Prolog
Namanya Ghea Gemalia Saputri. Di usia tiga puluh satu tahun, ia telah memimpin sebuah Kejaksaan Negeri di kota yang padat, bising, dan penuh teka-teki moral. Seragam cokelatnya berkilau di bawah cahaya matahari pagi saat ia melangkah mantap ke ruang sidang. Sebagian orang memanggilnya "Singa Perempuan" dari timur, sebagian lagi menyebutnya jaksa yang terlalu dingin untuk dicintai. Tapi tidak sedikit juga yang menggenggam harapan padanya: bahwa di tengah rusaknya hukum, masih ada satu sosok yang tak bisa dibeli. Dan itulah Ghea.
Sebagian lagi - bahkan sesama jaksa - menyebutnya "Perempuan Muda dengan Nyali Baja." Dalam dunia hukum yang penuh kepentingan, di mana kompromi lebih sering dianggap jalan damai, Ghea justru tumbuh jadi pengecualian. Tegas, berani, tak bisa ditawar. Tidak oleh uang. Tidak oleh jabatan. Bahkan tidak oleh rekan sejawat atau atasan sekalipun. Satu hal yang selalu ia katakan pada dirinya sendiri: "Kalau hukum saja bisa dibeli, apa lagi yang tersisa dari negeri ini?"
Sejak awal kariernya, Ghea dikenal tak pernah berkompromi. Ia pernah menolak permintaan atasan yang memintanya meringankan tuntutan pada seorang pejabat daerah dengan alasan "perintah langsung dari atas." Ia hanya menjawab singkat: "Saya tidak kerja untuk titipan, Pak. Saya kerja untuk hukum."
Bakatnya tak diragukan, tetapi yang membuat Ghea cepat menapaki tangga karier bukan hanya kecerdasan atau koneksi. Ia punya sesuatu yang jauh lebih langka: keberanian untuk berkata tidak. Bahkan saat atasan menyarankannya menyisihkan satu berkas perkara besar karena 'berisiko menggoyang' pejabat daerah, Ghea hanya menatap lurus dan berkata, "Maaf, Pak. Saya dilantik untuk menegakkan hukum, bukan melindungi pelanggar."
Keberaniannya membuatnya cepat naik pangkat, sekaligus cepat dimusuhi. Tapi Ghea tak pernah gentar. Ia tidak mencari kawan dalam pekerjaannya. Ia mencari keadilan. Ia sadar betul bahwa keadilan bukan sesuatu yang populer, apalagi jika menyentuh kantong-kantong kekuasaan dan kepentingan. Ia terbiasa dipandang dingin, bahkan oleh rekan-rekannya sendiri. Tapi semua itu tidak berarti apa-apa dibandingkan ketenangan nuraninya sendiri.
Ada satu nama yang selalu ada di ujung pikirannya setiap kali badai menghampiri: Mahardhika Matahari Saputra.
Lelaki itu bukan siapa-siapa. Tapi juga segalanya.
Mereka bukan kakak-adik, bukan sepupu, bukan kekasih. Tapi sejak usia lima tahun, ketika Ghea masih memakai seragam TK dengan pita merah muda di rambutnya, dan Mahardhika dengan celana pendek serta luka di lututnya, mereka tidak pernah benar-benar berpisah.
Mahardhika tumbuh menjadi seorang jurnalis senior. Ia punya cara bicara yang tenang tapi menusuk. Tulisan-tulisannya menghantam, kadang seperti pisau, kadang seperti palu godam. Ia tidak suka basa-basi. Tidak takut. Dan yang paling penting: tidak bisa dibeli.
Mahardika adalah nama yang tak asing bagi pembaca rubrik investigasi di beberapa media nasional. Pria kelahiran akhir tahun 1993 itu dikenal sebagai jurnalis senior yang kerap menulis tentang kasus besar, dari dugaan korupsi kelas kakap hingga skandal anggaran dana desa. Ia tidak sekadar menulis. Ia menyelidik, menyusup, mengamati. Dan ketika semua sudah terang, ia menyajikan tulisan-tulisan tajam yang tidak hanya membongkar, tapi mengguncang.
Pernah suatu ketika, sebuah koper penuh uang ditawarkan kepadanya agar ia menunda rilis laporannya tentang penyimpangan proyek fiktif bernilai miliaran rupiah. Mahardhika hanya tertawa kecil, lalu menuliskan satu kalimat pembuka dalam artikelnya malam itu: "Ketika uang ditawarkan untuk diam, maka tulisan harus lebih nyaring."
Tak heran bila banyak yang membencinya. Termasuk, seorang kerabat dekat almarhum ayahnya yang akhirnya dijebloskan ke penjara selama sembilan tahun karena laporan investigasinya. Mahardhika menuliskan laporan itu dengan hati yang berat, tapi penuh kesadaran bahwa keadilan tidak boleh memilih.
Ghea selalu tahu, lelaki itu menyimpan banyak luka. Tapi Mahardhika jarang menunjukkan. Ia lebih sering tertawa, lebih sering mengalah. Tapi dalam diam, ia menyimpan kegetiran yang tak terucap. Ia menulis seperti menumpahkan darah. Dan hanya Ghea yang tahu, kadang di balik tulisan yang garang, ada hati yang ingin sekali disembuhkan.
Persahabatan mereka adalah cerita panjang tentang saling mendekat, lalu mundur. Saling menjaga, tapi tak pernah benar-benar mengaku. Ada cemburu yang tak pernah dilisankan, ada rindu yang dibungkus logika. Mereka seperti dua garis lurus yang selalu beriringan, tapi tak pernah bertemu di satu titik. Dan itu menyakitkan.
Ada banyak orang datang dan pergi dalam hidup mereka. Pernah Ghea menjalin hubungan dengan seorang dokter muda yang tampan. Tapi Mahardhika tahu, setiap kali Ghea bersandar padanya, matanya selalu mencari sesuatu yang lain. Sesuatu yang hanya bisa ia temukan dalam sosok Mahardhika.
Sebaliknya, Mahardhika pernah hampir menikah dengan seorang editor cantik dari Jakarta. Tapi setiap kali perempuan itu menyebut kata "idealismemu itu bodoh", ia merasa dadanya seperti diremukkan. Karena hanya satu perempuan yang bisa mengerti kenapa ia menolak uang 500 juta demi satu berita: Ghea.
Tapi Ghea dan Mahardhika tak pernah saling mengungkap.
Mereka tahu, hubungan mereka terlalu dalam untuk sekadar dijadikan pasangan. Terlalu penting untuk dipertaruhkan. Terlalu berharga untuk disalahpahami. Maka mereka memilih diam. Tapi diam yang saling mengikat. Diam yang saling menyiksa.
Takdir membawa mereka bekerja dalam jalur berbeda, tapi misi yang sama: melawan kebusukan. Dan seperti biasa, dalam setiap liputan Mahardhika yang menyentuh ranah hukum, Ghea selalu jadi tempat data mengalir. Dalam setiap perkara besar yang Ghea tangani, Mahardhika menjadi suara publik yang menjelaskan kebenaran kepada masyarakat.
Orang-orang menyebut mereka duet maut. Jaksa dan jurnalis. Saputri dan Saputra. Seperti sudah ditulis oleh semesta bahwa mereka harus terus berdampingan. Menyentuh ketidak adilan dari dua sisi. Menjadi bahu bagi mereka yang kehilangan harapan.
Tapi siapa yang menjadi bahu untuk mereka berdua?
Pernah juga suatu malam, Ghea menangani kasus perdagangan manusia yang melibatkan jaringan pejabat pusat. Ia digertak. Ditekan. Bahkan nyaris dilaporkan balik. Ia tahu hidupnya terancam. Tapi ia tetap maju.
Malam itu, Mahardhika datang. Diam-diam. Tanpa bicara banyak, hanya duduk di kursi ruang kerja Ghea, meletakkan secangkir kopi hangat dan berkata, "Kalau kamu butuh orang yang berdiri di baris paling depan, aku di sini. Seperti dulu waktu kita berdua lawan anak-anak kelas dua SD yang ambil kotak pensil kamu."
Ghea tertawa, saat itu air matanya jatuh. Dia tahu hanya Mahardhika yang mengerti cara membuatnya tetap tegar.
Dan hanya Mahardhika yang bisa membuatnya saat ingin menyerah. Tapi tak jadi.
Di satu sisi lain, Mahardhika pernah dikejar setelah menulis laporan investigasi tentang penyalahgunaan anggaran penanggulangan banjir. Ia sempat menghilang tiga hari. Dan saat ia kembali, wajahnya lebam, tangannya luka, tapi matanya masih menatap dengan keberanian yang sama. Ghea memeluknya diam-diam di lobi rumah sakit. Lama. Tanpa suara. Hanya detak jantung mereka yang saling menjawab.
Tapi saat ditanya seorang perawat, "Istrinya ya, Bu?" Ghea hanya tersenyum, lalu menjawab, "Bukan. Hanya sahabat."
Berulang kali ketika masih berada dalam satu wilayah, saat Ghea duduk sendiri di ruang kerjanya dengan meja yang selalu rapi. Dokumen menumpuk. Namun pandangannya sering terpaku pada layar ponsel.
Sebuah pesan baru masuk dari Mahardhika : "Ada kasus baru. Proyek fiktif di daerah pinggiran. Aku butuh bantuan jaksa yang gak bisa disuap."
Ghea tersenyum kecil. Tangannya langsung membalas : "Datanglah jam dua. Bawa bukti, jangan cuma idealisme."
Mereka sudah terbiasa begini. Kolaborasi diam-diam antara jaksa dan jurnalis. Bukan atas nama lembaga, bukan pula atas nama media. Tapi atas nama nurani. Karena mereka tahu, keadilan sering kali lahir dari keberanian untuk melawan arus, bukan dari suara mayoritas yang mudah dibeli.
Dalam sunyi, Ghea kadang bertanya dalam hati: mengapa setiap kali Mahardhika datang membawa laporan, hatinya terasa utuh? Mengapa ia selalu menyimpan kekhawatiran yang tidak perlu, ketika pria itu tak menjawab pesan selama lebih dari dua hari?
Sementara Mahardhika, dengan segelas kopi di meja tulisnya dan mata yang lelah karena semalam menulis hingga dini hari, sering kali memikirkan satu hal yang tak bisa ia tuliskan : "Apa kabar, perempuan paling tangguh yang pernah kutemui? Kapan bisa kubilang bahwa aku ingin lebih dari sekadar rekan berbagi data?"
Ia mengenang kembali masa kecil mereka. Saat-saat mereka berlari bersama di bawah pohon besar sekolah TK. Saat Ghea menangis karena sepatu barunya diinjak, dan Mahardhika berdiri memelototi anak laki-laki yang melakukannya. Saat mereka saling berjanji untuk tidak pernah berubah—janji kanak-kanak yang ternyata diam-diam mereka tepati.
Tapi lagi-lagi, mereka menahan diri. Karena mereka tahu, sekali saja batas itu dilewati, mereka bisa kehilangan satu-satunya orang yang benar-benar mengerti hidup mereka.
Mereka sudah berbeda sekarang. Lebih dewasa. Lebih lelah. Tapi juga lebih kuat.
Dan dari dua hati yang keras kepala namun saling peduli inilah, kisah ini bermula... Kisah tentang dua manusia yang didewasakan oleh perjuangan, dilatih oleh kesunyian, dan diuji oleh rasa yang tak bisa mereka akui—kecuali kepada satu pihak: hati mereka sendiri.
*****
Ghea dan Mahardhika. Dua nama. Dua jiwa. Dua sahabat yang dipertemukan oleh takdir sejak taman kanak-kanak. Saputri dan Saputra, begitu dulu guru-guru mereka memanggil. Mereka bukan saudara. Tidak ada ikatan darah, tidak pula janji cinta. Tapi di antara mereka tumbuh sesuatu yang lebih rumit dari sekadar perasaan. Sebuah kelekatan yang menolak untuk diberi nama. Ada kehangatan, ada kepedulian, dan ada luka-luka kecil yang tersembunyi setiap kali salah satu dari mereka menyebut nama orang lain yang mendekat.
Takdir mempertemukan mereka bukan hanya sebagai dua anak kecil yang suka bermain di taman sekolah, tapi sebagai dua pejuang kebenaran di jalur yang berbeda. Ghea di balik palu keadilan, Mahardhika di balik pena pemberitaan. Mereka bertumbuh, saling menguatkan, dan kadang saling menjauh karena sibuknya dunia masing-masing. Tapi pada akhirnya, mereka selalu kembali. Selalu ada percakapan larut malam lewat telepon yang membuat mereka lupa waktu, selalu ada tawa yang menggema bahkan ketika dunia sedang tak bersahabat.
Kadang, menjaga memang lebih menyakitkan daripada melepaskan.
Namun kisah ini belum berakhir.
Karena di balik persahabatan, di balik perjuangan dan prinsip, ada satu hal yang belum mereka hadapi: hati mereka sendiri.
Dan kisah ini pun dimulai—dari dua nama yang tak pernah bersatu dalam kata cinta, tapi tak pernah bisa benar-benar berjauhan.
Biar hati saja yang bicara.
Dan di tengah dunia yang gelap, mungkin hanya dengan saling menyandarkan diri satu sama lain, mereka masih bisa percaya: bahwa kebenaran masih ada. Bahwa keadilan bukan utopia. Bahwa cinta, meski tak diucap, bisa bertahan dalam bentuk yang paling sunyi—persahabatan.
Inilah kisah mereka. Dan biar hati saja yang tahu akhirnya.