Setelah kejadian pemukulan itu, Papa tetap tidak mengijinkan ku bertemu dengan Mas Arsen, sedangkan Papa Candra, mertuaku, masih sabar menunggu kemarahan Papa mereda.
Setelah pulang dari rumah sakit, kedua orang tuaku membawaku pulang ke rumah dan diawasi oleh Papa, entah kenapa pria yang sudah membesarkanku itu memperlakukanku seperti anak ABG yang harus dijaga dan diawasi. Aku sangat kesal dibuatnya tapi tidak kuasa melawan kemauan Papa.
Sore ini selepas maghrib, Papa dan Mama sudah pergi, hanya ada asisten rumah tangga di rumah. Kedua orangtuaku ada acara kantor, di sebuah hotel dan katanya akan sampai malam.
Jam delapan malam, saat aku hendak naik ke kamar, terdengar bel berbunyi. Karena si Bibi sedang sibuk di dapur, akhirnya yang membukakan pintu. Di depan pintu terlihat sosok yang sangat aku rindukan.
"Mas Arsen ngapain kesini?" Aku berkata sambil clingak-clinguk ke dalam rumah.
Mengawasi sekitar, kalau bibi lihat, aku takut wanita itu mengadu pada Papa.
"Aku kangen," ucap Mas Arsen sambil memelukku.
Suamiku ini benar-benar sudah berubah, segera aku tarik tangannya dan membawa suamiku menuju kamar di lantai dua.
"Mas gak kapok dipukulin sama Papa?" Aku bertanya saat kami sudah sampai di kamar.
"Enggak, laki-laki mana ada kapoknya. Apalagi kamu kan istriku, jadi aku wajib memperjuangkanmu."
"Iihh kamu kayak ABG aja, Mas."
"Dulu pas ABG aku gak begini, jadi sekarang aja begininya."
"Gimana kalau Papa pulang?" ucapku khawatir.
"Tenang aja, mereka semua akan pulang malam karena acaranya sampai tengah malam. Sebelum mereka pulang aku akan pulang duluan," ucapnya penuh keyakinan.
Aku hanya bisa pasrah melihat kelakuan Mas Arsen, sejujurnya aku juga senang dia datang. Tapi rasanya kami ini seperti orang yang pacaran dan takut ketauan sama orang tua, lucu sekali.
"Mas, apa tidak sebaiknya kamu ajak Papa sama Mama kesini ketemu Papaku dan bicara lagi baik-baik. Mereka adalah teman sejak dulu, pasti mereka bisa saling mengerti ," ucapku memberi usul.
"Iya, Papa juga berniat untuk melakukan itu. Mungkin setelah acara kantor ini kami akan datang kemari," sahut Mas Arsen menjelaskan.
Kami asyik berbicara banyak hal sambil bergelung di dalam selimut sampai akhirnya tidak sadar ketiduran. Aku terbangun saat terdengar ketukan pintu di depan kamarku.
"Elvira buka pintunya!" Papa berteriak di depan pintu.
Aku langsung bangun dan mengumpulkan kesadaranku, saat menatap ke samping, Mas Arsen masih terlelap di sana.
"Mas, bangun, Mas! Papa udah pulang!" ucapku panik.
Mas Arsen bangun dengan kebingungan, segera aku seret lelaki itu yang masih setengah mengantuk dan memasukkannya ke dalam lemari pakaian.
"Mas di sini dulu, jangan berisik!"biskiku
Aku segera membenahi piyamaku yang acak-acakan, kemudian pergi membuka pintu.
"Ada apa sih Pa, malam-malam begini bangunin orang?" Aku membuka pintu sambil mengerjapkan mata.
"Di depan ada mobil Arsen, dimana dia?" tanya papa menyelidik.
"Mana Vira tahu Pa, kan Papa gak pernah ijinin Vira ketemu dia. Mungkin dia lagi mengintai rumah ini menunggu moment untuk menculik Vira," ucapku asal.
"Papa mau cari dia di sini!" Papa berkata sambil menerobos masuk ke kamar.
"Pa! kalau papa berani mengacak-acak kamar Vira, malam ini juga Vira pindah ke butik!" ucapku mengancam.
Papa berhenti kemudian berbalik dan meninggalkanku sendirian di kamar.
"Hufft..." aku menghembuskan nafas lega.
Segera aku buka lemari dan melihat suamiku yang duduk dengan tatapan dingin.
"Kenapa kamu masukkan aku kedalam lemari?"
"Aku takut ketahuan Papa trus Papa mukulin kamu, Mas," ucapku pelan.
"Lebih baik aku dipukulin daripada harus sembunyi didalam lemari, itu menjatuhkan harga diriku," ucap Mas Arsen kesal.
"Lupakan harga diri saat ini, Mas, aku takut kamu dianiaya Papa lagi. Ya?" Aku berkata sambil memegang tangannya dan menatap wajahnya memohon.
"Tapi aku... " Mas Arsen masih ingin berdebat.
"Ssstttt... " Aku menempelkan telunjuk ke bibirnya. "Jangan berdebat saat ini, lebih baik kita pikirkan cara agar mas Arsen bisa keluar dari sini."
Dia meraih telunjukku dan menatapku tajam.
"Yah... dia jadi pemarah lagi," batinku berkecamuk.
Aku membalas tatapannya dengan mata yang mulai berkaca-kaca.
"Maafkan aku," ucapnya sambil merengkuhku dalam pelukannya.
Akhirnya mas Arsen pulang di waktu menjelang subuh, saat orang-orang di rumah tengah asyik terlelap dibuai mimpi.
***
Sesuai janji Mas Arsen, tiga hari kemudian keluarga mereka berkunjung ke rumah untuk berbicara dengan papa. Aku, papa, dan mama menemui mereka bersama.
"Mas Pras, kami sekeluarga minta maaf tidak bisa menjaga Vira dengan baik. Mamanya Arsen dibutakan oleh cintanya untuk Riko. Percayalah, Mas, kami juga sangat mengharapkan kehadiran seorang cucu sama seperti kalian. Biarkan mereka bersama lagi," ujar Papa mertuaku membuka percakapan.
"Aku masih belum bisa memaafkan kesalahan yang kalian perbuat pada Vira, biarkan Vira di sini dulu," sahut papa dingin.
Aku hanya bisa menahan kesal mendengar ucapan Papa. Aku hanya bisa menatap Mas Arsen yang duduk di seberang meja, dia terlihat frustasi.
"Silahkan dicicipi makanannya," ujar Mama mencairkan suasana.
Obrolan Papa dan Papa mertua berubah topik menjadi obrolan bisnis, mereka terlihat begitu asyik. Astaga Papa ... bisa-bisanya dia berubah drastis saat membicarakan urusan pekerjaannya.
Setelah cukup lama berbasa-basi mereka sekeluarga pamit pulang, aku sudah pergi ke kamar sejak tadi. Toh percuma juga di sana, Mas Arsen tidak diperbolehkan mendekatiku.
Terlihat awan hitam bergelayut di langit sore, sepertinya hujan deras akan segera turun. Segera kututup jendela yang menghadap ke balkon kamarku. Pandanganku tertuju pada sosok pria yang aku kenal, Mas Arsen, suamiku. Kenapa dia belum pulang, kenapa dia masih duduk di bangku taman di depan rumah?
Segera aku menghubunginya lewat smartphone.
"Mas, kenapa belum pulang?" Tanyaku saat panggilan telepon tersambung.
Dia menatap ke arahku yang saat ini berdiri di atas balkon.
"Aku tidak akan pulang, aku akan menunggumu di sini," jawabnya santai.
"Bentar lagi hujan, Mas, pulanglah! nanti kamu kehujanan, sakit." Aku mencoba membujuknya. "Papa tidak akan terpengaruh dengan cara seperti ini," sambungku lagi.
"Kita lihat saja, siapa yang paling keras kepala di sini," ujar Mas Arsen lalu mematikan sambungan teleponnya.
"Hih! kenapa dua pria yang sama-sama menyayangiku ini sama juga keras kepalanya."
Tidak menunggu lama, hujan deras pun tercurah dari langit. Aku mulai menghawatirkan Mas Arsen.
"Pa, di luar hujan. Mas Arsen belum pulang, Pa, aku mau suruh dia masuk. Kalau dia sakit gimana, kelamaan kehujanan." Aku menemui papa yang sedang ada di ruangan kerjanya.
"Biarkan saja dia kehujanan! siapa suruh dia tidak pulang," sahut Papa datar.
"Pa .... " ucapku memelas.
Papa tetap mengabaikan aku, aku pergi dari ruangan itu dengan hati kesal.
Sudah satu setengah jam hujan belum juga berhenti dan Mas Arsen masih tetap di sana, terlihat dia mulai kedinginan.
Aku berlari lagi ke ruangan kerja Papa,
"Pa, ini udah satu jam lebih Mas Arsen kehujanan. Kalau sampai terjadi apa-apa sama suamiku, aku tidak akan mau hidup lagi!" ancamku pada Papa.
Ya, itu hanya ancaman. Mana berani aku bunuh diri. Menurut ustadz yang ceramah di samping butikku, bunuh diri adalah perbuatan yang haram dilakukan, dan di neraka dia akan mendapatkan hukuman seperti saat dia menghilangkan nyawanya. Jika dia meminum racun maka akan trus menerus meminumnya di neraka kelak. Begitulah kira-kira yang aku dengar.
"Ajak dia masuk!" Akhirnya Papa melunak.
Tanpa menunggu lama lagi aku segera berlari keluar dengan membawa payung dan menghampiri Mas Arsen.
"Mas, ayo masuk! papa udah ijinin." Aku berkata sambil meraih tangan mas Arsen dan memayunginya.
Mas Arsen mengikutiku dengan badan yang sudah gemetar menahan dingin. Aku segera mengajaknya ke kamar dan membantunya melepaskan pakaiannya. Setelah itu menyuruhnya mandi dengan air hangat. Sambil menunggu suamiku mandi, aku pergi ke dapur untuk membuatkan minuman hangat untuknya.
Aku kembali ke kamar dengan membawa teh hangat, Mas Arsen terlihat sudah selesai mandi dan masuk ke dalam selimut tanpa menganti baju dulu.
"Mas pakailah bajunya, jangan pakai bathrope doang biar gak kedinginan!" ucapku. "Minumlah ini!" Aku menyodorkan gelas yang kubawa.
Dia menerima dan meminumnya. Setelah minum, lelaki itu merebahkan lagi tubuhnya. Aku kembali menyelimutinya, Mas Arsen masih terlihat kedinginan dan bibirnya tampak berwarna pucat.
"Mas, kamu terlihat kedinginan sekali. Aku akan panggil dokter, ya," ucapku sambil berlalu mencari ponselku.
Tiba-tiba dia meraih tanganku dan menariknya hingga aku jatuh menimpa tubuhnya.
"Apa yang kamu lakukan, Mas?"
"Aku tidak butuh dokter, aku hanya butuh dirimu untuk menghangatkanku," ucapnya sambil memasukkanku ke dalam selimut.
****