AUTHOR POV :
Devan mengendap-endap menuruni anak tangga. Tetapi, saat dia melihat ayahnya membaca koran di ruang tamu, dia langsung memperbaiki posisi jalannya menjadi lebih cepat. Berharap ayahnya tidak berkata apapun sampai dia berhasil keluar dari pintu. Namun, usahanya nihil. Ayahnya memanggil membuat Devan menggigit bibir bawah dan berbalik.
“Ada apa Pa?”
Lucas menutup korannya. “Hari ini Papa memaafkanmu, tetapi ingat janjimu semalam. Kita akan melakukan live hari ini juga pemotretan majalah. Papa yang akan menjemputmu langsung di sekolah. Karena itu, saat wartawan tiba di sekolahmu atau dimanapun itu cobalah memasng senyum. Jangan sampai ada celah mereka memberitakan berita buruk tentang kita.”
Devan mengangguk lalu berjalan mantap. Saat pintu tertutup, Shira langsung menghampiri
Lucas.
“Dia anakmu, tolonglah jangan memperlakukannya seperti itu,” ujar Shira sambil menaruh segelas kopi dihadapan suaminya.
“Terimakasih. Tetapi, apa yang kau ketahui tentang Devan? Sudah belasan tahun kau meninggalkannya. Kamu tidak tahu bagaimana anak itu tumbuh menjadi manusia mengerikan.”
“Mengerikan? Cukup Lucas. Kalaupun kau tak menyukainya tolong jaga perasaannya.
Kamu tahu aku sungguh membencimu?”
Lucas menatap keluar jendela. “Ya, karena itu jangan tanyakan aku mengapa dia tumbuh dengan rasa benci.” Lucas menaruh gelas kopinya lalu meninggalkan tempat, menyisakan Shira yang memijat kening.
*
Devan berlari-lari kecil ketika menemui Sakura di halte. Sebelum tiba di tempat dengan atap berwarna kuning itu Devan menatap sekeliling kalau-kalau ada penggemar yang tiba-tiba mengetahui siapa dia sebenarnya. Tetapi, syukurlah itu tidak terjadi. Meski banyak orang yang berlalu lalang namun tidak ada yang tahu karena Devan mengenakan masker juga topi berwarna hitam.
Sakura yang terlihat melamun tersentak kaget ketika Devan berdiri dihadapannya. “Aku pikir pencuri,” celetuh Sakura. Devan tertawa kecil.
“Pencuri hati tepatnya,” balas Devan. Sakura memutar bola mata.
“Bukankah lebih baik naik mobil pribadi Dev? Kamu memang aman disini, tetapi di bus nanti kalau saja ada yang mengetahuimu bisa gawat, Kamu tidak akan mungkin meloncat dari jendela bus.” Sakura berbicara cukup pelan hingga napasnya terdengar.
Devan mengangkat kedua bahu. “Aku akan meloncatimu. Kacanya akan pecah dan kamu luka-luka.”
“Terserah Dev.” Sakura mengelabui Devan dan berjalan menaiki tangga bus yang baru saja tiba. Devan lalu berbalik dan berjalan menunduk. Dia duduk tepat di sebelah perempuan yang masih nampak kesal itu.
Setibanya di gerbang sekolah, Sakura melihat kerumunan orang di depan mobil sedan berwarna hitam. Perempuan yang penasaran itu ingin memilih tinggal sebelum Devan menarik tangannya membuat Sakura pasrah. Karena genggaman Devan cukup keras membuat tangan mungil Sakura tidak berarti apa-apa baginya.
Kali ini, Devan tidak membawa Sakura ke rooftop. Melainkan ke kelas.
“Ada apa Dev?” tanya Sakura yang kini menghembuskan napas panjang lalu menghirup napas kembali.
Kelas terlihat sepi, yang ada hanya dua orang laki-laki yang tengah membaca komik sambil menggunakan earphone.
“Tidak ada apa-apa. Kupikir suara bising itu bisa sampai ke rooftop.”
“Suara bising?” Sakura menunjuk ke luar jendela. “Dari penggemarmu itu?”
Devan mengangguk sambil menyilangkan tangan di depan d**a. “Mereka terlalu merepotkan.”
“Apa kamu menyuruh bodyguard-mu lagi untuk menyamar?” “Ya, tentu saja. Apalagi yang bisa kulakukan?”
Sakura mengangkat kedua bahu lalu membuka tasnya dan mengambil tiga buku olimpiade Fisika. “Itu berarti kamu menipu semuanya Dev. Tetapi, baguslah kalau kamu membawaku ke kelas.”
Devan tersenyum kikuk sebelum seorang laki-laki berkacamata masuk ke dalam kelas. Semuanya seketika berubah. Devan seperti ingin beranjak dari tempat duduknya. Dan ya, dia melakukannya cukup cepat.
“Ingin lari lagi?” tanya Andi ketika dia dan Devan berdampingan tetapi berbeda arah.
Sakura yang tadi fokus dengan bukunya kini menyaksikan pemandangan buruk dihadapannya. Pemandangan buruk yang membuat Sakura penasaran.
Devan mengehentikan langkahnya. “Lari katamu?” Dia terlihat mengepalkan tangan. “Ya, hanya itu yang bisa kau lakukan bahkan setelah Alex pergi.”
“Cukup Andi. Kalau kau ingin membahasnya lagi, kita bisa bertemu diluar.”
“Diluar katamu? Apa karena Sakura ada disini?” ujar Andi membuat tatapan dua laki-laki itu tertuju kepada Sakura.
“Bukankah akan terjadi hal buruk kalau kita berkelahi disini.”
Suasana berubah semakin menegangkan. Untung saja, tidak ada orang yang melihat mereka berdua. Laki-laki lain yang ada dalam kelas betul-betul fokus dengan komiknya serta lagu yang mereka dengarkan. Penglihatan dan pendengaran mereka betul-betul menyelamatkan Andi dan Devan di saat seperti ini.
Andi tersenyum miring. “Cih, diluar pun kamu tidak akan menemuiku. Bukankah kamu adalah boneka ayahmu? Pergilah dan ratapi dirimu yang selalu mendapatkan perlindungan darinya.”
Sakura tidak sanggup melihat Devan menunduk karena tersudutkan. Dia mengerti apa yang Devan rasakan saat ini meskipun tidak tahu pasti apa masalah sebenarnya diantara mereka berdua.
“Cukup Andi. Biarkan Devan pergi,” Sakura mulai angkat bicara.
“Tidak Ra. Biarkan Andi menjelaskan segalanya. Karena sampai kapanpun aku tidak akan bisa menjelaskannya kepadamu.”
Andi mengangkat kedua alisnya. “Menjauhlah darinya Ra. Sebelum kamu berakhir seperti
Alex.”
“Untuk apa aku menjauh? Aku tahu siapa Alex. Tetapi apapun permasalahan kalian bertiga aku tidak—“
“Devan yang membunuhnya.” Sakura diam membeku.
Suasana seketika hening, hingga akhirnya Devan memutuskan melangkahkan kakinya keluar dan Andi yang duduk di bangkunya setelah berdiri cukup lama. Pembahasan tidak bisa berlanjut ketika semua orang satu persatu mulai masuk ke dalam kelas. Menyisakan Sakura yang kini diselimuti beribu pertanyaan.
Apa benar Devan membunuhnya? Hanya itu satu pertanyaan penting yang ingin Sakura ketahui jawabannya sekarang.
DEVAN POV :
Kulangkahkan kakiku dengan berat ke rooftop. Ketika Sakura tahu segalanya dia juga akan ikut meninggalkanku seperti yang lain. Tetapi, kalau aku menyimpannya cukup lama Sakura akan semakin sakit ketika dia tahu saat akhir nanti ketika kami harus berpisah. Lebih baik aku menjauhinya mulai sekarang. Ya, itu lebih baik.
Tidak, aku harus selalu berada di sisinya. Sebentar lagi kami akan berpisah dan saat hari itu tiba kuharap Sakura sudah mengerti segalanya.
Pikiranku kembali kepada Alex. Dia adalah kesalahanku di masa lalu yang berusaha kulupakan begitu saja tanpa tahu bahwa sebuah kebencian mulai tumbuh darinya.
Aku masih ingat hari itu. Dua tahun yang lalu, tepat di malam ketika kami merayakan kelulusan, aku membawa Alex pergi untuk ikut balapan. Aku memaksa laki-laki itu meski dia terus menolak.
Saat itu, Andi menjemput adiknya dari bimbingan belajar. Dan dia betul-betul mengancamku kalau saja aku berani membawa Alex untuk ikut. Kami berdua tahu bahwa Alex adalah anak baik-baik yang hanya berkutat di depan laptop dan buku pelajaran.
Tetapi karena pikiranku bahwa Alex menghilangkan bebannya sejenak dari buku pelajaran juga karena dia menjadi siswa dengan nilai tertinggi UN se-provinsi membuat kami berniat untuk merayakannya. Dengan alasan itu Alex setuju.
Namun, baru saja satu putaran. Tragedi itu terjadi. Dia terlempar sejauh dua puluh meter dari motornya. Aku masih ingat malam itu ketika aku menaruh kepalanya yang penuh darah di pangkuan. Dia meninggal di tempat.
Aku tidak tahu harus berbuat apa. Andi yang baru tiba langsung saja melayangkan tinjuannnya kepadaku berkali-kali.
Meski begitu hubungan kami bisa jadi baik-baik saja kalau aku mau mengakui kesalahanku di depan awak media. Namun, karena papa yang berusaha menutupi kasus itu karenaku membuat Andi berubah. Dia membenciku, bahkan aku tidak tahu harus berkata apa kepadanya bahwa aku tidak ingin ayah terlibat. Andi benar, aku adalah boneka ayah dan secara tidak langsung akulah yang membunuh Devan.
Handphone-ku berdering ketika kakiku baru saja menginjak rooftop.
“Halo, ada apa Pa?”
“Devan, papa ada di ruangan kepala sekolah menjemputmu. Datanglah.”
Aku menutup pembicaraan. Lalu menghembuskan napas pelan. Hari ini pasti akan jadi hari yang cukup melelahkan lagi.
Aku tiba di ruangan yang dipenuhi dengan piagam penghargaan. Papa, mama dan kepala sekolah terlihat duduk berhadapan. Entah apa yang mereka bahas, aku tidak peduli.
“Duduklah disini Nak,” ujar Papa sambil mengarahkan tangannya agar aku duduk tepat di sebelahnya. Aku menurut seperti biasa.
“Devan, catatan kenakalannya betul-betul penuh. Bahkan dia lebih sering bolos ketimbang hadir di kelas,” ujar kepala sekolah.
“Benarkah? Berarti dia betul-betul anakku,” ayah mengusap rambutku berulang-ulang membuatku tersenyum kikuk.
“Hahaha… Ya, dia betul-betul mirip dengan anda. Dia tampan, nakal, tetapi karena dia anak seorang Lucas tenang saja. Semua catatan kenakalannya akan bersih dan dia bisa ijin kapanpun dia mau,” gumam kepala sekolah yang entah mengapa membuat batinku terluka. Bukan hanya boneka, aku juga boneka yang curang.
Apapaun yang papa katakan kepada laki-laki dengan rambut yang beruban dihadapannya. Pasti dituruti, karena papa adalah ketua komite yang menyumbang dana terbesar di sekolah ini. Itulah yang membuatku sedikit risih.
“Baiklah kalau begitu kami permisi dulu,” ujar Papa hingga kami meninggalkan tempat itu dengan buru-buru karena acara live di stasiun TV swasta sebentar lagi akan dilaksanakan. Meski begitu, wartawan dan para penggemar yang menunggu kami di depan gerbang sekolah membuat perjalanan kami sedikit terhambat. Aku ingat pesan ayah untuk selalu tersenyum, namun aku sungguh tidak bisa melakukannya. Untunglah masker menyelamatkanku.
Di mobil, tidak ada senyum, tidak ada suara, semuanya hening. Aku hanya bisa menatap langit yang terlihat gelap karena awan hitam yang bergumpal-gumpal pertanda kapanpun hujan bisa turun. Langit itu barangkali sepertiku.
“Ingat Dev, apapun yang kau lakukan disana nanti itu demi citra keluarga kita jadi jangan melakukan hal-hal konyol yang bisa mengacaukan semuanya.”
Aku mengangguk seperti boneka kayu. “Iya Pa.” “Satu hal lagi, jangan pakai maskermu!”
Mama lalu memegang mengaitkan jarinya di jemariku. “Tenang saja Dev. Semuanya akan baik-baik saja. Papamu memang keras seperti itu dari dulu,” bisik mama tepat di telingaku. Aku sedikit lega, setidaknya papa dan mama pernah betul-betul dekat dan mengenal satu sama lain.
Lagi-lagi, setelah tiba di bangunan bertingkat-tingkat, ada wartawan dan penggemar lagi yang mengerumuni kami. Aku berusaha tersenyum dan menunduk dihadapan mereka semua. Bertingkah seolah aku anak yang baik. Sedang papa dan mama jalan lebih dulu sambil berpegangan tangan. Kehidupan keluarga kami betul-betul seperti drama.