SAKURA POV :
Hari Senin, aku memutuskan untuk berbaring di UKS ketimbang mengikuti upacara. Orang yang sakit dan tidak enak badan adalah pengecualian untuk menghormati para pahlawan dengan upacara. Sejak kemarin, sepulang dari rumah sakit, aku lagi-lagi merasa tidak enak badan. Bau obat mungkin menjadi salah satu penyebabnya. Untung saja aku tidak mimisan.
“Bangunlah Ra.” Suara terdengar membuatku tersentak kaget. Ternyata Devan. “Apa kau gila?”
“Hehe… Kamu ingin tinggal disini dan tidak ingin belajar?” “Belajar? Masih upacara Dev.”
Tunggu dulu, Devan?. Apa yang dilakukannya disini? Bukankah dia baru keluar dari rumah sakit kemarin.
“Kalau tidak menyukai rumah sakit, setidaknya beristirahatlah di rumah pohon. Kamu terlihat suka sekolah akhir-akhir ini. Baguslah.”
“Aku juga tidak suka sekolah. Tetapi, aku datang hanya untuk menggodamu.”
Aku memukul bahu Devan. Dia membuat UKS seolah hanya milik kami berdua. “Diamlah Dev. Banyak orang disini,” bisikku pada Devan.
“Memangnya kenapa kalau banyak orang?”
“Ah sudahlah.” Aku mendorong Devan, memutuskan untuk kembali ke kelas adalah pilihan terbaik ketimbang beradu mulut dengan es batu. Ini masih pagi dan dia sudah membuatku naik pitam. Lagi pun, upacara sudah selesai, barisan telah dibubarkan.
Devan masih saja mengikutiku di belakang. Terserah apa yang dilakukannya, setidaknya aku tidak melayani omelannya. Aku akan terlihat seperti orang gila.
“Baguslah Ra, aku bisa menggodamu disini. Tidak ada orang di kelas,” ujar Devan ketika aku membuka pintu kelas dan terlihat kosong, mungkin semua orang masih dalam perjalanan menuju kelas.
“Sekali lagi kamu berkata seperti itu, buku ini tidak akan segan tertancap di kepalamu,” jawabku ketika memeriksa tas dan mendapati buku paket matematika yang kupinjam tempo hari di perpustakaaan.
Devan hanya tersenyum. Dia mungkin mengerti kalau aku sedang marah saat ini.
“Wow lihatlah yang terjadi, Sakura si ketua kelas kita tinggal berduaan bersama Devan selama upacara,” ujar Bimo, teman kelasku yang selalu berbicara nyaring. Hampir sama dengan Devan, Bimo juga tukang onar di kelas. Mereka berdua sama-sama membuatku gila.
Aku berbalik, tatapan biasa mulai kurasakan. Hubunganku dan Bram ternyata membawa petaka. Termasuk Arabelle, saat ini dia hanya tersenyum padaku. Biasanya dia akan menepuk pundakku dari belakang dan bercerita akan hari minggunya di luar kota
“Devan baru saja sembuh dari sakitnya, dan Sakura yang menjaganya semalam. Mungkin Sakura kelelahan,” gumam Carolina, dia berusaha membelaku akan apa yang terjadi.
“Benarkah?” Celetuh Bimo. “Apa kamu tidak cemburu dengan Sakura atau jangan-jangan kamu berusaha membuat Sakura sadar bahwa Devan hanya milikmu seorang?”
“DIAMLAH LEX!” Ujarku dan Carolina hampir bersamaan.
Devan yang terlihat kesal dan tidak menyukai suasana kelas yang diselimuti atmosfer ketidaknyamanan membuatnya pergi meninggalkan tempat. Entah itu pilihan yang tepat atau tidak, tetapi keberadaan Devan saat ini memang akan membuat ketidaknyamanan diantara aku dan Carolina. Aku yakin Devan akan bolos lagi dan pergi berbaring di rooftop.
Carolina tersenyum kepadaku. “Semangatlah Ra, fokuslah belajar. Jangan hiraukan siapapun. Termasuk pria ini.” Carolina melempar kertas kepada Alex membuat laki-laki itu mendengus kesal.
Aku balas tersenyum kepada Carolina. Semua orang hanya menatap kami tanpa ekspresi seperti tidak ada respon akan kejadian tadi. Mungkin mereka bermasa bodoh akan masalah orang lain karena sebentar lagi ulangan tengah semester akan dilaksanakan.
“Apa yang dikatakan Carolina benar Ra,” bisik Arabelle kepadaku membuatku tersenyum tipis, syukurlah dia tidak marah kepadaku karena rumor tentangku dan Devan.
Saat pelajaran dimulai, aku lagi-lagi tidak bisa fokus. Devan adalah alasan utamanya. Ragaku ada di kelas namun pikiranku seolah beterbangan mengitari kepalaku. Apa yang Devan lakukan? Dia baru saja pulih, apa baik baginya terkena paparan sinar matahari di rooftop?
Sudah cukup. Pikiranku menang.
Aku berhasil keluar dari kelas. Dengan sebuah alasan bahwa aku ingin buang air kecil, tetapi setelah itu tentu saja menghampiri Devan. Aku tidak sedang berbohong bukan? aku betul- betul pergi ke WC. Sungguh.
Setelah membuka pintu keluar rooftop, aku tidak menemui Devan disana, yang ada hanyalah tanaman kecil liar yang tertiup angin semilir. Tanaman malang yang tidak tumbuh pada tempat semestinya.
“YAAA!”
Aku tersentak. Devan mengagetkanku membuatku mengatur napas yang kini beradu. Kesal bercampur rasa tenang, setidaknya Devan baik-baik saja.
“Apa kau tidak berniat kembali ke kelas? Pelajaran sudah dimulai.”
Devan menggeleng hebat. Mengapa akhir-akhir ini dia terlihat seperti anak kecil yang menggemaskan. “Baiklah. Jaga dirimi baik-baik. Aku akan kembali nanti.”
“Terimakasih atas hadiahnya Ra.” “Hadiah?”
“Ya, ini….” Devan mengeluarkan sesuatu dari dalam tasnya.
Kotak? Seketika Shira Audit terlintas dalam pikiranku. Aku menepuk jidat karena lupa memberitahukannya kepada Devan.
“Itu bukan dariku Dev.” “Lantas?”
“Itu dari ibumu.”
Kotak yang Devan pegang jatuh begitu saja. Dia terlihat shock. “Ibu?”
“Ya, Shira Audit. Kenapa kamu tidak pernah mengatakan padaku bahwa ibumu adalah Shira. Kenapa kamu terus-terusan berpura-pura tersenyum seolah kamu baik-baik saja. Aku tahu ini masalah terbesar dalam hidupmu Dev.”
“Kamu yang tidak pernah bertanya Ra.”
Devan tersenyum, tapi senyumnya terlihat menyakitkan. Mengapa dia terus berusaha menutupi segalanya?
AUTHOR POV :
"Apakah aku harus bertanya kepada tujuh milyar manusia di bumi bahwa ibu mereka adalah Shira Audit? Yang benar saja Dev," Sakura kini melangkah dan mengambil kotak yang sudah beberapa menit tergeletak begitu saja di lantai.
Devan tertawa kecil, cukup lama hingga akhirnya dia menghentikannya ketika melihat Sakura yang bahkan tidak tersenyum seperti biasanya membuat Devan menyadari ada keanehan diantara mereka berdua.
"Cukup Dev, jangan berpura-bura lagi. Bukankah itu melelahkan?"
Tawa Devan senyap seketika. "Jangan membuatku meninggalkanmu seperti Andi, Ra." Devan meraih tasnya cukup cepat lalu pergi meninggalkan tempat.
Sakura dengan sigap berdiri lalu memberikan kotak yang ada ditangannya kepada Devan, namun sayangnya laki-laki itu menepis tangan Sakura cukup cepat hingga Sakura merasa sedikit kesakitan.
"APA YANG KAU LAKUKAN RA? KAMU JUGA MEMBUATKU TERLIHAT
SEPERTI ANAK YANG MALANG." Devan melanjutkan langkahnya. Seumur hidup, ini kali pertama Sakura melihat Devan marah.
"Tunggu Dev, aku tidak tahu apa yang terjadi antara kamu dan Andi. Tetapi, kamu perlu tahu bahwa aku punya masalah yang sama denganmu."
Devan berbalik. "Sama?"
"Ya, awalnya aku tidak ingin memberitahu ini kepada siapapun. Tetapi, aku ingin tahu apa yang kamu lakukan selama ini. Bagaimana caranya kamu bisa bertahan dengan masalahmu."
Devan kembali, dia menarik tangan Sakura erat. Lalu mengajak perempuan itu berlari-lari kecil meninggalkan sekolah. Mereka berdua memutuskan bolos bersama.
*
Sakura tersenyum setelah menunggu laki-laki yang kini keluar dari pintu minimarket. Mereka akhirnya duduk di kursi panjang. Sakura yang sedari tadi merasa antusias dengan kantongan transparan yang didalamnya berisi dua es krim stoberi kini membuka plastik es krim, Senyumnya merekah setelah jilatan pertama es krim.
“Darimana kamu tahu aku suka stroberi?”
“Ha? Aku tidak tahu. Mungkin feeling,” jawab Devan yang kini juga membuka es krimnya.
Sakura mengangguk. Dia merasa situasi saat ini berbeda antara dia dan Devan. Baru seminggu mereka dekat, namun jantungnya saat ini berdegup cukup kencang. Sakura nampaknya menyukai Devan. Perempuan itu hanya bisa mengalihkan pandangannya untuk menutupi pipinya yang mulai memerah, juga menggenggam erat roknya untuk menutupi rasa gugup.
“Ada apa Ra?” tanya Devan ketika menyadari Sakura bertingkah aneh.”
Sakura berusaha melihat wajah Devan. Dia memaksakan dirinya untuk bersikap normal. “Tidak ada apa-apa. Ngomong-ngomong, kenapa kamu membawaku kesini?”
“Pertama, tentang Andi, kemudian kedua ini tentang perasaanku.”
Perkataan Devan membuat Sakura tersedak. Devan memberi air kepada Sakura dan menunggu beberapa saat sampai Sakura merasa baik-baik saja.
“Aku ingin membahas yang kedua dulu.”
Jantung Sakura seketika berdegup kencang. Apa yang dimaksud dengan kata ‘perasaanku’ membuat Sakura semakin penasaran. Dia mengeluh dalam hati, dan berharap bahwa jantungnya yang berdebar adalah respon lain yang terjadi bukan karena Devan. Tetapi karena hal lain. Sakura berusaha membohongi dirinya sendiri.
“Ini tentang orang tuaku.”
Sakura menghembuskan napas lega. Apa yang disangkanya akan terjadi ternyata salah. Dia respon mengangguk.
“Kamu tahu Ra, ayahku dan ibuku akan rujuk lagi.”
“Rujuk lagi? Bukankah itu bagus. Keluarga kalian bisa bahagia kembali seperti dulu lagi bukan?” Tanya Sakura. Dia akhirnya melupakan persoalan perasaannya tadi. Kisah hidup Devan ternyata lebih menarik perhatian.
“Iya, aku sepatutnya bahagia. Tetapi, mereka rujuk karena alasan popularitas. Mereka ingin membuat pengaruh baru kepada masyarakat agar masyarakat tidak melupakannya. Saat berita rujuk mereka mencuat, mereka akan terkenal lagi.”
“Apa ada hal yang merugikanmu kalau mereka rujuk kembali?”
“Entahlah… tetapi, akhir-akhir ini aku akan sibuk menjadi boneka mereka. Aku akan banyak menerima tawaran foto majalah dan media akan memberitakanku bahwa aku benar anak mereka. Padahal aku berusaha sembunyi selama ini.”
Sakura mengelus lengan Devan. Hanya itu yang bisa dilakukannya. Kata ‘boneka’ membuat Sakura turut berempati.
“Karena itu, kamu bisa tersenyum di depan semua orang jika ada masalah, tetapi jika dihadapanku jangan lakukan itu. Keluarkan amarah, masalah dan segalanya yang membuatmu merasa tertekan.”
Devan mengangguk. Matanya terlihat lesu, semburat senyum seolah menghilang. Wujud asli wajahnya terlihat. Sakura merasakan betapa menderitanya hidup Devan selama ini. Tetapi, Sakura merasa lebih baik Devan mengungkapkannya ketimbang menanggung bebannya sendirian.