Bab 12

1011 Kata
"Aku tidak butuh dokter, hanya butuh dirimu untuk menghangatkanku," ucap Mas Arsen sambil memasukkanku ke dalam selimut. "Gimana caranya?" Aku bertanya polos. Tanpa menjawab suamiku itu malah memasukkan kedua tangannya ke dalam bajuku dan menggosok punggung dengan kedua tangannya, ada sensasi tidak biasa menjalar di tubuhku. Bisa-bisanya Mas Arsen malah melakukan hal ini, apa maksudnya coba. "Mas... kalau kayak gini aku yang panas," ucapku lirih, sambil tersipu malu "Nah, lakukan itu padaku," jawabnya sambil menatapku dalam. Membuatku semakin salah tingkah saja. Mau tidak mau, akhirnya aku menuruti perkataannya, aku menelusupkan kedua tanganku ke badannya yang hanya ditutup dengan bathrope dan menggosok pelan punggungnya. Tepat seperti yang Mas Arsen lakukan padaku tadi. Pria yang tertidur miring di sampingku ini, kemudian malah berusaha meloloskan atasanku. Mataku membulat tidak percaya dengan apa yang hendak dilakukan. Kami tidak pernah melakukan hubungan itu lagi sejak aku hamil. "Mas, apa yang kamu lakukan?" pekikku kaget. "Lebih cepat panas kalau kulit bertemu kulit secara langsung. Skin to skin," bisiknya sambil menarikku ke dalam dekapannya, membuat badan kami menempel tanpa jarak. Aku menghentikan elusan tanganku. Kaget, bingung dan entah apa lagi. "Kenapa berhenti? lakukan lagi," bisiknya di telingaku. Pipiku memanas. Bukan... bukan cuma pipiku tapi seluruh tubuhku rasanya naik suhunya. Aku mendongak menatap wajahnya, bibir Mas Arsen sudah tidak pucat lagi seperti tadi, wajah itu kini terlihat memerah menahan keinginan. Mas Arsen mendekatkan wajahnya padaku kemudian menyatukan bibir kami. "Kali ini aku akan melakukannya dengan lembut." bisiknya di telingaku. Dan sore menjelang malam itu kami melakukan ibadah yang hanya bisa dilakukan oleh suami istri, dengan cinta dan kesadaran. Bukan karena efek obat seperti pertama kali Mas Arsen melakukan dulu. Kami terbangun saat waktu menunjukkan pukul sepuluh malam, kami ketiduran setelah melakukan aktivitas menghangatkan badan ala Mas Arsen. "Mas ayo bangun, kita belum salat loh. Katanya gak mau ninggalin salat lagi." aku menggoyang pelan tubuh suamiku untuk membangunkannya. Mas Arsen menggeliat dan membuka matanya, menatapku, lalu tersenyum manis sekali. "Kenapa kau menatapku seperti itu?" Pria itu bertanya padaku yang juga menatapnya tanpa berkedip. "Aku menyukai wajahmu yang tersenyum manis." Dia membalas ucapanku dengan kecupan di keningku. Kami segera mandi secara bergantian lalu salat isya dan mengadha salat magrib, bukankan ini darurat kami ketiduran dari sebelum maghrib. "Mas lapar gak?" aku bertanya karena kami memang melewatkan waktu makan malam. Mama dan Papa juga tidak mengajak kami untuk makan malam bersama tadi, mungkin tidak ingin menggangu kami berdua. "Lapar tapi aku tidak terbiasa makan malam-malam begini." "Aku lapar pengen makan, kamu mau temenin aku makan gak?" Aku menarik tangannya, mengajak ke dapur. Akhirnya lelaki yang sudah menjadi suamiku itu mengikuti ke dapur. Sampai di dapur, aku lebih memilih memasak nasi goreng saja yang simpel. Masih ada nasi dan tinggal cari bahan-bahan lainnya di dalam kulkas. Aku asik memasak dengan Mas Arsen duduk memperhatikan dari meja makan. Selesai masak, aku menuangkan nasi goreng ke dalam satu piring. Aku tidak membuat banyak karena Mas Arsen bilang tidak mau makan di malam hari. Piring berisi nasi tersebut sudah terhidang di atas meja di depan Mas Arsen, aku mengambil dua buah sendok, kupikir mungkin saja suamiku mau mencoba juga. Aku makan dengan nikmat, dan Mas Arsen hanya memperhatikan. Aku mencoba menyodorkan sesendok nasi ke arahnya, ternyata Mas Arsen mau mencoba juga, mulutnya terbuka menerima suapanku . "Katanya kamu putri semata wayang dari pengusaha kaya, kenapa mau masak sendiri?" Mas Arsen bertanya sambil mengunyah. Kenapa suamiku itu bertanya begitu, apa anehnya seorang wanita bisa memasak. "Karena Mama mengajariku, Mama bilang aku harus bisa memasak. Katanya laki-laki itu harus disenangkan perut dan bawah perutnya," tuturku menjelaskan. "Begitukah?" tanya mas Arsen dengan alis bertautan. "Entah... " aku mengangkat bahu, "Tinggal kita buktikan," sambunganku lagi. "Mungkin benar, " sahut Mas Arsen sambil menyuapkan nasi goreng ke mulutnya. Akhirnya kami makan sepiring berdua dengan nikmat, setelah itu aku menuangkan air putih ke dalam dua gelas. Satu untukku dan satu untuk suamiku. "Kamu gak mau minum sisaku lagi?" tanya Mas Arsen. "Enggak, aku bukan wanita jorok!" sahutku meledeknya. "Ya udah kalau gitu aku yang minum bekasmu," ucapnya sambil meraih gelas yang ada di tanganku dan menenggak isinya hingga habis. Aku melongo melihat kelakuannya. "Balik ke kamar yuk," ajaknya sambil mengulurkan tangannya. "Udah mau tidur lagi? kan baru makan, mas." "Barusan sudah menyenangkan perut, sekarang waktunya menyenangkan bawah perut," ujarnya sambil menggendongku menaiki tangga menuju kamarku di lantai dua. **** Aku harus mengeringkan rambut dengan sempurna sebelum turun ke bawah untuk sarapan, barusan Bibi sudah menyuruh kami untuk turun dan sarapan bersama. Mas Arsen hanya sibuk dengan telpon selulernya karena sejak tadi asistennya sibuk menelepon. "Udah belum, ayo turun!" ajaknya sambil menatapku. "Belumlah, belum kering ini, Mas! Kamu bikin aku keramas dua kali dalam semalam," sahutku kesal. "Bukannya kamu juga mau," ucapnya tanpa rasa bersalah. "Hih... dasar!" sungutku dengan bibir mengerucut. Setelah yakin kering aku ikat rambut asal, setengah dibikin acak-acakan biar terlihat natural, kemudian turun bersama Mas Arsen. Papa dan mama terlihat sudah siap di meja makan. Berbeda dengan di rumah Mas Arsen, kalau di rumah ini Mama dan Papa duduk berdampingan. Pun demikian aku duduk di samping kursi yang diduduki Mas Arsen. "Arsen gak sakit kan habis hujan-hujanan?" Mama bertanya sambil menyiapkan makan untuk Papa. "Alhamdulillah enggak ma, Saya dirawat dengan baik oleh Vira jadi gak sakit deh," jawab Mas Arsen sambil tersenyum. "Syukurlah kalau begitu," ucap mama. Kami makan dengan tenang tanpa obrolan lagi. "Pa, boleh tidak Arsen ajak Vira ke Bali?" tiba-tiba Mas Arsen membuka percakapan. "Ke Bali? kapan Mas Arsen merencanakannya? kok dia tidak bilang-bilang padaku," aku membatin. "Mau ngapain ke Bali?" Papa balik bertanya dengan nada datar. Sepertinya belum rela jika aku bersama dengan menantunya ini. "Mau bikinin Papa dan Mama cucu," jawab Mas Arsen santai. Uhuk... uhuk... jawaban Mas Arsen sontak membuat Papa dan Mama tersedak bersamaan. Sedangkan aku reflek mencubit pahanya yang ada di sebelah kananku dengan gemas. Bukannya berteriak kaget tapi dia malah meraih tanganku dan mengengamnya, lalu kemudian menggosok-gosokan di pahanya. "Astaga.... kemana perginya pria yang dingin dulu. Kenapa dia jadi begini," aku membatin sambil menggaruk tengkukku yang tidak gatal dengan tangan kiri, karena tangan kananku masih di genggam oleh Mas Arsen. ****
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN