DAY 16

1511 Kata
SAKURA POV : Aku melihat Andi duduk sendirian di perpustakaan. Dari kelas sepuluh, dia memang orang yang cukup pendiam dan tertutup. Itulah mengapa ketika aku tahu dia dan Devan cukup dekat dulu aku langsung tertarik pada hubungan mereka berdua. Meski Andi adalah sosok yang pendiam dan tertutup, namun kecerdasannya tidak perlu ditanya lagi. Dia peringkat dua di kelas, nilai ulangannya selalu sempurna. Hanya saja dia jarang berbicara dan berdiskusi membuat posisi pertama kudapatkan, hasil dari bekerja sebagai ketua kelas yang bertanggung jawab membuat guru-guru memberi nilai tambahan untukku. "Andi,"Sapaku. Namun, laki-laki itu tidak menghiraukanku. Bukan sengaja, ada dua pasang earphone melekat di telinganya. "ANDI!" "Oh Sakura?" Andi melepas benda di telinganya lalu menutup buku dihadapannya. "Apa kamu punya waktu sebentar. Ada yang ingin kubicarakan." Andi mengangguk. "Persoalan Devan? Kamu bisa bertanya apapun tentangnya." "Apa kamu tidak ingin berniat baikan lagi dengannya?" Andi melemparkan pandangannya ke anak-anak kelas sepuluh yang sedang berkumpul, mereka tengah mengerjaka tugas mencari jurnal. "Entahlah... Dia orang yang keras kepala. Seharusnya dia mendatangiku cukup awal dan meminta maaf. Bukannya malah terus lari. b******k itu..." Aku tertawa kecil. Syukurlah, melihat tingkah Andi, masih ada harapan. Mereka hanyalah anak kecil yang sedang gengsi untuk menyatakan perasaan maaf satu sama lain. "Ada sesuatu yang ingin disampaikan Andi. Aku yakin ini akan terjadi, tetapi saat itu tiba aku tidak ingin Devan sendiri." Andi terdiam. Dia menatapku cukup lama, menunggu aku berkata sesuatu. DEVAN POV : Kemana lagi bocah itu pergi? Dia masih mengenakan tongkat namun berseliweran sembarangan di sekolah. Apa dia belum mengerti kalau semua fansku yang rada stres itu bisa saja mencelakakannya. Sakura angkat teleponnya! Kupandangi layar handphone-ku dan berharap Sakura membalas pesan singkatku setidaknya hanya untuk mengetahui keberadaannya. "Cari apa Dev?" Terdengar suara dari arah belakang aku berbalik. Lalu mengembuskan napas lega. "Darimana saja kamu Ra?" "Perpustakaan." "Kamu tahu aku khawatir? Lain kali balas pesanku." "Iya, iya.... Lagipun aku hanya pergi sebentar. Oh iya, mau menemaniku membaca di rooftop?" Aku mengelabui Sakura. Itu pertanda aku setuju, hanya saja aku masih kesal. Sudah lama aku tidak mengunjungi rooftop. Hingga tempat itu entah mengapa terasa berbeda sekarang. "Ada apa Ra, kamu mau kesini?" "Tidak, hanya ingin membaca buku saja. Anak kelas sepuluh memenuhi perpustakaan," jawabnya. "Oh iya, sebentar sore kita jadikan ke festival bunga?" "Bukannya kamu ada acara pemotretan malam kan Dev?" tanya Sakura sembari merogoh setumpuk buku dari dalam tasnya. Karena mama, dia betul-betul tahu seluruh jadwal kegiatan pemotretanku. "Malam kan? Kita bisa pergi nanti sore. Lagi pun perilisan majalahnya masih lama jadi aku bisa saja menundanya." "Begitu ya… Bisakah kita ke tempat lain saja Dev?" Sakura menutup bukunya. Apa dia memohon kepadaku? Apa sesuatu telah terjadi? "Memangnya ada apa Ra?" "Kemarilah dan lihat ini Dev!" Sakura menunjukkan ponselnya kepadaku. Menunjukkan banyak media yang memberitakan karena menggendong Sakura semalam. Aku menepuk jidat. "Cih, mengapa mereka semua sampai mengurusi privasiku seperti ini?" Mulai saat ini, aku harus betul-betul lebih berhati-hati. Mengapa Sakura harus lebih duluan sadar ya Tuhan. Harusnya aku menyadarinya lebih awal. "Jadi bagaimana? Masih mau ke festival bunga?" Aku menggeleng. "Kupikir mengenakan masker di keramaian hanya akan membuat kita terus gelisah," ujarku, aku bertingkah seperti anak kecil yang merajuk sekarang. "Padahal aku ingin sekali ke festival itu. Pasti ada banyak bunga disana." "Kamu suka bunga Dev? Itu kesukaan perempuan." Sakura tertawa. Tidak ada yang lucu, ini bukan lelucon. "Memangnya salah? Warna bunga cukup unik. Aku selalu tertarik melihat keindahan alam." Tawa Sakura mulai reda. "Kalau suka, kita bisa pergi ke rumah pohon hari ini. Dibawah rumah pohonkan banyak bunga Dev. Kita bisa pergi melihatnya." "Tetapi edelweis itu..." "Tidak ada bunga edelweis di festival itu Dev. Bunga itu bukan bunga sembarangan." "Benarkah? Tetapi bukankah panitianya mengatakan ada semua bunga?" "Mereka mengatakan itu hanya untuk menarik perhatian orang Dev. Kamu tahu bunga edelweis itu bunga langka yang hidup di tempat tertentu di pegunungan? Lagipun, para pendaki yang berpendidikan diajarkan untuk tidak memetiknya sembarangan agar tetap lestari." Aku menyeringai. Lalu menggaruk kepala. Apa yang Sakura katakan benar. Sejujurnya aku kecewa. Sungguh aku menunggu hari ini agar bisa membuat Sakura bahagia melihat bunga. Tetapi, rumah pohon tidaklah buruk. Itu ide yang bagus. "Baiklah, kamu sudah janji Ra. Kamu harus menepatinya." "Belum. Aku akan berjanji setelah kamu mengikuti satu hal lagi." "Ha? Lagi? Apa lagi Ra?" "Temani aku menghadap ke bu Tuti nanti." "Oke, hanya itu sajakan?" "Setelah itu, kamu harus ikut seleksi olimpiade Kimia." "APA!" "Ya, hanya seleksi Dev." "Cukup Ra. Cukup dengan semua ide gilamu. Aku? Ikut olimpiade, yang benar saja." Aku mendecak. "Tak ada salahnya mencoba Dev. Nanti aku akan menghadap ke bu Tuti untuk mendaftarkanmu. Lihatlah semua buku ini, aku rela mengambilnya di perpustakaan untukmu." Sakura mengeluarkan semua buku olimpiade Kimia dari dalam tasnya." Kepalaku langsung pening seketika. "Siapa yang bisa mempelajari buku sebanyak itu dalam waktu satu bulan Ra? Lagipun, bukannya seleksinya sudah diadakan minggu lalu?" "Tidak Dev, semua orang yang Bu Tuti harapkan memilih olimpiade lain. Aku, Bram dan Andi. Karena itu, Bu Tuti mengharapkan kamu bisa mengikuti seleksi ini." Karena Sakura terus memaksa, aku jadi tidak enak. Waktuku terbuang hanya untuk membahas olimpiade. "Baiklah, tetapi kalau aku tidak lolos seleksi itu bukan salahku." Sakura mengangguk. Senyumnya seketika merekah. "Tidak masalah. Setidaknya kamu harus berusaha melakukan yang terbaik Dev." "Satu hal lagi... Mulai hari ini biarkan aku yang membawa tasmu Ra. Bagaimana mungkin kamu bisa mengangkat buku sebanyak itu. Jangan-jangan kamu adalah Albert Einstein yang menembus lorong waktu." "Lorong waktu? Kamu terlalu banyak berkhayal Dev." Perempuan itu meninggalkan tasnya lalu memapah dirinya jalan menuruni tangga. "Tunggu Ra!" Langkah Sakura terhenti. "Ada apa?" "Tasmu." "Bukannya kamu yang mau mengangkatnya?" Aku menggaruk kepala. Apa perempuan itu bisa turun sendiri dengan tongkatnya? Di ruangan guru, kami bertiga tidak bicara banyak. Bu Tuti hanya tersenyum lalu menanyakan bagaimana kabarku setelah menjadi artis. Apa aku masih bisa bernapas? Makan dengan baik? Atau apa aku masih bisa menikmati masa mudaku? Kupikir, diantara guru yang lain Bu Tutilah yang paling memperhatikanku meskipun awalnya aku curiga papa yang menyuruhnya. Tetapi, sampai saat ini tidak ada tanda apa-apa bahwa dia bekerjasama dengan papa. Dia tulus. "Baiklah Bu, tenang saja nanti aku akan menyuruh Devan untuk mengisi semuanya." Ujar Sakura membuat pertemuan kami dan bu Tuti berakhir. Sepertinya Sakura dan bu Tuti sudah membahas ini sebelumnya. Tanpa sepengetahuanku Sakura merencanakan sesuatu. "Kamu yang mengisi formulirnya ya Ra," ujarku kepada perempuan yang kini memasukkan formulir ke dalam tas. "Ngg... Nanti kamu sisa menandatanganinya. Mudah bukan?" Aku dan Sakura akhirnya jalan berdampingan menuju ke kelas. Uh... belajar lagi. Kalau saja bukan karena Sakura aku pasti bolos lagi hari ini. * Dalam perjalanan pulang, mama yang langsung menjemput kami. Dia baru saja pulang dari luar negeri. Katanya setelah berita aku menggendong Sakura kemarin tersebar luas di media, papa marah besar. Untung saja ada mama. Setidaknya dia membelaku dan Sakura. "Kalian tidak perlu memikirkannya. Fokus sekolah dan belajar saja. Devan, kamu juga harus fokus dengan pemotretanmu besok. Mama akan menyelesaikan berita itu hari ini juga. Apa mereka tidak pernah merasakan yang namanya jatuh cinta di masa muda? Bagaimana Ra?" tanya mama kepada Sakura. Sedang perempuan yang ditanya hanya menatapku karena dia sendiri tidak tahu harus menjawab apa. Tingkahnya itu membuat mama tertawa. Ini bukan lelucon. Setelah tiba di rumah, aku dan Sakura langsung menuju ke halaman belakang. Sedang mama dia akan membuatkan makanan spesial untukku dan Sakura hari ini. Bagiku memandangi bunga yang sama setiap hari pastilah membosankan. Ini mungkin menarik bagi Sakura karena dia baru dua-tiga kali kesini. Tetapi, bukan bunga yang menarik perhatiannya. "Kupu-kupu itu indah Dev. Aku tidak pernah melihat kupu-kupu dengan warna merah dan hitam seperti itu sebelumnya," ujarnya membuatku mendekat. "Benarkah? Itu namanya kupu-kupu laksamana merah." "Laksamana merah?" "Ya, kamu tahu kisah dibalik lahirnya kupu-kupu itu?" Sakura menggeleng. "Baiklah akan kuceritakan." Aku mengangkat kursi panjang yang tergeletak bebas. Kami akhirnya bisa duduk dan melihat kupu-kupu itu lebih dekat. "Dulu ayah laksamana merah berwarna hitam. Lalu, ibunya berwarna merah saat mereka menikah lahirlah laksamana merah." Suasana seketika hening. Hingga Sakura memukul bahuku. "Cerita macam apa itu? Kamu hanya mengarangnya Dev." Tawaku seketika mengisi atmosfer. Menjahili Sakura adalah hobi baruku, dia terlihat menggemaskan saat sedang marah. "Tetapi, warnanya, punya makna yang tersirat Dev." Aku memiringkan kepalaku sembilan puluh derajat setelah tawaku reda. Sakura sedang serius sekarang. "Merah melambangkan cinta namun hitam menandakan bahwa akan terjadi perpisahan karena kematian. Umur kupu-kupu begitu singkat Dev, hanya tiga Minggu." Deg. Apa yang Sakura katakan barusan? "Ada apa Dev? Hahaha... Aku hanya bercanda." Sakura tertawa lepas. Syukurlah dia tidak mengetahui kebenarannya. Aku hanya bisa tertawa kikuk. "Ada satu hal lagi. Kamu tahu nama latin dari laksamana merah?" tanyaku. Sakura menggeleng. "Gabungan nama tengahku dan nama tengahmu Ra!" "Ngg?" "Namamu, Sakura Vanessa Rein. Aku... Devan Atalanta Lucas. Jadi..." "Vanessa Atalanta?" Aku mengangguk. "Benarkah?" tanya Sakura seperti tidak percaya. Lalu, dia membuka handphonenya dan bertanya kepada pamannya, paman google. "Wow... Benar Dev. Apa ini sebuah kebetulan?" "Entahlah." Aku mengangkat kedua bahu. Setelah itu, pandangan kami berdua mengikuti arah kemana kupu-kupu laksamana merah itu pergi. "Like a miracle." Kata Sakura terakhir kali. Besok, aku betul-betul sibuk. Jadwalku begitu padat. Aku akan sulit melaluinya walau hanya sehari tanpa Sakura. Perempuan itu akan mengisi pikiranku besok.
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN