SAKURA POV :
Setelah bersiap-siap menuju ke sekolah, aku mendapati mama yang kini tengah mengolesi roti tawar dengan Nutella. Sejak kapan dia datang? Bukankah saat ini dia ada di luar kota mengurus proyeknya.
“Mama? Bukannya…”
“Proyeknya dibatalkan. Sungguh ini membuatku lelah.” Keluh perempuan yang masih mengenakan piyama itu. Lalu dia kembali menatapku. “Sarapanlah dulu,” pinta mama membuatku mengangguk. Dia pasti meluangkan waktunya untuk menyiapkan sarapan kali ini.
“Bagaimana sekolahmu?” tanyanya. “Baik. Aku ikut olimpiade.” “Olimpiade Apa?”
Aku menjawab ragu. “Fisika.” Setelah itu, menunggu respon dari mama. Dia pasti berharap aku ikut olimpiade Biologi. Orang yang teramat ingin aku menjadi dokter, bahkan ketika aku masih kecil mainanku adalah mainan dokter-dokteran juga ada Barbie yang dianggap sebagai pasiennya. Tidak ada mainan lain.
“Baguslah.”
Ha? Baguslah? Aku membulatkan mata. Bahagia sekaligus kaget dengan respon mama. Kupikir dia akan marah dan membanting semua roti seperti hari itu ketika berkata kepadanya bahwa aku ingin jurusan Teknik.
“Serius?” tanyaku. Mama mengangguk.
“Mama akan membebaskanmu memilih jalan hidupmu,” ujarnya. Namun, aku merasakan suatu keanehan. Dia terlihat seperti menahan air mata. Atau karena mengantuk? Dia bahkan meninggalkan meja makan cukup awal lalu berjalan ke kamar.
Aku mengangkat kedua bahu. Aku yakin, dia pasti mengantuk.
*
Aku berdiri di rooftop mengamati Devan yang berjalan dari kejauhan. Dia kini dikawal bodyguard sambil mengenakan kacamata hitam juga masker seperti kemarin. Perjalanannya ke rooftop kali ini pasti akan terasa cukup lama. Rasakan itu Dev! rooftop menjadi milikku sekarang hahahaha… aku tertawa layaknya penyihir jahat di cerita dongeng.
Belum saja tawaku selesai, seseorang mengagetkanku dari belakang. Devan? Apa yang dia lakukan dsini. Aku melihat ke halaman sekolah, siapa pria yang bertopi hitam itu kalau bukan Devan. Tetapi di sebelahku... Ah, kepalaku seketika pening.
"Ada apa senyum-senyum Ra? Ingat, rooftop ini tidak akan menjadi milikmu seorang," ujar Devan lalu berbaring menatap langit seperti biasa.
Aku masih menunjuk halaman. Tidak bisa berkata apa-apa. Hanya berharap Devan memberi penjelasan tentang ini.
Devan bergeming. "Itu bodyguardku."Aku akhirnya mengerti. Devan mana mau menyapa penggemar sampai berdesakan begitu. Itu bukan tipenya.
Setelah itu, aku mengambil posisi baring tepat di sebelah Devan. Kami berdua menatap langit bersama.
"Bagaimana rasanya menjadi terkenal Dev?" tanyaku suatu waktu. "Melelahkan."
Aku menatap Devan yang menatap langit. "Bersyukurlah, banyak orang yang ingin terkenal seeprtimu."
"Siapa? Kalau mereka ingin menjadi sepertiku, mereka yang harusnya bersyukur. Mereka iri denganku? Yang benar saja."
Aku menghembuskan napas pelan. "Mungkin mereka tidak mengerti. Kalau begitu, bukankah hidup di dunia itu melelahkan?"
Devan seperti kaget. Tatapannya beralih dari langit kepadaku. Cukup lama kami bertatapan. Hingga Devan memutuskan menatap langit kembali. Apa perkataanku salah? Hingga dia bereaksi seperti itu.
Angin semilir bertiup. Awan-awan menggumpal membuat matahari tertutupi. Seketika gelap dan suasana menjadi tenang. Kantuk menghampiriku.
*
Sepi.
Aku melihat cahaya persfektif dari kejauhan. Membuatku terus berlari, perlahan cahaya itu semakin dekat. Hingga pelarianku akhirnya berujung di sebuah ruangan putih terang seperti ada cahaya yang menyoroti.
Aku tersenyum ketika melihat dua sosok yang menatapku penuh makna. Entah siapa mereka namun wajahnya mirip denganku. Yang satu laki-laki dan yang satu perempuan. Apakah mereka orang tuaku?
“Aku ingin ikut,” kataku.
“Ikut? Pulanglah,” ujar perempuan bergaun putih. Aku menggeleng. “Bawa aku pergi. Kumohon!”
Mereka berdua hanya tersenyum. Lalu tiba-tiba semuanya kembali gelap. Aku berteriak.
Hingga suaraku habis menyisakan suara parau yang kini serak. “Jangan tinggalkan aku.” “Bangun Ra!”
Deg.
Napasku tercekat. Aku memeluk Devan erat. Dia berusaha membangunkanku dari mimpi burukku.
“Ada apa Ra?” tanya Devan yang balas memelukku.
Aku menarik napas dalam-dalam berusaha mengendalikan diriku sembari menyeka keringat.
"Aku takut Dev. Aku takut." Aku memeluk Devan erat. Hingga Devan mengusap rambutku lembut. Secara tidak sengaja aku membuat seragam Devan basah karena air mata.
Aku merasakan elusan tangan Devan mengusap rambutku lembut. "Jangan takut Ra. Aku akan selalu ada disini. Itu hanya mimpi. Kamu tahu, aku pernah dimakan monster, zombie hingga menjadi zombie lagi."
Aku tersenyum. Lalu melepas pelukan erat Devan. "Jangan bercanda Dev." Aku memukul lengan Devan cukup keras membuat Devan merintih "auu'. Setelah itu kami tertawa seperti biasa. Laki-laki ini betul-betul tahu bagaimana membuatku merasa nyaman.
Tetapi, mimpi buruk itu tidak pernah lepas dari pikiranku. Terus membayangi. Bahkan Devan telah mengeluarkan semua jurus untuk membuatku tertawa hingga bel masuk berdering.
Di kelas, aku tidak fokus lagi menatap rumus-rumus yang ada di papan. Pembahasan Pak Tresno sudah semakin jauh, membuatku semakin tidak mengerti sekaligus tidak punya nyali untuk bertanya tentang rumus di awal. Karena kalau aku melakukannya, pak Tresno tidak akan segan berkata ‘kenapa kamu tidak bertanya? Rumusnya sudah dihapus tanya teman-temanmu’. Jadi, lebih baik memilih jalan alternatif untuk bertanya pada Arabelle setelah pelajaran usai atau di lain waktu.
AUTHOR POV :
“Bagaimana pelajarannya? Ajari aku nanti,” ujar Devan kepada perempuan yang saat ini hanya melamun manatap gelas yang terdapat banyak bulir-bulir air di pinggirnya, menandakan bahwa minuman itu tak lagi dingin.
Devan setiap harinya akan mendapatkan ijin untuk pulang lebih awal karena dia harus fokus dengan karirnya sebagai model majalah. Karena itu, dia tidak mengikuti beberapa pelajaran yang tersisa di akhir.
“Pelajarannya? Kamu tahu Dev, bayangkan saja, aku bahkan tidak fokus belajar bahasa Indonesia,” celetuh Sakura. Ekspresinya menandakan bahwa dia betul-betul kesal.
“Kalau begitu, tak perlu belajar. Kamu ingin meapapun mbakar bukumu, atau sekolah?
Aku akan membantumu,” balas Devan bercanda.
Sakura tersenyum kecut. Devan membuatnya sadar bahwa ternyata ada orang yang lebih buruk darinya. “Dasar gila. Aku berharap kamu ada di sisiku sepanjang hari. Supaya aku bisa meminjam kemejamu setiap waktu, tadi aku mimisan lagi.”
Devan seketika berhenti menyeruput greentea-nya. “Mimisan lagi?” Lalu, dia mengambil sesuatu dari tasnya. Sebotol obat berisi puluhan kapsul. “Ambil ini, kebetulan aku beli tiga botol.”
Sakura menyeringai. Dia terlihat bingung mengapa Devan begitu tergila-gila dengan obat suplemen vitamin. “Kamu tidak sedang mengedarkan n*****a diam-diam kan?” tanya Sakura sambil melihat botol obat yang hanya berwarna putih polos.
Devan tersedak setelah mencoba meminum greentea-nya kembali. “Ha? Lelaki setampan ini jadi p**************a, yang benar saja.”
“Iya, iya aku bercanda Dev.” Sakura memutar bola mata. Sakura mengakui, lelaki dihadapannya memang tampan tetapi bagi Sakura itu akan terlihat menjijikkan kalau Devan mengakuinya.
"Setelah ini kita akan kemana Dev?" tanya Sakura.
Sesuatu tiba-tiba terbesit di kepala Devan yang sedari tadi menunggu perempuan dihadapannya menghabiskan minumannya. "Rumah pohon. Bagaimana."
Senyum Sakura merekah. "Setuju, ide yang bagus," dia lalu menjinjing tasnya dan menarik tangan Devan. Perempuan itu terlihat antusias.
Tidak berselang lama, mereka akhirnya tiba di tempat yang dipenuhi pohon rindang dan udara yang menyejukkan. Sakura dengan tidak sabarnya menaiki rumah pohon disusul Devan yang khawatir Sakura bisa saja terjatuh karena rok yang dikenakannya. Tetapi, setelah Sakura tiba di atas Devan langsung membuang napas lega.
Seperti halnya yang dilakukan di rooftop, mereka juga berbaring di rumah pohon. Namun, ketika Sakura disuruh memilih dia tentu saja memilih rumah pohon. Rooftop adalah tempat yang cukup panas. Pohon di sekolah bahkan di tebang untuk pembuatan bangunan baru membuat Sakura kadang kesal dengan pihak sekolah.
"Ada yang ingin kutanyakan Dev."
"Ya, tanyakan saja. Kebetulan mood-ku sedang baik."
Sakura merasa tenang setelah Devan berkata demikian. "Sebelumnya aku meminta maaf karena aku tidak sengaja melihat gambar di batang pohon itu," gumam Sakura sembari menunjuk batang pohon dimana disana tergambar tiga anak yang saling merangkul.
"Gambar itu? Ya, aku dan Andi memang dekat dulu. Dialah orang pertama yang bermain- main disini bersamaku. Waktu kami masih kecil. Hmm.. tidak, terakhir kelas tiga SMP."
Sakura mengangguk. "Sudah kuduga, kalian dekat sebelumnya. Tetapi, kalau Andi orang pertama setidaknya aku jadi yang kedua."
"Bukan, bukan kamu yang kedua… Tetapi Alex."
"Alex?" Sakura seketika teringat anak yang berada di tengah gambar ukiran itu.
Devan menelan ludah. "Ya. Kami bertiga dulunya dekat. Main bersama, menghabiskan waktu bersama bahkan malam Minggu kami membuat tenda disini. Tetapi semuanya berubah setelah—“ Devan menghentikan pembicaraan. Dia terlihat ragu, keringat bercucuran di wajahnya.
"Setelah apa Dev?" tanya Sakura yang tidak bisa menunggu. Dia betul-betul penasaran. "Setelah Alex meninggal.”
Mata Sakura membulat sempurna. Dia merasa bersalah mengungkit masa lalu Devan kembali. Dia pikir, masalah Devan dan Andi adalah masalah yang terjadi karena hal sepele. Atau hal lain, tetapi setelah tahu bahwa diantara hubungan persahabatan mereka ada yang meninggal. Sakura tidak ingin membahasnya lagi. Perempuan itu yakin Devan tidak ingin membahasnya juga.
Mereka berdua berbaring sampai langit berwarna jingga keabu-abuan. Devan mengantar Sakura pulang dan kembali ketika hari sudah gelap.
Setibanya di rumah, Devan berusaha mengendap-endap masuk, kebetulan ruangan terlihat gelap. Tetapi, langkah Devan seketika terhenti ketika lampu tiba-tiba menyala. Lantas memperlihatkan dua orang yang terlihat duduk di sofa ruang tamu.
“Darimana saja kamu Nak?” tanya Shira kepada anaknya yang kini basah kuyup.
Devan tersenyum. Tidak ada yang bisa dilakukannya sekarang, dia berharap bahwa senyum bisa membuat orang tuanya luluh. Tetapi, ternyata tidak. Tamparan keras dari tangan Lucas membuat Devan memegang pipinya dan berusaha menahan sakit.
“Siapa perempuan itu?”
Devan menegakkan kepalanya setelah begitu lama menunduk. Lalu menatap mata ayahnya tajam. “Perempun siapa?"
PLAK. Tamparan keras lagi-lagi dilayangkan Lucas, namun kini di pipi Devan yang satunya lagi.
“JAWAB PAPA!”
“Sudahlah, biarkan dia menjelaskannya dulu.” Shira kini bersuara, dia berusaha memeluk Devan, namun laki-laki itu menepis tangan ibunya membuat ibunya mundur beberapa langkah.
“Aku akan mengikuti semua pemotretan besok dan berbuat baik saat acara live. aku akan menjadi anak baik yang pandai berbohong kepada semuanya.”
“JAGA MULUTMU DEV!” Devan melayangkan tangannya namun Shira dengan sigap menahannya.
Devan tersenyum lirih sambil mengusap kedua sudut bibirnya. “Tetapi, kalau kalian mengganggu Sakura. Jangan harap semuanya baik-baik saja. Aku akan mengacaukan semua rencana kalian.”
Devan menaiki tangga lalu masuk ke dalam kamarnya.
“Lihatlah anak itu,” ujar Lucas sambil melonggarkan dasinya. Shira terlihat khawatir.