Bab 1. Kontrak Sewa Rahim
"Apa ini, Tuan? Saya hanya pinjam uang, kenapa malah dikasih berkas?" Aira merasa terkejut ketika atasannya melempar sebuah map yang ternyata berisi surat perjanjian.
"Bisa baca 'kan?" tanya Adrian dingin disertai sorot yang tajam.
Aira segera meraih berkas di depannya saat menyadari jika dia telah banyak bicara. Atasannya ini sangat membenci seseorang yang banyak bertanya tanpa memahami terlebih dulu.
Wanita itu mulai fokus membaca bait demi bait isi surat perjanjian itu. Matanya membelalak saat melihat nominal yang dijanjikan, jika dia bersedia menerima dan menyelesaikan kontrak dengan baik, ditambah dengan uang kompensasi yang diterima selama proses perjanjian berlangsung.
"10 miliar? Anda serius, Tuan?" tanya Aira untuk memastikan. Dia tidak habis pikir, uang sebanyak itu diberikan secara cuma-cuma hanya demi sebuah kontrak tak berarti.
"Ya, asal kamu mau menuruti semua peraturan dariku tanpa banyak protes. Anggap saja saya sedang menyewa rahimmu untuk mengandung keturunanku," sahut Adrian seraya menyilangkan tangan, menatap angkuh wanita di depannya.
Aira terdiam sejenak untuk berpikir antara menerima tawaran itu atau tidak. Siapa yang tidak menginginkan uang sebanyak itu tanpa harus memikirkan untuk mengembalikan di kemudian hari. Siapapun pasti akan tergiur, termasuk dirinya. Akan tetapi, disetiap kompensasi yang besar pasti ada resiko besar pula yang harus ditanggung, mengingat status pria itu telah beristri.
Dia harus bersedia mengandung benih pria itu. Parahnya lagi, dia tidak memiliki hak legal atas janin yang dikandungnya. Setelah anak itu lahir, hak asuh penuh ada di tangan Adrian, sementara dia harus meninggalkan anaknya. Belum lagi, poin-poin lain yang lebih banyak merugikan dirinya sebagai pihak kedua.
"Maaf, jika saya lancang, Tuan ... Anda sudah punya istri, untuk apa menawarkan perjanjian seperti ini?" Aira memberanikan diri untuk bertanya.
Dia perlu mengetahui alasan Adrian melakukan ini, sebab resiko yang diterima di kemudian hari sangatlah besar. Bukan hanya reputasinya yang dipertaruhkan, tetapi turut menyeret reputasi Adrian dan keluarga besarnya. Terlebih keluarga Adrian bukanlah orang sembarangan. Mereka merupakan orang terpandang di kota ini.
Siapa yang tidak mengenal keluarga Pratama. Semua orang di sudut kota ini pasti tahu jika mereka adalah pemilik perusahaan real estate terbesar di Jakarta, yang memiliki banyak anak perusahaan di berbagai kota, dan termasuk jajaran konglomerat terkaya di negara ini.
"Sebaiknya Anda berikan uang itu pada Nyonya Nadine. Saya akan mencari pinjaman ke tempat lain, jika Anda tidak bersedia meminjami saya uang." Wanita berusia 25 tahun itu kembali bersuara saat tak kunjung mendapat jawaban dari atasannya.
Adrian menghela napas panjang. Andai semudah itu, dia tidak akan dipusingkan dengan masalah keturunan seperti ini. Keluarga besarnya, terutama sang kakek menuntut keturunan darinya, sedangkan Nadine–istrinya tidak bisa memberikan.
Sang kakek hanya memberi waktu satu tahun padanya untuk mendapat keturunan, jika tidak maka tonggak kepemimpinan perusahaan akan jatuh ke tangan sepupunya yang jelas-jelas sudah memiliki keturunan.
Tentu saja, Adrian tidak ingin hal itu terjadi. Perusahaan berkembang pesat hingga sebesar ini atas jerih payah mendiang ayahnya. Dia tidak rela kerja keras ayahnya dinikmati oleh sepupunya yang terbilang cukup licik.
"Istriku mandul."
Jawaban itu sontak mengejutkan Aira. Mulut wanita itu terbungkam tanpa bisa berkata-kata lagi.
Setelah menghela napas sejenak, Aira kembali bersuara, "Apa Anda yakin ingin melakukan ini, Tuan? Karena sama saja Anda telah mengkhianati Nyonya Nadine."
"Ini bukan soal yakin atau tidak, Aira!" Adrian membentak. "Ini soal kesepakatan bisnis! Kamu butuh uang, saya butuh keturunan. Kalau kamu tidak bersedia menerima, pintu keluar ada di sebelah sana." Adrian menunjuk pintu yang berada tak jauh dari tempat duduknya.
"Hanya dengan cara ini saya bisa membantumu," lanjut pria itu dengan suara beratnya.
Aira terpaku di tempat seakan berperang dengan dirinya sendiri. Hati meminta untuk menolak, sementara akal meminta untuk menerima tawaran itu. Dia menggantungkan harapan besar pada bosnya. Keadaan yang mendesak memaksa dirinya untuk meminjam uang pada sang atasan.
Beberapa saat yang lalu, dia mendapat kabar dari sang adik jika ibunya mengalami kecelakaan dan mengalami cedera serius pada bagian kepala. Demi menyelamatkan nyawa, sang ibu harus segera di operasi yang membutuhkan biaya besar. Belum lagi, rentenir yang meneror karena sudah jatuh tempo.
Rentenir meminta pelunasan utang beserta bunga berjumlah fantastis dalam waktu tiga hari ke depan, jika tidak maka rumah peninggalan sang ayah akan disita. Tentu saja, Aira tidak menginginkan hal itu terjadi.
"Saya butuh jawaban secepatnya, Aira." Suara berat pria berusia 36 tahun itu berhasil menyadarkan lamunan Aira.
Wanita itu menggenggam erat bolpoin di tangan, berusaha memantapkan hati di tengah keraguan yang mendera. Dia memejamkan mata sejenak kemudian ....
"Baik, saya bersedia," sahutnya seraya membubuhkan tanda tangan pada dokumen tersebut.
Adrian tersenyum puas melihatnya. Kini, jalan untuk mendapatkan keturunan yang bisa memperkuat posisinya di perusahaan telah terbuka lebar.
Pria itu menatap lekat wanita muda di depannya. Aira adalah sekretaris pribadinya di kantor. Kedatangan Aira yang ingin meminjam uang bagaikan angin segar untuknya. Perjanjian sewa rahim terlintas begitu saja dalam benaknya.
Terdengar jahat memang, dia memanfaatkan kesulitan Aira demi kepentingan pribadinya. Tapi mau bagaimana lagi, pikirannya buntu dan inilah jalan satu-satunya.
"Besok, kita akan menikah secara siri. Kamu akan menjadi istri keduaku, dan tentu saja keberadaanmu akan disembunyikan di depan publik. Statusmu sebagai istri hanya berlaku untuk mengandung anakku, tidak lebih!"
"Pernikahan kita hanya sebatas formalitas. Kamu tidak berhak menuntut apapun, selain semua yang tertulis di dalam perjanjian ini. Selama menjadi istriku ... kamu tidak berhak mencampuri segala urusan pribadiku dan menjalin hubungan dengan pria lain, paham?!"
Aira hanya mengangguk mengiyakan. Dia sudah bersedia, itu artinya dia harus tunduk dengan segala macam peraturan yang dibuat Adrian. Yang terpenting sekarang, uang itu harus segera didapat agar nyawa ibunya bisa segera terselamatkan dan membayar utang pada rentenir.
"Mulai besok, kamu harus tinggal di tempat yang sudah kusiapkan. Kamu tidak boleh keluar tanpa seizin dan pengawasan dariku."
Aira terperangah mendengar perintah terakhir itu. Dia merasa tidak terima saat kebebasannya ikut dibatasi.
"Lalu bagaimana dengan ibu dan adik saya, Tuan? Mereka masih butuh saya."
Adrian sontak menatap tak suka wanita itu. Dia sangat membenci bantahan. Membantah dia artikan sebagai penolakan, sementara dirinya tidak suka penolakan.
"Kebutuhan mereka akan saya urus melalui Leo. Kamu hanya perlu fokus pada tugasmu."
Aira menghela napas panjang, upayanya untuk bernegosiasi telah gagal. Adrian tetap dengan kuasanya tanpa ingin dibantah atau memberi keringanan.
"Kalau begitu ijinkan saya menemui mereka hanya untuk berpamitan."
"Malam ini, waktumu hanya tersisa malam ini."
Lagi dan lagi, Aira hanya bisa mengiyakan meski dengan berat hati.
***
Malam hari seusai pulang kantor, Aira berkunjung ke rumah sakit untuk membantu Amanda menjaga ibunya yang belum sadar. Kedatangannya disambut dengan penuh kegembiraan oleh gadis berusia 19 tahun itu. Akan tetapi, kegembiraan itu dalam sekejap berubah menjadi kemurungan untuk sang adik saat Aira menyampaikan niatnya untuk tinggal terpisah.
"Kakak, kenapa harus pergi? Kakak gak dipecat 'kan? Kakak masih bekerja di kantor itu 'kan?" tanya Amanda dengan nada cemas.
Aira terdiam. Bagaimana dia bisa menjelaskan kepada adiknya bahwa dia telah menyewakan rahimnya untuk uang? Keputusan ini dia ambil demi keberlangsungan hidup mereka, demi kesembuhan ibunya dan demi masa depan yang lebih baik
"Manda, kakak masih kerja di kantor yang sama. Kakak hanya mengikuti tugas dari kantor. Lagian, kakak pindah gak jauh dari Jakarta. Masalah perawatan ibu ... kamu gak usah khawatir. Selama kakak pergi akan ada temen kakak yang akan sering kesini. Namanya Leo. Bila ada waktu kakak janji akan menengok kalian." Aira berusaha memberi pengertian pada sang adik, sebisa mungkin menyembunyikan kebenaran yang ada.
Wanita itu kemudian beralih ke ranjang di mana sang ibu masih terlelap dengan tenang. Perban tampak melingkar di kepalanya, dan berbagai peralatan medis menempel di beberapa bagian tubuh ibunya, monitor di ruangan itu tampak bergerak secara teratur yang menandakan jika kondisi Ratih berada dalam kondisi stabil.
"Bu, maafkan aku. Ibu pasti akan marah ... kalau tahu aku mengambil jalan pintas demi uang. Aku terpaksa melakukannya demi kita."