DAY 6

1563 Kata
SAKURA POV : Shira Audit pulang lebih awal semalam. Dia menitipkan sebuah kotak padaku yang terbungkus rapi dengan pita biru tua, entah apa isinya intinya itu untuk Devan. Karena kesibukan karir dan tinta hitam yang terlanjur digoreskannya pada kertas berisi perjanjian acara membuat dia menitipkan anaknya kepada bibi Miah, bibi yang menyambutku ketika aku pertama kali ke rumah Devan. “Bukankah hari ini hari senin? Pulanglah Nak Sakura. Nanti bibi menyuruh pengawal menjaga Devan disini. Bibi juga mau pulang mengurus keperluan Nyonya,” kata bibi kepadaku. Tidak bisa Bi, karena aku yang memaksa Devan untuk mengunjungi rumah pohonnya. Kalau saja tidak, mungkin dia baik-baik saja. Aku merasa bersalah kalau meninggalkannya disini,” jawabku. “Baiklah kalau itu yang Nak Sakura inginkan. Nanti bibi yang akan mengijinkan kalian di sekolah.” Aku tersenyum, sebagai ungkapan terimakasih. Disusul bibi yang pulang, menghilang dari balik pintu. Rumah Devan cukup besar, sehari saja bibi tidak bekerja debu disana sudah bertumpuk. Maybe. Devan masih belum sadarkan diri sejak semalam. Apakah jantung Aritmia separah itu? Aku tidak habis pikir Devan yang terlihat seperti punya energi lebih, menggendonggu semisalnya, ternyata juga bisa terkapar seperti sekarang ini. Suasana di rumah sakit cukup hening, hanya ada suara televisi yang terdengar samar- samar karena volumenya terlalu kecil. Juga suara anak-anak diluar sana yang sesekali berteriak memaksa orang tuanya untuk membeli es krim. Aku menghembuskan napas cukup lama juga sesekali menutup mulut. Aku betul-betul tidak suka dengan bau obat-obatan. Dari kecil, kalau hanya demam biasa dan sakit kepala, aku lebih baik tinggal di rumah, menunggu sampai penyakitku sembuh dengan sendirinya. Tak hanya itu, seluruh gigiku tidak ada satupun yang dicabut di rumah sakit. Aku memutuskan mencabutnya sendiri. Bagaimana rasanya? Tentu saja sakit untuk usiaku saat itu, tetapi kupikir itu lebih baik ketimbang mencium bau obat-obatan. Aku melihat pergerakan dari tubuh Devan. Dia membuka matanya perlahan. Syukurlah, dia akhirnya sadar. “Apa sudah sore Ra?” Aku mengernyitkan dahi. Sore? “Mengapa langitnya berwarna putih? Apa kamu membuat atap di rumah pohonku? Tanggung jawab Ra. Kamu belum ijin kepada pemiliknya.” Aku menepuk jidat. Apa dia mengira bahwa dirinya masih ada di rumah pohon? “Ini rumah sakit Dev. Kamu pingsan kemarin.” “Pingsan?” Devan berusaha mendudukkan badannya. “Mana jus pisangku?” Kutarik napas dalam-dalam. Mengapa dia masih saja bodoh di situasi seperti ini. Membuatku seperti berhasrat agar dia sakit dua kali. “Sudahlah Dev. Berhenti memikirkan jus pisang atau apalah itu. Kamu sedang sakit. S-A- K-I-T.” Devan mempermainkan selang infus di sebelahnya sebelum berbalik menatapku. “Aku lapar Ra.” Lapar? Baguslah. Kata mama, kalau seseorang akan sembuh dari sakitnya dia akan meminta makanan. Aku bergegas mengambil makanan yang berada di atas meja tepat di sebelah Devan. “Buka mulutmu Dev.” Devan menatap makanannya cukup lama. Jelas, dia pasti tidak suka bubur dan sayur- sayuran seperti sekarang. Jujur, akupun tak menyukainya. “Apa kamu mau membunuhku Ra?” celetuh Devan. Dia menggelantungkan sayur bayam berwarna hijau. “Siapa suruh sakit. Kamu harus makan seperti ini agar bisa sembuh. Makanlah.” Aku mulai melayangkan sendok berisi bubur dan sayur bayam tepat di depan mulut Devan.Sedang laki-laki dihadapanku berusaha menutup mulutnya rapat-rapat. “Nggg… Jauhkan sendokmu Ra.” “Cepatlah Dev, buka mulutmu. Pesawat sudah hampir masuk.” “Pesawat? Bukankah sendokmu ini lebih mirip kereta api?” ujar Devan. Mulutnya saat ini sedang berbicara, tetapi ada tangan yang menutupi mulutnya membuatku tidak bisa memasukkan sesendok makanan pun ke dalam sana. Aku mendengus pelan. “Mana ada kereta api melayang di udara.” “Ada Ra. Apa kamu tidak pernah lihat Jepang dan China sudah membangunnya.” “Tetapi, itu karena ada relnya. Itu bukan melayang namanya.” “Anggap saja ada. Daripada pesawat, lihat sendoknya, tidak ada sayap sama sekali.” Aku mengepalkan tangan seraya mengangkat kepala menatap sudut ruangan. Aku seperti guru TK yang mengajarkan muridnya bagaimana membedakan antara kereta api dan pesawat. Bedanya, murid yang kuajari saat ini adalah murid yang sudah membatu sejak dini. Keras kepala. “Hentikan leluconnya Dev.” “Siapa yang memulainya dulu? Kamu menyuapiku seperti menyuap anakmu sendiri.” “ITU KARENA KAU TIDAK MAU MAKAN. MAKANYA KAMU TERLIHAT SEPERTI ANAK KECIL.” Teriakanku membuat Devan menunduk. Bagi siapapun yang melihatnya sekarang, mungkin dia akan terlihat menggemaskan. Tetapi, itu tidak mempan bagiku karena aku masih emosi perihal pesawat dan kereta api tadi. Aku menghela napas. “Maaf Dev… Aku hanya bisa memohon. Makanlah!” “Tidak bisa Ra. Makanan itu tidak ada rasanya. Terlebih kamu menaruh sayur hijau, kamu pasti bisa membayangkan sendiri rasanya seperti apa. Hambar. Sayurnya tidak seperti selada di sandwich ataupun sayur brokoli di capcay. Aku tidak ingin kamu melihatku muntah disini.” Aku mulai mengerti apa yang Devan maksud. Hanya persoalan makanan kami bertengkar hebat. Sebuah ide briliant tiba-tiba terlintas di pikiranku. “Bagaimana kalau aku keluar membeli makanan untukmu?” Aku memutuskan keluar setelah Devan terdiam. Dia barangkali tidak bisa berkata ‘iya’ karena gengsi juga tidak bisa menolak, siapa tahu saja ada makanan yang disukai Devan dan layak dimakan untuk kondisinya saat ini. Jus pisang dan sandwich. Hanya itu yang terlintas di pikiranku sekarang. Setelah cukup lama mengelilingi rumah sakit dan tak menjumpai makanan yang kucari, akhirnya aku memesannya secara online. Mungkin, selera makanan Devan terlalu tinggi. Aku baru sadar. Kemarin Devan menyuguhkanku makanan mahal (Padahal aku sering membuat sandwich sendiri di rumah kalau ada waktu). Cukup lama aku menunggu, membuatku memutuskan untuk bermain handphone, membuka grup w******p sekolah. Lagi-lagi masih ada segelintir orang yang membahasku dan Bram sama seperti hari itu di bus, meskipun Devan berusaha menawarkan earphonenya agar aku tidak mendengar gosip di sekitar. Namun, tetap saja aku tidak bisa berbohong bahwa aku mendengarnya. Itu menyakitkan ketika mereka bercerita seolah berkata kepada orang lain namun kata-kata mereka jelas ditujukan kepadaku. Setelah Go Food tiba. Aku memutuskan untuk mempercepat langkahku untuk kembali. Siapa tahu Devan lebih memilih mati kelaparan ketimbang makan bubur disebelahnya. Setelah tiba di depan pintu, aku mundur beberapa langkah ketika melihat Carolina tengah menyuapi Devan. Senyumku merekah, syukurlah ada Carolina. Kalau saja aku tahu, aku akan memanggil Carolina lebih awal untuk datang. Dari balik kaca jendela, aku melihat bagaimana Carolina dan Devan berbicara, wajah mereka berdua terlihat serius. Meski begitu, Carolina dengan tulus menyuapi Devan. Suap demi suap, aku hanya bisa melihat mereka dari kejauhan, menunggu waktu yang tepat untuk menyusul masuk. Hingga piring yang Carolina pegang kini disimpannya di atas meja, pertanda suapan yang tadi adalah suapan terakhir untuk Devan. Perempuan itu mampu menyihir Devan hingga berhasil melahap buburnya dengan habis. Carolina dan Devan balik bersamaan ketika menyadari kehadiranku. “Apa yang kau beli Ra? Kenapa lama sekali,” celoteh Devan. Aku mengangkat dua kantongan yang sedari tadi kugenggam. Terlihat bulir-bulis air di salah satu kantongan, menandakan bahwa jus pisangnya tidak lagi dingin. “Aku bersyukur kamu datang disini Carolina. Kalau tidak aku bisa gila hanya karena sesendok bubur,” keluhku ketika menemukan posisi duduk yang tepat di sebelah Carolina. Carolina tersenyum. “Benarkah?” “Bohong. Kamu bohongkan Ra? Maksudnya, energiku tidak akan cukup hanya dengan bubur.” Devan memberi kode berupa kedipan mata kepadaku. Dia betul-betul menjaga citranya sebagai seorang laki-laki yang mentalnya tidak ingin dijatuhkan dihadapan gebetannya. Aku mengangguk. “Terserah, intinya keberadaan Carolina sungguh membantumu Dev. Berterima kasihlah.” Carolina tersenyum. Perempuan yang merupakan primadona sekolah ini memang hobi tersenyum kepada siapapun yang ditemuinya. “Hahaha… tidak perlu berterima kasih. Intinya, kita semua harus menjaga kesehatan sebelum ujian. Oh iya… nanti akan kukirimkan catatanku Ra, biar kamu tidak ketinggalan pelajaran.” Mataku berbinar-binar. Setelah ijin, sekarang catatan. “Terimakasih Carolina, kamu betul- betul membantu kami disini.” “Kami? aku tidak akan ikut mencatat sepertimu, Ra.” Devan, laki-laki itu nyolot lagi. Dasar es batu. Kalau saja Carolina tidak ada, Devan akan kubuat tidak sadarkan diri untuk yang kedua kalinya. “Oh iya, aku pulang dulu Sakura, Devan. Sampai jumpa,” ujar Carolina. Sebelum pergi, kami sempat bersalaman dan juga high five. Perempuan itu betul-betul berhati malaikat. Setelah Carolina mulai menghilang dari balik pintu, aku akhirnya bisa bebas berbicara dengan Devan yang asli tanpa perlu ada topeng palsu diantara kami. Kalau saja Carolina sering datang mengunjungi Devan dimanapun, Devan bisa menjadi aktor legendaris. Keberadaan Carolina membuat laki-laki yang meminum jus pisangnya itu terlatih untuk selalu improvisasi. “Lihatlah Dev, Carolina itu perempuan baik-baik. Mengapa kamu menembaknya dengan sepucuk surat.” “Bukan hanya sepucuk, sudah banyak. sluurpp.” Devan menikmati jus pisangnya. “Ah sudahlah, terserah apa katamu. Oh iya, bibi Miah katanya sudah selesai dengan urusannya di rumah, jadi dia akan menggantikanku disini. Aku harus pulang Dev.” Devan terdiam. “Kalau kamu tidak disini, aku akan keluar dari rumah sakit. Sebenarnya, aku baik-baik saja sekarang.” Aku mengangguk, menyetujui kata-kata Devan. Setelah minuman, laki-laki rakus itu melahap habis sandwich tanpa menawariku. Bukankah dia harus menawariku meskipun aku akan menolak pemberiannya. Tetapi syukurlah, itu pertanda dia sehat, selebihnya berpura-pua sakit. Sudah enam hari kami dekat. Devan betul-betul sulit bersosialisasi. Kalau hubungannya dengan Carolina berlanjut, kasihan Carolina. Dia akan menjadi korban kekerasan psikis dalam dunia, jagad raya ini. “Bagaimana Carolina bisa datang setelah kamu memberinya surat? Bukankah dia harusnya membecimu seumur hidup.” Devan terlihat kesal, namun dia tersenyum di akhir membuatku merasa sedikit lega. “Karena aku tampan.” Golok, mana golok! Hari itu, aku dan Devan pulang bersamaan. Dia ternyata juga tidak menyukai bau rumah sakit. Lebih baik beristirahat di rumah… pohon katanya.
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN