bc

Cinta Ditalak, CEO Bertindak!

book_age18+
1.5K
IKUTI
19.9K
BACA
HE
boss
stepfather
blue collar
drama
bxg
like
intro-logo
Uraian

Hana begitu tersiksa menjalani pernikahan yang tak pernah sekalipun membuatnya bahagia. Awal cerita, pernikahannya dimulai karena persahabatan kedua orangtua. Namun, apa daya. Ketika sang ayah meninggal dunia–sikap sang mertua tak lagi hangat seperti sedia kala. Pun suami yang mulai terlibat cinta dengan sekretarisnya. Malangnya, Hana pernah mengalami keguguran di usia dini pernikahan lalu membuatnya sulit memberikan keturunan. Dan apa yang terjadi? Sang mertua makin menjatuhkan. Lambat laun, ikatan pernikahan itu membuat dirinya semakin tak bisa bertahan. Ketika ia ingin menyerah pada keadaan, seorang anak perempuan datang memberinya harapan. Haruskah ia melanjutkan ikatan pernikahan itu atau mencari kebahagiaan dari yang lain?

chap-preview
Pratinjau gratis
Si Anak Cerdas!
“Efek kuretase dan rasa trauma sepertinya telah membuat Ibu Hana sulit untuk bereproduksi kembali. Padahal, sudah hampir lima tahun, ‘kan?” “Benar, Dok.” “Kalau ibu tidak bisa berdamai dengan luka dan rasa trauma yang ditimbulkan oleh keguguran saat itu. Maka, akan sulit bagi Ibu memiliki buah hati kembali.” Seorang wanita berhijab disana hanya bisa memainkan jari seraya memberikan kekuatan pada dirinya sendiri. Setelah lima tahun menanti, pasca keguguran di usia pernikahannya yang masih terlalu dini. Tak ada yang bisa ia lakukan selain menangisi apa yang terjadi. “Ibu Hana, coba lagi, ya. Tetap jaga pola makan dan hindari stres.” Hana mendongak. Ia menatap sayu bola mata dokter cantik yang mengusap lengan kanannya dengan lembut. Perasaan wanita itu seketika berkecamuk. Ada rasa yang tak bisa ia ungkapkan pada dokter yang memberinya kekuatan saat itu. Jika saja wanita berkacamata itu tahu bahwa keadaannya jauh dari kata baik-baik saja. Apakah mungkin ia bisa hamil kembali? ‘Bahkan aku merasa sangat sesak, seolah tidak ada ruang untukku bahagia.’ Tes! Air mata menetes dan dokter bername-tag Mega, Sp.OG menatapnya penuh iba. “Ya Allah … apa salahku? Mengapa dunia ini begitu kejam memperlakukanku?” Disebuah rooftop rumah sakit, seorang wanita memandang langit yang mulai tertutup awan hitam. Rasa sakit yang bertubi-tubi, serta kehidupan pernikahan yang tak bisa ia akhiri membuat wanita itu seolah terbelenggu dalam jeruji besi. “Untuk apa kamu masih disini? Kamu itu cuma aib bagi keluarga Dewadaru!” “Hiks!” Isak tangis menguar pelan ketika kalimat terngiang di telinga. “Kalau saja kamu bukan putri dari sahabat suami saya—kamu ga akan pernah saya terima di rumah ini! Bikin malu saja! Masih muda tapi sudah mandul!” “Hiks … hiks!!” Kali ini isak tangis tak lagi menguar pelan. “Ya Allah! Apa yang harus aku lakukan!” Suara jeritan hati seorang istri menggema di atas gedung rumah sakit swasta di bilangan ibukota besar. Sesekali ia menepuk-nepuk dadanya yang tertutup hijab dengan kasar, agar rasa sesak itu berkurang. Namun, semua dirasa percuma. Bahkan kaki yang ia gunakan untuk menjadi tumpuan seolah berubah ringan. Ia hampir terkulai lemah. Namun, sebuah tangan kecil, gegas menggenggamnya erat. “Bibi ga apa-apa?” Wanita yang sudah terlanjur berjongkok demi menahan rasa sesak di d**a, lantas melongok. “Apa Bibi baik-baik saja?” Suara mungil itu seolah menghipnotis Hana. Tatapan mata yang saling beradu membuat hati Hana semakin teriris. Dalam benak, ia bertanya-tanya, siapa gadis kecil di hadapannya kini? Apa ia sedang berhalusinasi? Tapi mengapa jemari kecil itu terasa lembut menggenggam tangan kasar miliknya? “Jangan pernah kembali! Saya ga sudi lihat menantu sepertimu!” Saat genggaman tangan mereka menyatu, gadis kecil tersebut bisa merasakan permasalahan yang terjadi pada wanita dewasa di hadapannya. Ketika itu pula, ia mengusap air mata yang membasahi pipi wanita tersebut. ‘Jika saja anakku lahir saat itu–mungkin usianya sudah seusiamu, Nak.’ “Jangan sedih, Bibi,” ucap anak gadis itu ketika mendengar suara hati Hana. Satu kalimat yang keluar dari bibir anak itu justru membuat Hana semakin tak bisa menghentikan air mata. Isak tangis pun semakin menjadi dan disaat yang sama, anak gadis itu memeluk tubuhnya begitu erat. “Everything's gonna be ok, Bibi.” Hana hanya bisa menangis dalam pelukan anak gadis tersebut. Semakin dalam, ia semakin mengeratkan tubuhnya, seolah tak ingin lepas. Dan jika semua yang terjadi padanya hanya sebuah mimpi, ia berharap tak ingin bangun dari tidurnya kini. Tak lama, Hana mengurai pelukan mereka, lalu menatap manik mata gadis cilik berpakaian pasien tersebut dengan dalam. Hana menduga bahwa anak itu merupakan salah satu pasien yang sedang tersesat di area rumah sakit tersebut. “Siapa namamu?” “Humaira ….” Hana tersenyum haru. “Humaira Kartawijaya.” “Kenapa kamu ada disini? Dimana orang tuamu?” Melupakan sejenak rasa sedih, Hana berlutut di hadapan Humaira seraya tersenyum hangat. Sesekali ia mengusap pipi halus serta membelai rambut ikal panjang anak tersebut. “Ayahku sedang bekerja. Ibuku sudah ga ada.” ‘Ya Allah, maafkan Bibi, Humaira.’ Hana membatin. Tapi, Humaira bisa mendengar apa yang wanita itu ucapkan. “Ga apa-apa, Bibi.” “Eung?” Hana tak memiliki prasangka apapun terhadap anak kecil di hadapannya itu. Ia hanya mengira anak itu terlalu lugu dan cantik hingga membuat Hana ingin terus bersama. Ia pun mengajak Humaira berbincang-bincang. “Lalu kenapa kamu ada disini sendirian?” “Aku sedang mencari udara segar,” ucap Humaira membentangkan gigi putihnya di hadapan Hana. Sungguh manis! Hana merasakan kesejukan di hatinya. Bagaimana mungkin ia ingin meninggalkan gadis kecil yang begitu cantik? Dengan bola mata hazel yang berkilau serta rambut bergelombang panjang sebahu. Humaira pasti memiliki garis keturunan campuran dari ibu dan ayahnya. “Kamu sedang dirawat disini?” Humaira mengangguk cepat. “Sebaiknya kamu kembali ke kamar, Sayang.” Lagi-lagi Hana membelai rambut anak itu hingga membuat Humaira begitu tersanjung. ‘Bunda, apa aku boleh meminta Bibi ini jadi penggantimu saja?’ Manik hazel itu terlihat berkaca-kaca. Namun, ia tutupi dengan senyum manisnya. “Ga Bibi, aku ga mau ….” Belum genap ucapan anak itu terlontar. Suara pekikan serta hentak kaki mengalihkan pandangan mereka. Hana dan Humaira menoleh ke arah para gerombolan pria berjas hitam yang muncul dari pintu darurat. “Itu dia si anak nakal!” Segerombolan pria berpakaian serba hitam menunjuk ke arah mereka. Tubuh para pria tersebut terlihat tinggi dan berisi. Setidaknya ada dua pria dari arah pintu darurat menuju Hana dan Humaira. “Siapa kalian?” tanya Hana lantas berdiri. Ia menarik tangan gadis kecil itu lalu menyembunyikannya ke belakang. “Bibi mereka orang jahat,” bisik Humaira, pelan. “Benarkah?” “Iya.” “Kamu tenang saja, ya. Bibi akan menjagamu.” Kedua pria berjas itu menyeringai. Senyum mereka seolah menunjukkan ejekan kepada wanita lemah seperti Hana. “Jangan ikut campur, Nona!” “Siapa kalian?!” Pelan-pelan Hana melangkah mundur, diikuti Humaira yang ikut melangkah sambil merangkul erat lengan wanita berhijab tersebut. Ketika kedua pria berjas itu mengambil posisi kuda-kuda, Hana dan Humaira menyusun rencana. “Kalau mereka mendekat, kamu lari dari bawah kolong atau celah mereka, ya,” bisik Hana sangat pelan. Mungkin jika Hana tidak berbisik pun, Humaira sudah tahu apa yang dipikirkan wanita itu. Ketika kedua pria berjas tersebut merentangkan tangan dan hampir menangkap mereka, Hana dan Humaira saling menjauh. Hana berlari cepat ke belakang mereka saat kedua pria itu terjungkal. Sementara Humaira sempat melewati celah pria itu sebelum keduanya jatuh. Hana pun menarik tangan anak kecil itu lantas berlari sambil menertawai dua pria disana. Langkah kaki mereka berlari secepat mungkin. Tiba di ambang pintu darurat, Humaira menahan Hana. “Sebentar, Bi.” “Ada apa? Kita ga punya banyak waktu, Sayang!” “Pintu ini harus kita kunci.” Humaira lantas menutup pintu besi itu lalu mendorong pengait dari dalam. “Tada! Selesai!” Humaira menepuk kedua tangan sebagai pertanda telah menyelesaikan misi. “Kamu ini anak yang cerdas, ya.” “Hehe.” Humaira hanya mencengir. “Ayo, Bibi gendong di belakang.” Hana berlutut ketika melihat wajah gadis kecil di hadapannya berubah pucat pasi. Humaira pun naik ke punggung wanita itu. “Kamar kamu lantai berapa?” “Lantai dua, Bibi.” “Baiklah.” Setelah turun satu lantai, Hana menuju lift untuk membawa mereka ke lantai tersebut. Keduanya terlihat akrab walau baru bertemu pertama kali. Mereka berbincang santai sambil terus menertawai nasib kedua pria yang tersungkur di atas rooftop. Padahal, baik Hana maupun Humaira tidak melakukan perlawanan apapun. Kedua pria itu sungguh lemah! “Memangnya mereka siapa?” tanya Hana ketika pintu lift terbuka di lantai dua. Hana melangkah, namun selama itu pula Humaira tak memberi jawaban. Satu detik, dua detik, tiga detik hingga beberapa detik … Humaira membisu. Ia melipat bibir menahan tawa. Curiga dengan kecerdasaan anak gadis itu, Hana menurunkan tubuh Humaira lalu menatap iris matanya. “Humaira ….” “Humaira!!” Suara seseorang bersamaan memanggil nama anak kecil disana. ***

editor-pick
Dreame-Pilihan editor

bc

Siap, Mas Bos!

read
13.1K
bc

Tentang Cinta Kita

read
190.0K
bc

My Secret Little Wife

read
97.4K
bc

Dinikahi Karena Dendam

read
205.5K
bc

Single Man vs Single Mom

read
97.1K
bc

Iblis penjajah Wanita

read
3.6K
bc

Suami Cacatku Ternyata Sultan

read
15.4K

Pindai untuk mengunduh app

download_iosApp Store
google icon
Google Play
Facebook