AUTHOR POV :
Kemarin, Devan tidak pernah menghubungi Sakura meskipun perempuan itu mengirim pesan berkali-kali. Hanya ada satu tanda centang di whatssapp-nya. Sakura khawatir, terlebih Devan langsung saja keluar kelas dan tidak kembali. Sakura mencarinya, namun dia tidak ada di rooftop, bahkan di rumah pohon. Sakura tahu dia sibuk dengan kegiatannya sekarang. Tetapi meski begitu, biasanya Devan menghubungi Sakura di waktu senggangnya.
Itu semakin memperkuat keyakinan Sakura tentang apa yang Andi katakan. Tetapi, kalau benar itu terjadi Sakura yakin Devan pasti punya alasan. Atau sesuatu yang bisa menjelaskan bahwa dia tidak membunuh Alex secara langsung seperti yang dibayangkan.
Sakura menunggu bus di halte sambil mengamati sekelilingnya. Biasanya Devan akan tiba- tiba mengagetkannnya dan muncul entah darimana. Namun, itu tidak terjadi yang terjadi adalah banyak perempuan seumurannya yang menatapnya sinis. Mungkin karena mereka iri melihat kedekatan Devan dan Sakura. Penggemar fanatik memiliki prinsip my idol is mine. Jadi walaupun
hanya teman kalau saja mereka melihat idola mereka jalan dengan perempuan lain itu akan membuat mereka benci, bukan benci idolanya tetapi orang yang jalan bersama idola mereka.
Setelah menunggu lama, Sakura akhirnya naik bus sendirian dengan pasrah. Bahkan saat menginjak pagar sekolah dia terlihat lesu. Devan sudah menjadi asupan energinya. Laki-laki itu biasanya mengawali pagi Sakura dengan humor receh yang membuat Sakura punya dua pilihan, kesal atau tertawa.
Tetapi, saat Sakura mendongakkan kepalanya ke atas senyum tergurat di wajahnya ketika mendapati sosok Devan yang berdiri di rooftop. Meskipun tidak terlalu nampak namun Sakura yakin laki-laki itu adalah Devan.
Tidak sampai sepuluh menit, Sakura membenarkan isi pikirannya setelah memegang kedua lutut dan berusaha mengatur napas. Berlari-lari di tangga adalah hal yang cukup melelahkan.
"Ada apa ini Ra? Apa kamu kerasukan jin ifrit?"
"Di...diamlah Dev." Sakura berjalan pelan menghampiri Devan dan memukul d**a laki- laki itu membuat Devan mengangkat kedua bahu. "Mengapa kamu tidak pernah membalas chatku kemarin?"
"Ohohoho. Kamu rindu kan? Siapa yang tidak rindu dengan laki-laki setampan aku?"
Sakura memutar bola mata. "Aku serius Dev. Apa Handphone-mu rusak?" "Tidak. Lebih buruk dari rusak."
"Hilang?" "Sedikit lagi."
Sakura yang sedari tadi penasaran terlihat ingin menerkam Devan sekarang. "Jangan melihatku begitu Ra. Kamu seperti Annabelle. Bukan Arabelle."
Sakura memicingkan matanya pertanda bahwa lawakan Devan tidak bisa mengelabuinya. "Dev. "
"Oh iya... Hmm handphoneku disita."
"Begitu ya. Kupikir karena kamu takut menemuiku persoalan kemarin."
Devan terdiam. Dia tidak tahu ingin menjelaskan segalanya mulai darimana. "Bukankah aku menyedihkan?"
Suasana menjadi serius, Sakura tidak pernah berada di atmosfer seserius ini bersama
Devan.
"Tidak, kesalahan itu bukan milikmu. Kamu bisa bercerita kalau kau mau. Tetapi, kalau kamu tidak ingin menjelaskannya tak apa."
Devan menatap wajah Sakura yang anak rambutnya ditiup angin semilir. "Dia kecelakaan setelah pengumuman kelulusan. Lalu untuk merayakannya aku mengajaknya balapan. Hingga tragedi itu terjadi dan—“ Devan tertunduk. Dia berusaha menahan sesuatu yang keluar dari matanya kapan saja.
Sakura yang sedari tadi ditatap kini menatap Devan. Dia turut berempati atas apa yang terjadi. "Andi seharusnya tidak membencimu karena Alex meninggal. Bukankah itu takdirnya? Bukankah itu lebih baik karena dia bersamamu."
Devan menggeleng pelan. "Andi tidak menjauhiku karena Alex meninggal. Tetapi, dia benci karena aku berusaha menutup-nutupi fakta dihadapan media bahwa aku yang ikut bersama Alex saat tragedi itu terjadi."
"Benarkah? Bagaimana mungkin kamu bisa lari dari kenyataan. Maksudku... Apa yang terjadi saat itu hingga kamu—“
"Papa yang merencanakannya. Dia tidak ingin semua orang tahu bahwa aku ikut balapan liar. Jadi dia menutup kasus ini lebih cepat agar aku tidak terlibat dengan media."
"Itu berarti Papamu ingin kamu memiliki masa depan yang baik Dev. Kalau semua orang tahu kamu ikut balapan itu mereka akan berpikir bahwa orang tuamu yang terkenal tidak bisa mengurusi anaknya dengan baik setelah bercerai. Mereka rujuk juga demi masa depanmu Dev."
Devan mengangguk lalu menggeleng. "Tetapi, apa yang Andi katakan tentangku benar.
Aku adalah boneka papa."
SAKURA POV :
Langit terlihat jelas. Aku berbaring tepat di sebelah Devan. Tetapi, bukan di rooftop.
Melainkan rumah pohon.
Belajar cukup melelahkan namun harus dilalui setiap harinya. Aku tidak sabar melihat diriku bekerja nanti. Aku ingin jadi apa, aku juga penasaran. Semoga saja buku-buku itu tidak mengecewakanku. Aku tidak ingin pekerjaan dengan gaji yang tinggi juga rendah, aku ingin yang standar. Tetapi pekerjaan itu membuatku betul-betul nyaman untuk hidup.
Sebelum bekerja aku ingin kuliah di luar negeri dengan beasiswa. Bukankah menyenangkan menghabiskan waktu di London, Toronto atau paling tidak Seoul, Tokyo atau paling tidak lagi Bangkok. Intinya luar negeri. Aku ingin hidup sendiri dan menikmati hidup. Karena aku sepertinya hobi traveling. Tetapi, baru kusadari saat Devan mengajakku ke rumah pohonnya pertama kali.
Suara dahan yang cukup berisik membuatku dan Devan setika mengalihkan pandangan. Kami mencari darimana sumber suara itu berasal. Kami berdua bertatapan sebelum melihat ke arah bawah yang ternyata tidak ada siapa-siapa. Aku mengangkat kedua bahu, Devan mengangkat kedua alisnya. Barangkali hewan, angin atau apalah itu.
"Kamu ingin menjadi apa Dev?" tanyaku. Akhirnya aku menentukan topik pembicaraan setelah kami betul-betul merasa absurd untuk berbicara satu sama lain karena persoalan tragedi itu. Itulah yang dipikirkan Devan sepanjang hari.
"Entahlah. Ingin jadi batu saja. Bukankah itu menyenangkan."
Aku tersenyum miring. Laki-laki itu memang seperti tidak punya semangat untuk hidup. Padahal, jalannya sudah mudah kalau saja dia mau. Semua orang ingin menjadi sepertinya bukan? Anak artis terkenal, punya wajah tampan, hidup berkecukupan. Hidup memang seaneh itu.
Kuraih handphone dari sakuku karena benda itu sedari tadi bergetar. Dua ratus nomor baru mengirimiku pesan. Kaget , respon pertama yang kurasakan.
"Apa yang kalian lakukan setiap hari?" "Menjauhlah dari Devanku."
"Kalian terlihat dekat tolong perkenalkan aku dengannya kak. Aku fans beratnya."
"Bukannya kau sudah punya pacar? Bram kan."
Kutenangkan diriku sejenak. Satu pertanyaan besar terbesit di pikiranku 'Darimana mereka tahu nomorku?'
"Lihatlah ini Dev," ujarku. Devan membuka mata dan meraih handphone-ku cukup cepat. Dia mengamati semua pesan itu satu-persatu lalu menatapku. “Maafkan aku Ra.”
“Tidak masalah Dev, hanya saja kamu perlu berhati-hati.”
“Aku? Kamu Ra, mereka bisa melakukan apapun. Mulai hari ini, kamu harus selalu berada di sisiku.”
Aku menutup mulut berusaha menahan tawa. “Ada yang lucu? Aku serius Ra.”
“Tidak Dev. Kamu terlihat seperti laki-laki yang melindungi pacarnya dari laki-laki lain,” kataku spontan. Lalu aku menutup mulut rapat-rapat.
Apa yang kau katakan Ra? Devan bisa berpikir yang tidak-tidak. “Benarkah. Baiklah itu bagus, mengapa kita tidak mencobanya.”
Mencoba? Apa ini pertanda Devan mengajakku berpacaran? Ini buruk. Dia terlalu tinggi untuk perempuan standar sepertiku. Terlebih lagi, aku harus fokus untuk Olimpiade Fisika.
“Bukankah terlalu cepat Dev? Belum dua minggu kita dekat kamu sudah mengajakku pacaran.” Kutatap Devan nanar.
“Berpacaran? Bukan itu yang kumaksud Ra. Maksudku kamu betul-betul harus berada disisiku. Demi keamananmu, mereka begitu fanatik.”
Wajahku memerah seketika. Mengapa aku terlalu cepat menyimpulkan sesuatu. Aku malu sekarang. Sungguh. Siapapun bawa aku pergi dari sini.
“Ohahaha… begitu rupanya,” aku tertawa kikuk. Memancing Devan untuk curiga.
“Tetapi, kamu terlanjur mengatakannya. Kalau begitu biarlah. Aku bisa menunggu jawaban darimu kapanpun.”
“Jawaban?”
“Ya, anggap aku menembakmu tadi.”
“Ini bukan tembak pistol-pistolan kan?” tanyaku berjaga-jaga. Jangan sampai kejadian tadi terulang lagi. Siapa yang ingin malu dua kali.
“Bukan Ra. Apa aku perlu mengatakannya?” tanya Devan. Aku menggeleng hebat. “Baiklah. Maukah kamu menjadi pacarku Sakura Vanessa Putri?”
Suasana seolah bergerak slow motion. Mataku dan mata Devan bertemu pandang cukup lama. Mengapa dia terlihat berbeda sekarang. Mengapa dia terlihat tampan. Mengapa?
“Sakura?”
Aku terbangun dari lamunan panjangku. “Ya, beri aku waktu,” jawabku pelan.
Setelah berbaring cukup lama, kami berdua memutuskan untuk turun. Setibanya di bawah Devan mengatakan suatu hal yang membuatku merasa tidak ada yang berubah diantara kami. “Lupakanlah, Ra. Anggap saja apa yang terjadi tentang perasaan kita yang memang sepatutnya tidak boleh dibohongi. Tetapi sekarang kita bisa jadi Sakura dan Devan yang seperti kemarin- kemarin."
Langit berwarna jingga, pohon rindang, kupu-kupu menjadi saksi apa yang terjadi antara aku dan Devan hari ini.
*
“Kenapa baru pulang?” suara terdengar dari balik pintu kamar yang perlahan terbuka. Mama, dia mengetahui aku pulang larut malam lagi. Kali ini aku ketahuan, meski jalan mengendap-endap.
Aku menghentikan langkahku sambil tersenyum manis. “Ada tugas yang harus kukerjakan bersama Devan tadi.”
Mama mengangguk diikuti senyum. “Devan? Baguslah.” Dia lalu keluar dari kamarnya. “Ganti pakaianmu Ra setelah itu jangan lupa turun untuk makan. Mama sudah membuatkan sup untukmu.”
Aku mengangguk. Kupikir mama akan marah, tetapi ekspresinya seketika berubah ketika nama Devan kusebut. Entah mengapa aku merasa seperti mertua yang merestui calon menantunya. Aku bergidik geli membayangkan diriku sendiri yang terlalu berhalusinasi.
Setelah bersiap-siap, aku bergegas turun. Bau sup yang khas membawaku begitu saja.
Tetapi, teriakan mama menghentikan langkahku. “Ambil handphone mama di kamar Ra.”
Aku memutar arah kembali. Masuk di kamar mama lantas tersenyum ketika kutemukan benda berwarna hitam. Tepat diatas kumpulan lembaran kertas yang kira-kira setinggi lima senti. Karena menarik handphone mama yang terlalu cepat membuat kumpulan selebaran itu berserakan di lantai begitu saja.
Kertas Itu berisi tentang proyek-proyek yang telah mama tandatangani. Tetapi, ada satu lebaran kertas yang membuat tubuhku bergetar setelah membaca sebuah nama disana.Diikuti keringat yang bercucuran membuat ada satu-dua titik kertas menjadi basah. Mengapa mama menyembunyikan ini dariku?
Aku menuruni tangga dengan tidak berjalan normal. Kepalaku terasa begitu sakit setelah mengetahui kebenaran.
Mama tersenyum kepadaku lalu menaruh semangkuk sup di meja. “Mana handphone
mama?”
“Apa ini Ma?” Mama tertegun. Aku yakin dia berusaha menyembunyikan ini setelah sekian lama.
“JAWAB AKU!”
“Tenang Ra, duduklah dulu sebelum mama menceritakan segalanya.”
Aku menarik napas dalam-dalam. Berusaha bersikap tenang dan menerima apapun yang mama katakan. Meskipun itu pahit, pasti. Dan satu hal lagi, jika ini benar aku tidak bisa menerima Devan, sebagai pacarku.