DAY 12

1329 Kata
DEVAN POV : Apakah aku salah mengucapkan perasaanku terlalu awal? Meski itu hanya untuk membuat Sakura tenang sesaat. Tetapi, kutahu hubungan ini akan berakhir cukup cepat. Menyedihkan. Aku menyesal memberinya harapan kemarin. Kalau saja aku memilih diam itu mungkin lebih baik. Aku mencintainya. Sungguh, tetapi, aku tidak bisa melakukannya. Aku tersenyum. Hari ini, entah mengapa semuanya berbeda. Mata Sakura terlihat sembab. Dia tersenyum, namun senyumnya menandakan kalau dia sedang tidak baik-baik saja. Apa sesuatu telah terjadi? "Dev temani aku ke perpustakaan nanti setelah jam istirahat," ujarnya membuatku terbangun dari lamunan panjang. Aku balas mengangguk. Di sekolah, seperti biasa kami menghabiskan waktu di rooftop. Aku berbaring tepat di sebelah Sakura. Namun kali ini aku tidak memejamkan mataku. Aku terus menatap Sakura, kali ini dia yang memejamkan matanya. Langit cukup mendung, membuat cahaya matahari tidak bersinar seperti biasanya. "Bagaimana tugasmu Dev?" tanya Sakura yang masih memejamkan matanya. "Tugas?" "Ya, tugas matematika. Kalau belum, kamu bisa mengambil bukuku di tas. Jangan lupa untuk melengkapi cacatanmu juga. Kamu bisa meminjam bukuku kapan pun kamu mau." Aku mengangguk. Membuka tas perempuan yang masih menikmati suasana itu. Sebuah buku dengan sampul berwarna biru muda kutemukan. Aku membuka lembarannya segera dan mencatat tugas yang Sakura katakan. Sudah latihan ke 15 dan aku baru menulis satu tugas. Aku betul-betul bolos sepenuhnya dari jam kelas pak Tresno. Guru aneh bin ajaib itu. Baru saja tinta hitam menyentuh lembaran halaman pertama. Aku kepikiran sesuatu. Mengapa Sakura menyuruhku melakukan ini? Tidak biasanya. Maksudku biasanya dia tidak peduli kalau aku bolos bahkan sampai menyuruhku mengerjakan tugas. Ah sudahlah, mungkin sesuatu terlintas di pikirannya membuatku memang harus melakukan ini. "Apa langit akan mendung terus sepanjang hari?" "Mungkin," jawabku sembari membuka lembaran baru. "Kamu tidak bawa sandwich lagi Dev." Aku tersenyum. "Oh iya, ada di dalam tas. Bukalah, aku juga lapar." Sakura akhirnya membuka mata dan bergegas membuka tasku. Aku tersenyum, dia begitu antusias. "Kamu pasti bangun pagi untuk menyiapkan ini kan Dev." Mulut Sakura penuh dengan sandwich membuatnya tersedak ketika berbicara, dengan sigap dia meraih botol air dari dalam tasku. Tingkahnya membuatku tertawa kecil. "Bukan aku yang membuat semuanya, bibi Miah juga membantuku. Tetapi aku jamin yang kau makan itu buatanku." "Benarkah? Pantas saja aku tersedak." Aku memutar bola mata. Gombalanku gagal lagi. "Aku ingin bolos Dev." Pandanganku langsung beralih ke Sakura. "Bolos, sesosok Sakura mencoba bolos. Hahaha..." tawaku menyelimuti atmosfer namun Sakura terlihat serius. Membuatku menutup mulut kembali. "Kamu serius Ra." "Ya." "Tetapi, kenapa? apa terjadi sesuatu atau tugasmu belum jadi. Dasar!" "Tidak, bukan begitu Dev. Kupikir hidupku terlalu monoton. Aku juga ingin hidup seperti orang-orang, melakukan sesuatu tanpa perlu khawatir." Sakura berbalik menatapku. Matanya berbinar-binar sambil menyatukan kedua tangannya memohon kepadaku. "Setidaknya aku harus melakukan ini sekali seumur hidup agar aku juga punya cerita menarik tentang hidupku." Aku memandangi perempuan dihadapanku cukup lama hingga aku memutuskan mengangguk. "Baiklah, tapi hanya untuk hari ini." Sakura melompat kegirangan seperti anak kecil dia lalu menjinjing tasnya cukup cepat dan menarik tanganku. "Tunggu dulu Ra. Kamu mau kemana?" "Entahlah, kupikir kamu punya tempat yang bagus untukku hari ini. Ada banyak tempat yang bisa kita kunjungi Dev. Ayolah!" Aku mengikuti langkah Sakura cukup cepat. Melompati pagar dan berjalan menyeberangi jalan. Untuk menutupi seragam, kami mengenakan jaket. Sakura betul-betul antusias. Bahagianya betul-betul menular. * Hari ini kami memutuskan untuk bermain di Wahana Bermain Sakura berhasil mengambil dua boneka dalam permainan mesin capit juga kami memenangkan begitu banyak tiket saat bermain basket. Semua orang mengerumuni kami. Untung saja aku mengenakan masker dan topi dari sweater membuat tidak ada satupun orang yang mengenaliku. Setelah bermain, kami pergi ke stan khusus yang menjual es krim. Sakura menunjuk es krim stroberi kesukaannya. Dia betul-betul fanatic dengan rasa itu. Sedang aku, rasa cokelat. Rasa yang paling umum. Meski sejujurnya aku tidak suka rasa yang manis. “Setelah ini bagaimana kalau ke pantai?” Sakura mengangguk. Aku tidak tahu apakah dia betul-betul menerima ajakanku ke pantai atau sekedar mengangguk asal karena dia betul-betul fokus menikmati es krim dihadapannya. “Baiklah,” tambahku. Aku lanjut menyendok satu, dua es krim. Aku mengernyitkan dahi. Rasanya terlalu manis. Aku menyesal tidak memesan rasa pisang tadi. Sakura yang es krimnya habis lebih dulu meminta ijin kepadaku. Dia ingin ke WC sebentar. Namun, aku menyadari bahwa dia menyembunyikan darah yang keluar dari hidung dan kini memenuhi tangannya. Aku mengambil sapu tangan dari dalam tas. Sakura menerima lalu berjalan ke WC dengan buru-buru diiringi rasa khawatirku akan kondisinya. Selang beberapa menit kemudian Sakura kembali, wajahnya terlihat pucat. “Apa kau baik-baik saja Ra.” Aku dengan sigap berdiri ketika menyadari kehadiran Sakura. “Biar aku yang bawa tasmu Ra.” Sakura lalu memberikan tasnya pasrah. Dia tidak bisa berbicara, hanya terus menutupi hidung dan mulutnya, mungkin takut kalau-kalau darah tiba-tiba keluar lagi tanpa disadari. “Kita pulang saja Ra. Kamu harus ke dokter.” “Tidak Dev. Hanya untuk hari ini aku bisa bebas. Apalagi mama tidak ada di rumah.” Aku mengangguk pasrah. Setidaknya aku perlu berjaga-jaga kalau terjadi hal yang lebih buruk lagi. Aku hanya perlu berada di sisinya. Kami akhirnya tiba di pantai, hanya butuh waktu beberapa menit. Aku dan Sakura menatap sunset. Berbeda dengan di rumah pohon dimana aku hanya melihat pantulan cahayanya saja. Kali ini, aku betul-betul bisa melihat bagaimana matahari tenggelam. Tanpa ada yang menghalangi. Aku melihat wajah Sakura yang disinari cahaya matahari. Perlahan mulai kurasakan Sakura menggenggam erat tanganku. Lalu aku membawa kepala Sakura lembut bersandar di pundakku. Kami terbawa suasana. “Apa kamu mengetahui apa yang tidak kuketahui Dev?” tanya Sakura. Membuatku menatapnya penuh tanya. “Apa Ra?” “Ya… apapun yang kau ketahui diamlah Dev. Jika kamu takut menyampaikan karena itu menyakitkan.” Sungguh, aku mengerti apa yang Sakura katakan. Tetapi, aku tidak yakin bahwa dia sudah tahu yang sebenarnya. Atau perasaanku saja? “Aku tidak akan mengatakannya Ra. Itu akan menjadi rahasiaku, anggap saja apapun yang menyakitkan itu tidak akan terjadi. Anggap saja aku tempat pelarianmu kalau kamu sudah tidak nyaman dengan segalanya. “Terimakasih Dev… Aku hanya takut, aku takut kalau saja terjadi sesuatu dan aku belum siap menjalaninya.” “Jangan takut akan apapun Ra, aku selalu ada disampingmu. Tenanglah.” Sakura tersenyum. Mata kami bertemu pandang cukup lama. Hari indah ini, hari yang tidak akan pernah kulupakan. * Saat hari mulai gelap, aku dan Sakura kini berjalan kaki menuju ke halte bus. Suasana cukup sepi. Hanya satu-dua orang yang berlalu lalang. Telingaku menjadi sedikit tenang setelah keluar dari mall tadi. “Kalau kamu sakit lagi kamu tidak akan bisa ikut olimpiade.” “Besok-besok jangan lupa bawa sapu tangan sendiri.” “Istirahat yang cukup.” “Juga minum kapsul yang kuberikan.” Aku berbalik, ketika tidak mendengar suara Sakura cukup lama membuatku khawatir. Hingga aku mendapati perempuan itu terkapar begitu saja di jalanan sambil berusaha melambaikan tangannya. Aku berlari, menghampiri gadis itu dan membuatnya berdiri. "Dev... Kakiku.. kakiku... Tidak bisa digerakkan Dev." Aku memperbaiki posisi dan membuat Sakura naik di punggungku. Aku berjalan cukup cepat, kurasakan Hoodie yang kukenakan basah karena air mata Sakura. "Tenanglah Ra, semuanya baik-baik saja." "A-aku takut Dev," ujar Sakura sesenggukan. Dia menangis banyak. "Tidak akan terjadi apa-apa Ra, ada aku disini. Semuanya akan baik-baik saja," balasku. Tidak ada yang bisa kulakukan selain membuat Sakura tenang saat ini. Kakinya lumpuh. Itulah yang terjadi, menandakan bahwa waktunya bersamaku tinggal sebentar lagi. Tepat sebelas hari yang lalu saat dia masuk rumah sakit, dokter memberitahuku bahwa mimisannya bukan karena hanya sekedar kelelahan, melainkan chronic lymphotic leukimia. Kanker darah tepatnya, orang mungkin tidak asing dengan itu. Kupikir hari itu adalah hari terakhir aku dan Sakura saling berbicara mengenai tugas Kimia. Tetapi Tuhan berkehendak lain. Hubungan kami tidak sebatas tugas yang Bu Tuti bebankan kepadanya untuk membantuku. Melainkan lebih dari itu aku harus berusaha membuatnya tenang untuk terus hidup. Itu juga alasan mengapa aku sering membuat sandwich dan membuat Sakura makan buah-buahan. Dan kapsul itu, itu adalah obatnya yang tidak bisa kuberikan secara langsung. Akulah orang yang mungkin dipilih-Nya untuk menghabiskan waktu bersama Sakura disisa hidupnya. Perempuan malang itu, Sakura Vanessa Rein.
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN