"Minumlah... " Mas Arsen menyodorkan gelas berisi jus yang tinggal setengah padaku.
Aku menerimanya sambil melirik ke arah Mama, wanita yang melahirkan suamiku itu terlihat tidak suka dengan apa yang dilakukan Mas Arsen padaku. Sejak dokter bilang aku hamil, Mas Arsen lebih lembut dan peduli pada termasuk berbagi minumannya denganku.
Waktu itu aku tidak sengaja mendengar Bi Sumi bilang pada Mas Arsen untuk menuruti semua keinginanku, termasuk berbagi minumannya denganku dan memberikan pelukan juga. Bi Sumi bilang kalau orang ngidam tidak dituruti, nanti anaknya akan ileran. Entahlah, apa korelasi antara keinginan ibu dan anaknya yang ileran jika keinginan ibunya tidak terpenuhi.
"Sepertinya cucu pertama papa akan mirip dengan Arsen," ucap papa berkelakar.
Ya, calon bayi dalam kandunganku adalah cucu pertama mereka. Alana yang menikah lima tahun lalu belum memiliki keturunan.
Aku hanya tersenyum menanggapi ucapan Papa, aku juga melihat senyum tipis di bibir Mas Arsen. Kadang aku ingin menarik sudut bibirnya kebatas biar dia tahu caranya tersenyum dengan lebar.
Setelah rapi sarapan aku mengekor Mas Arsen ke halaman, mengantarkan pergi ke kantor. Papa lebih dulu pergi dengan supir, sedangkan suamiku selalu mengendarai mobilnya sendiri.
Di samping mobil dia mengulurkan tangannya dan aku mencium punggung tangannya, tidak seperti dulu, aku melakukan dengan mencuri-curi.
Setelah ritual cium tanganz suamiku itu memberikan pelukan padaku, aku menyembunyikan wajah di dadanya. Kuhirup aroma yang menguar dari tubuhnya sambil menggosok hidung di d**a itu. Setelah puas melakukannya, aku kembali merapikan dasinya yang berantakan.
"Kenapa kau selalu melakukan ini?" Mas Arsen mengajukan pertanyaan.
"Entahlahn... aku menikmatinya, bawaan bayi mungkin," jawabku asal.
"Kamu yakin itu bawaan bayi, bukan maunya kamu aja begitu?"
Aku mendelik kesal ke arahnya serta mendorong tubuh itu dariku "Kalau gak mau juga gak apa-apa," sahutku kesal.
"Enggak, aku cuma bercanda," ucapnya sambil menarikku ke dalam pelukannya lagi.
Setelah Mas Arsen berlalu dengan mobilnya, aku masuk ke dalam rumah kembali. Sejak pulang dari rumah sakit tiga hari lalu, aku memutuskan untuk beristirahat di rumah. Urusan butik, aku serahkan pada tiga karyawanku.
"Semudah itu kamu melupakan Riko," Suara mama mengagetkanku saat aku hendak berjalan menaiki tangga.
"Bukan begitu, Ma," ucapku pelan.
Aku tidak ingin berdebat dengan mertuaku itu, meskipun beliau membenciku tapi aku tidak boleh membencinya.
"Bukan begitu bagaimana, buktinya kamu dengan mudah berpaling dari Riko dan hidup bahagia dengan Arsen, apa itu namanya kalau tidak melupakan!" seru mama ketus.
"Lalu aku harus bagaimana, Ma? terus meratapi kepergian Mas Riko dan mengabaikan Mas Arsen? Mas Riko dan kita sudah hidup di tempat yang berbeda. Dia sudah tidak punya urusan dengan dunia ini, Ma. Mas Riko hanya butuh doa kita. Apa dengan aku meratap Mas Riko akan kembali bersama kita." aku trus berkata tanpa bisa mengendalikan diri.
"Kamu...! "Mama berteriak dan hendak melayangkan tangannya padaku.
Aku mundur beberapa langkah.
"Ingat yaa Ma, aku bukan gadis miskin yang bisa dianiaya oleh mertuanya seperti di sinetron. Aku putri satu-satunya dari seorang pengusaha, jika aku tidak diharapkan di sini aku akan tetap nyaman hidup dengan kedua orangtuaku."
Mama mendengus mendengar perkataanku, kemudian meninggalkanku dengan kesal.
"Maafkan Vira Ma, bukan maksud Vira melawan Mama." aku berkata lirih saat Mama sudah pergi meninggalkan.
****
Aku terbangun saat merasakan sebuah pelukan, sejak hamil memang mudah mengantuk. Kadang aku tertidur sebelum Mas Arsen pulang kerja.
Saat ini, tercium aroma segar sabun mandi dari tubuhnya. Seperti suamiku itu baru selesai mandi.
"Sudah pulang, Mas? mau makan?" aku bertanya dengan suara serak.
Lelaki itu hanya menggeleng dan tetap memelukku, dan saat dia memelukku aku selalu akan menggosokkan hidungku ke badannya. Rasa kantuk menguap berubah menjadi rasa yang lain ... rasa lapar.
"Mas aku pengen ...."
"Pengen apa?" tanyanya cepat sebelum aku menyelesaikan ucapanku.
"Pengen nasi goreng."
"Ayo kita beli, mumpung baru jam setengah sembilan."
Suamiku itu bergegas bangun dari tidurnya dan dengan semangat mengajakku pergi mencari makanan yang aku inginkan.
Kami segera menyusuri jalanan untuk mencari nasi goreng, setelah mendapatkannya kami meminta untuk dibungkus karena aku memang ingin makan dirumah.
Setelah sampai di rumah, aku mengambil dua buah piring dan membawanya ke lantai atas, aku mengajak Mas Arsen untuk makan di balkon sambil menikmati angin malam yang segar.
"Mas, aku boleh tanya sesuatu gak?" ucapku sambil mengunyah nasi.
"Tanyalah."
"Jangan marah tapi ya."
"Iya." jawabnya pendek.
"Puisi yang Mas Riko pakai buat merayuku dulu apa Mas Arsen yang buat?" aku bertanya pelan.
"Hemmm."
Hanya gumaman yang keluar dari mulutnya.
"Puisinya bagus loh," pujiku. "Aku aja dibuat jatuh cinta pada Mas Riko oleh puisi itu. Kenapa Mas Arsen tidak memakainya untuk merayu wanita?"
"Aku tidak suka merayu wanita," ucapnya datar.
"Wanita itu suka dirayu mas, kelemahan wanita itu ada pada telinganya kalau keseringan dirayu pasti klepek-klepek ditambah lagi kalau yang merayu tuh cowok tampan dan tajir dijamin gak akan ada yang menolak," tuturku panjang lebar.
"Sekali-kali isilah hatimu itu dengan cinta, biar hidupmu gak kaku kayak kanebo kering, Mas."
"Aku tidak pernah diajari cara mencintai, makanya aku tidak bisa mencintai," ucapnya lirih.
Aku menghentikan aktivitas makanku dan menatap wajahnya.
"Mama tidak pernah mencintaiku sebesar cintanya pada Alana dan Riko, Mama dan Papa dulu menikah karena dijodohkan. Saat aku lahir karier Mama sedang menanjak tapi harus berhenti karena setelah melahirkanku mama mengalami pendarahan dan harus istirahat dalam waktu yang lama.
"Oleh sebab itulah bagi Mama aku adalah anak yang tidak membawa keberuntungan buatnya. Makanya aku sedih saat kamu mengatakan calon anak kita menyebalkan. Aku tidak ingin anak itu tidak mendapatkan kasih sayang dari Mamanya." Mas Arsen bercerita dengan tatapan menerawang.
Perasaanku teriris mendengar penuturannya, aku berdiri dan mendekatinya. Aku menunduk dan memeluk tubuh tegapnya.
"Aku akan mengajarimu cara mencintai, mas."
Aku memberikan kecupan bertubi-tubi di wajahnya. Mas Arsen menghentikan diriku dengan cara membingkai wajahku dengan kedua tangannya, dia membalas memberiku kecupan kemudian mengendongku masuk ke kamar.
****
Pagi itu setelah Mas Arsen berangkat kerja, aku meminta Bi Sumi membuatkan jus jeruk, tiba-tiba saja aku ingin sekali meminumnya.
"Bi, tolong bikinin Vira jus jeruk sekalian antar ke balkon ya," pintaku pada pembantu rumah tangga kami sebelum aku naik ke atas.
"Iya, Non, tunggu sebentar ya," jawab Bi Sumi dengan senyum mengembang.
Aku menunggu wanita berusia senja itu sambil duduk bersender di kursi yang tersedia di balkon, mataku menikmati pemandangan bunga-bunga di bawah sana yang mulai mekar beberapa.
Setelah menunggu cukup lama, akhirnya Bi Sumi datang sambil membawa jus jeruk pesananku. Tanpa menunggu lama, aku langsung menghabiskannya.
Saat aku hendak masuk lagi ke kamar, tiba-tiba perutku terasa sakit dan sangat melilit, aku melihat Mama datang tergopoh-gopoh kenarahku.
"Vira apa kamu sudah meminum jus yang tadi Bi Sumi bawa?" Mama bertanya dengan panik.
Aku hanya mengangguk sambil memegang perutku yang semakin sakit.
"Maafin mama, Vira, mama memasukkan sesuatu ke dalamnya. Mama khilaf, mama tergesa-gesa datang kesini untuk mencegah kamu meminumnya tapi ternyata sudah terlambat."
"Aaww, kenapa mama tega melakukannya," ucapku sambil menahan sakit dan meneteskan air mata.
Masih sempat aku dengar mama berteriak memanggil supir dan Bi Sumi sebelum akhirnya aku pingsan karena tidak tahan dengan rasa sakit ini.
****