seorang laki-laki dengan memakai seragam doreng yang berdiri di depan pintu yang terbuka lebar. Semua mata tertuju pada laki-laki tinggi dan gagah yang melebarkan senyumannya. Bertambah lagi satu laki-laki tampan dengan senyuman manis di ruangan ini. Rengga ikut berdiri, mempersilahkan laki-laki itu untuk ikut bergabung. Lalu mereka saling duduk bersandingan. "Bang, sendiri aja?" Tanya Rengga antusias pada laki-laki yang diketahui adalah Lingga—tentara di daerah perbatasan yang kebetulan dekat dengan desa mereka. "Iya, yang lain harus jaga. Aku cuma perwakilan aja dari pada enggak ada yang datang sama sekali." Jawab Lingga yang tersenyum ramah. Tatapan para perempuan semakin intens ke depan, seperti tidak bisa menyia-nyiakan pemandangan yang ada di depan mereka. Para laki-laki tampan dan mapan yang menarik perhatian. "Baik, marilah kita mulai acara pada malam hari ini. Karena kebetulan disamping saya ada dua pak dokter dan satu pak tentara, maka dari itu saya memakai bahasa Indonesia. Malam ini akan berbeda dengan malam sebelumnya, karena apa? Karena desa kita sudah kedatangan dokter baru yang sebenarnya sudah datang beberapa Minggu yang lalu tetapi baru bisa perkenalan karena ikut menyesuaikan jadwal pertemuan bulanan kita. Selain itu ada juga pak tentara yang kebetulan berjaga di pos perbatasan yang dekat dengan desa kita ini. Jadi, saya mengundang mereka untuk perkenalan terlebih dahulu. Untuk Dokter Rengga terlebih dahulu, saya persilakan untuk memperkenalkan diri." Ucap pak kepala desa yang mempersilakan Rengga untuk memperkenalkan dirinya. Rengga mengangguk lalu maju beberapa tempat agar terlihat oleh semua orang. Bahkan belum apa-apa saja, semua orang sudah mulai mengagumi dirinya. Dari atas sampai bawah, Rengga memang tampak menarik, tidak berlebihan jika sejak dulu dirinya adalah laki-laki yang digilai banyak perempuan. "Selamat malam..." Sapanya dengan sopan. Rengga tahu jika mayoritas warga di sini tidak beragam Islam, jadi Rengga memilih menggunakan sapaan formal biasa. "Malam..." Jawab warga dengan serentak. "Terima kasih karena malam ini saya diberikan kesempatan untuk duduk di sini dan memperkenalkan nama saya kepada warga desa semuanya. Perkenalkan, nama saya Rengga. Lebih tepatnya, nama panjang saya Rengga Batara Yudha. Saya salah satu dokter yang ditugaskan rumah sakit di mana saya bekerja untuk mengikuti kegiatan pengabdian sebagai bukti cinta kami kepada warga masyarakat semuanya. Asal saya dari Jakarta. Mungkin itu yang bisa saya sampaikan, jika ada pertanyaan dari bapak atau ibu saya siap untuk menjawab." Ucap Rengga dengan ramah. Mereka semua mengangguk-angguk, berusaha mencerna apa yang Rengga katakan. Rengga tidak memberikan informasi yang terlalu mencolok, misalkan dari mana dia bekerja. Sebenarnya banyak sekali yang ingin mereka ketahui tentang Rengga, namun mereka masih enggan untuk bertanya. "Kalau tidak ada pertanyaan, kita akan melanjutkan dengan pak tentara kita. Untuk Pak Lingga, silakan memperkenalkan diri." Ucap bapak kepala desa kepada Lingga yang sudah mengangguk. "Selamat malam..." Sapa Lingga dengan suara baritonnya yang tegas namun tidak terkesan galak. "Malam..." Jawab warga semuanya dengan kompak. "Perkenalkan nama saya Bimasena Sastra Alingga, biasa dipanggil Lingga. Saya adalah komandan pasukan di pos jaga kali ini. Pangkat saya adalah sersan satu, asal saya dari Jogja. Mungkin jika ada pertanyaan saya akan dengan senang hati menjawabnya." Ucap Lingga yang menutup sesi perkenalannya. Seorang perempuan mengangkat tangannya dengan malu-malu. Wajah ayu dengan kulit putih begitu sangat mendominasi. Bukankah kebanyakan perempuan Kalimantan cantik dan putih? Begitulah definisi yang sering diperdebatkan banyak orang. Tetapi itulah kenyataannya, menurut Lingga sendiri. "Apa Pak Lingga dan Dokter Rengga sudah punya istri?" Tanyanya malu-malu yang disambut dengan sorakan riuh dari banyak orang di dalam ruangan itu. Lingga dan Rengga tertegun sejenak dengan pertanyaan yang diberikan oleh perempuan itu. Lingga hanya menggaruk tengkuknya yang tidak gatal sama sekali. Sedangkan Rengga hanya diam tanpa berekspresi apapun. Dia benci dengan pertanyaan semacam itu. Namun, dia tidak bisa marah, kan? "Hm, untuk saya pribadi, kebetulan saya belum punya istri." Jawab Lingga yang semakin mendapatkan sorakan dari banyak orang. Seperti jawaban yang selalu ditunggu-tunggu oleh perempuan manapun. Orang seganteng Lingga, belum ada yang punya. Rengga sebenarnya tidak ingin menjawab, namun desakan dari Raden dan kepala desa tampaknya tidak bisa membuatnya mengelak dari pertanyaan itu. Rengga menatap Raden, haruskan dia menjawab pertanyaan sepribadi itu? "Saya sendiri belum menikah." Jawab Rengga yang langsung ditanggapi dengan sorakan banyak orang. Namun tidak lama kemudian, Rengga kembali membuka mulutnya. "Tetapi tahun depan, insyaallah saya akan menikah dengan tunangan saya." Jawab Rengga kembali yang membuat semua orang kembali menatapnya. Mereka merasa jika harapan mereka pupus begitu saja. Raden langsung memperhatikan wajah biasa yang Rengga tunjukkan. Dia terpaksa berbohong karena tidak mau hidupnya terusik dengan gangguan perempuan di sini. Dia ingin fokus dengan tugasnya dan pulang tanpa beban percintaan yang selalu membuatnya muak. Rengga berhak membatasi dirinya, bahkan untuk menolak cinta itu sendiri. ###
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN