Khayra duduk di tepi ranjang, tangannya menggenggam tangan Dinda dengan lembut. Mereka sudah berada di ruang perawatan beberapa jam. Kondisi Dinda memang belum sepenuhnya pulih, tapi ia sudah mulai bisa membuka mata dan menanggapi lawan bicara, meski suaranya masih lirih dan tubuhnya sangat lemah. Wajahnya pucat, bibirnya kering, dan tatapan matanya masih kosong—tapi kini ada sedikit cahaya kecil yang menyala di sana, seolah menyiratkan bahwa ia perlahan-lahan mulai kembali pada kesadarannya. “Di mana suamimu, Din?” tanya Khayra pelan, hati-hati, seakan takut pertanyaan itu akan membuat luka Dinda terbuka kembali. Tak ada jawaban langsung dari Dinda. Hanya diam. Tatapannya lurus ke arah langit-langit ruangan, seperti sedang mencari jawaban dari sana. Lalu perlahan, kelopak matanya turun,

