"Mama tega sekali melakukan ini padaku, Mama boleh tidak menyayangiku tapi kenapa Mama juga tidak menyayangi calon anakku, dia juga akan jadi cucu Mama. Bahkan Mama tega membunuhnya saat usianya baru enam minggu." Sayup-sayup kudengar suara Mas Aresn.
"Calon bayiku sudah tiada? maafkan Mama, Nak, Mama telah menyebutmu menyebalkan padahal kamu masih dalam perut. Apa karena itu kamu pergi meninggalkan mama bahkan saat usiamu baru enam minggu?" batinku berkecamuk mendengar perkataan suamiku.
Air mataku menetes dalam keadaan mata masih terpejam
Kurasakan tangan mas Arsen mengengam tanganku, mungkin dia melihat aku meneteskan air mata.
"Bagaimana kita menjelaskan semua ini pada Mas Prasetyo, Ma?" ucap papa menyebut nama papaku.
Aku membuka mata, "Mama dan Papa belum aku kasih tahu, Pa, mereka belum sempat tahu kalau aku sedang hamil."
Saat aku menyelesaikan kalimatku pintu kamar ruangan ini terbuka, terlihat mama dan papa menatapku dengan bahagia. Kedua orang tuaku datang kemari, siapa yang memberitahu keadaanku di sini.
"Kamu hamil, Nak? Mama sudah menunggu saat-saat seperti ini." Mama bergegas menuju padaku dah memberiku sebuah pelukan.
Hatiku teriris, aku hanya diam tidak tahu apa yang akan aku katanya pada mereka. Semua orang di ruangan ini hanya diam saling menatap.
"Awalnya, Vira memang hamil mas, tapi sekarang calon bayi itu sudah tidak ada," ucap Papa Candra pelan.
"Apa maksudmu, Mas, kenapa bisa tiba-tiba tidak ada? jelaskan padaku," tanya Papa.
"Sebenarnya...." Ucapan papa Candra terputus.
"Sebenarnya sayalah yang bersalah," sela mama mertua menjelaskan.
Kemudian mengalirlah cerita dari mulut Mama, bagaimana bisa aku hamil kemudian kehilangan calon bayiku.
Papa terlihat menahan amarah mendengar penjelasan dari mama mertua.
"Mas Candra, aku yakin melepaskan anakku untuk masuk ke dalam keluargamu karena aku percaya padamu, tapi ternyata kalian menyia-nyiakan putri semata wayangku." Papa berkata sambil mengepalkan tangannya.
"Saya minta maaf Mas Pras, saya tidak tahu akan terjadi hal seperti ini." Papa Candra berusaha menjelaskan.
"Kamu Arsen, kamu tidak bisa menjaga istrimu. Lebih baik Vira kamu kembalikan padaku saja!" Papa berteriak sambil menunjuk mas Arsen.
"Papa! ini bukan salah Mas Arsen," ucapku lemah.
"Kamu tidak perlu membelanya!" Papa menatapku tajam. "Sekarang juga kalian semua pergi dari sini dan jangan pernah temui Vira lagi," ucap papa berapi-api.
Tidak mau membuat keributan akhirnya Papa Candra dan Mama keluar dari kamar inapku.
"Nanti kita bicarakan masalah ini lagi, Mas, kalau Mas sudah tidak emosi," ucap papa Candra sebelum pergi.
"Kamu juga Arsen, keluar!" Papa mengusir suamiku juga.
"Pa ...." ucapku aku memelas.
Mas Arsen mendekatiku dan mengecup keningku. "Nanti aku kesini lagi," bisiknya di telingaku.
Aku melepas kepergian Mas Arsen dengan berat hati, kami sama-sama kehilangan. Kami saling membutuhkan, harusnya kami bersama bukan dipisahkan. Kami baru saja merasakan saling cinta, lalu tiba-tiba harus kehilangan, kenapa Papa juga harus memisahkan kami.
***
Di hari ke dua, Papa tetap tidak mengijinkan Mas Arsen menemuiku. Bahkan handphoneku pun diambil oleh Papa. Aku sudah tidak tahan lagi dan membujuk Mama.
"Ma, ayolah bujuk Papa. Aku butuh Mas Arsen, biarkan dia kesini menemaniku.
"Kamu tahu sendiri kan papamu seperti apa, keputusan susah diubah. Tapi besok papa ada kerjaan keluar kota sehari semalam, besok biar Arsen yang menjagamu di sini. "
"Benarkah?"tanyaku memastikan.
Hatiku senang mendengarnya. Mama mengangguk dan membelai rambutku.
"Lain kali ada apapun kamu harus cerita pada kami, jangan disimpan sendiri," ucap mama.
Aku hanya diam, masa iya masalah dengan mertua harus aku ceritakan pada orang tuaku bukankah itu bukan hal yang bijak.
Setelah menunggu dua puluh empat jam, akhirnya Mas Arsen datang mengunjungiku di sore hari. Aku mulai merindukan sosok itu.
"Arsen, jaga Vira ya. Mama akan pulang," ucap mama sambil mencium keningku.
"Iya, ma," jawab mas Arsen.
Setelah Mama pergi, suamiku itu mendekat dan memelukku
"Aku merindukanmu," ucap Mas Arsen.
Aku membalas pelukannya dengan melingkarkan tangan di lehernya.
"Seperti itulah mengungkapkan rasa cinta," ucapku sambil memberikan kecupan singkat di bibirnya.
Tiba-tiba dia meraih tengkukku dan mendaratkan bibirnya padaku, dia menciumku dengan hangat. Kami melepas kerinduan dan kesedihan yang tertahan oleh sikap Papa.
"Sudah, Mas, nanti kelepasan," ucapku mendorong tubuhnya.
"Hahaha." tawanya lepas.
"Sejak kapan kamu bisa tertawa seperti itu, Mas?"
Kaget aku dibuatnya, kukira dia bukan suamiku yang dingin seperti es kutub itu.
"Sejak, aku bisa mengungkapkan perasaanku padamu," jawabnya.
"Halah gombal!"
"Lah, kata kamu wanita suka di gombalin, apa lagi yang gombalin makhluk tampan dan kaya sepertiku," ucapnya narsis.
Aku letakkan telapak tanganku di keningnya. "Sepertinya kamu sakit, Mas, omonganmu ngelantur."
"Aku bukan sakit, tapi sudah sembuh dari sakit di jiwaku karena bersamamu." Mas Arsen berkata sambil merebahkan diri di sampingku.
Kami tidur di ranjang pasien yang sempit berdua.
***
Aku terbangun di pagi hari saat mendengar lantunan ayat suci Al-Quran, aku lihat Mas Arsen sedang salat. Aku melihat sisi yang berbeda dari suamiku ini.
Selesai salat, pria dengan balutan baju Koko itu menghampiriku yang sudah selesai dari kamar mandi. Dia mengelus rambut dan mencium keningku. Mas Arsen terlihat berbeda dengan baju koko dan pecinya.
"Mas Arsen salat?" Aku bertanya karena tak pernah melihatnya salat saat bersamanya dulu di rumah.
"Iya, gini-gini aku juga masih suka solat. Tapi kadang-kadang," jawabannya. "Mungkin cobaan datang bertubi-tubi di dalam kehidupan kita karena Allah hendak membuat kita mengingat dan dekat padaNya. Selama ini kita bergelimang kemudahan dan kita lebih banyak lupa, makanya kita disapa dengan musibah karena Allah masih sayang pada kita," ucap Mas Arsen bijak.
"Wah Mas Arsen udah kayak ustadz," selorohku meledeknya.
"Ini gara-gara nginep di butik dua minggu, seminggu tiga kali dengrin pengajian," papar Mas Arsen menjelaskan.
"Ya udah kita pindah ke butik aja." Aku menjawab antusias.
"Mana bisa, itu cuma bisa buat tidur gak bisa jadi rumah. Lagian di sana ada tiga wanita yang masih muda-muda, kamu tidak takut aku tertarik pada mereka."
Ucapannya aku balas dengan cubitan menyakitkan di pinggangnya. Sedang asyiknya bercanda, tiba-tiba pintu terbuka.
"Papa...." ucap kami bersama saat melihat papa tiba-tiba datang dengan pakaian khas orang pulang dari bekerja.
"Kenapa Papa kesini?" tanyaku.
"Papa mau jemput Mama seklian bareng pulang dulu ke rumah. Tapi kenapa laki-laki ini ada di sini? Mamamu benar-benar tidak bisa dipercaya," seru papa marah saat melihat mas Arsen ada bersamaku.
"Pa .... " Aku berteriak memelas.
"Kamu memang tidak bisa kasih tahu dengan kata-kata." Papa berkata sambil menghajar mas Arsen.
"Papa hentikan!" Aku berteriak histeris.
Lelaki yang mengukir jiwa ragaku itu tidak peduli, Papa tetap memukuli Mas Arsen yang hanya diam tidak melawan atau berusaha melindungi dirinya.
Papa berhenti saat melihat suamiku sudah terkapar tidak berdaya. Aku segera menghambur memeluk tubuhnya yang mungkin saja penuh luka.
"Papa tega!" Aku berteriak sambil menangis.
****