DAY 17

1918 Kata
DEVAN POV : Hari ini, aku berniat mengunjungi suatu tempat sebelum pergi ke lokasi pemotretan. Jadwalku untuk satu bulan ke depan semakin padat. Tidak hanya pemotretan, aku juga akan menjadi pemeran utama dalam suatu film. Sebenarnya masih banyak kandidat pemeran yang lain, namun melihat antusias masyarakat terhadapku setelah melihat polling yang dibuat online, aku berada diposisi teratas dengan 62 persen suara. Itu cukup membuatku kaget, aku masih pendatang baru. Film itu bukanlah film biasa. Film itu digarap dari sebuah novel best seller ternama yang terjual hampir lima puluh ribu eksemplar. Dengan sutradara ternama yang dipilih. Semua orang yakin film itu akan menjadi film sempurna dengan rating tinggi tahun ini. Tetapi, membayangkan aku menjadi pemerannya? Aku tidak tahu bagaimana caranya ber-akting. Sungguh. Tiba di tempat itu, aku menghirup udara segar, cuacanya cukup sejuk dengan angin sepoi yang bertiup. Hanya satu pohon rindang di tempat ini. Sisanya adalah nisan yang akan mengingatkanmu akan kematian. “Sudah lama sekali ya Lex,” aku mengelus nisan dihadapanku. “Maafkan aku karena menghancurkan segalanya. Maafkan aku karena tidak bisa jujur kalau aku ada disana bersamamu hari itu. Maafkan aku juga karena tidak bisa menjaga Andi untukmu,” aku merasakan air mata yang jatuh begitu saja tanpa kusadari. Dan kejadian tiga tahun yang lalu terlintas lagi dalam pikiranku. Antara takdir dan penyesalan. Alex ditakdirkan meninggal hari itu, tetapi mengingatnya lagi… kalau saja aku tidak membawanya ikut dan mengikuti apa yang Andi katakan. Ini pasti tidak akan terjadi. Handphone-ku bergetar. Sebuah pesan dari Sakura. ‘Hari ini Bu Siska tidak masuk karena sakit. Sekarang aku ada di rooftop. Rasanya sepi Dev, tidak ada kamu hahaha…’ Aku tersenyum. Ternyata dia sering rindu denganku. Hanya saja, dia tidak pernah mengakuinya. ‘Hati-hati turunnya. Pegang tongkatmu erat.’ Balasku. * AUTHOR POV : Seseorang berdiri di bawah pohon rindang, mengamati seorang laki-laki nun jauh disana. Andi, dia saat ini mengenakan masker dan juga jaket hitam mengamati Devan dari kejauhan. Berbeda dengan Devan yang bolos ke rooftop. Andi lain lagi, dia akan pergi ke makam Alex setiap ada jam pelajaran yang kosong. Hanya jam pelajaran yang kosong. Tetapi, Devan ada disana, bagaimana mungkin Andi bisa menunggu hingga jam Biologi berakhir. Laki-laki itu beranjak dari tempatnya tetapi langkahnya tiba-tiba terhenti ketika sadar bahwa Devan melihatnya dari kejauhan. Tidak ada pilihan lain, Andi merasa bahwa Devan mengetahuinya. “Apa yang membawamu kemari?” tanya Devan. Setelah menyadari keberaadaan Andi yang membuang seikat bunga tepat di makam Alex. Andi menatap nisan dihadapannya lamat-lamat. “Aku yang harusnya bertanya begitu. Bukankah kamu sibuk dengan jadwalmu?” “Ya, aku sibuk akhir-akhir ini. Tetapi, tiba-tiba saja Alex menghampiri pikiranku.” “Begitu rupanya. Jangan terlalu lama, kalau kepanasan wajahmu bisa menghitam. Bukankah itu modal utamamu?” “Cih, ternyata kamu tidak pernah berubah,” pekik Devan. Selang beberapa terjadi keheningan, Andi akhirnya memutuskan meninggalkan pemakaman itu. “Mau kemana?” “Pulang.” “Secepat itu?” “Aku tidak punya waktu lama. Apa aku terlihat sepertimu? Kalau aku tidak belajar aku akan jadi gelandangan di masa tua, wajahku pas-pasan. Pikirkanlah!” Andi meninggalkan tempat, menyisakan Devan yang terus menggerutu. “Dasar b******k itu, dia besikap sok cool lagi.” Tetapi dibalik itu, Devan sedikit merasa bahagia karena hubungannya dan Andi kini tidak seburuk yang dibayangkannya. Akankah mereka kembali seperti dulu? Itulah hal yang diinginkan keduanya namun sulit untuk mereka lakukan. Semuanya terjebak dalam sikap egois yang merasa berada dalam kebenaran. Saat ini Andi berlari-lari kecil diantara dua sisi bangunan tinggi. Lima menit lagi pergantian pelajaran tiba dan dia harus berada di kelas sebelum semua orang bertanya kepadanya. Namun, sejujurnya tidak ada yang peduli. Sekolah itu adalah sekolah yang dibumbui dengan sikap liberal yang membuat tak ada orang yang mencampuri urusan orang lain secara pribadi. Terkecuali satu hal, Devan. Semua orang ingin tahu kehidupan pribadi laki-laki itu seperti apa. Termasuk siapa yang selama ini didekatinya dan Sakura menjadi salah satu sasaran dimana hampir semua perempuan membencinya karena satu alasan klasik. Iri. Bahkan, saat ini sekelompok orang merencanakan hal buruk kepadanya di perpustakaan saat jam istirahat. “Bukankah ini berlebihan. Dia selalu dekat dengan Devan. Apa dia tidak pernah merasa bersalah?” ujar perempuan dengan rambut hitam pekat disertai bangs. Kemudian perempuan lain di sekitarnya mengangguk hampir bersamaan. “Haruskah kita melakukan sesuatu kepadanya? Dia menggunakan tongkat sekarang. Kalau sudah sembuh dia bisa melawan nanti,” tanya perempuan yang duduk tepat di sebelah perempuan ber-bangs tadi. Sesaat setelah itu, mereka menjalankan aksinya. Mengambil tongkat Sakura lalu menarik bukunya dengan beringas. Membuat Sakura tersentak. “Apa ada sesuatu?” tanya Sakura. “Sesuatu? Berhentilah mengada-ngada. Kamu tidak bisa membaca pesan yang kami kirimkan kepadamu. Apa kau buta…. HAH?” “Pesan apa?” “Pesan tentang Devan. Jangan bersikap sok akrab dengannya.” “Sok akrab?” Sakura berusaha berdiri dengan menjadikan meja sebagai tumpuan. “Kalian tahu kesalahan kalian? Berhentilah mencampuri urusan orang lain. Kami dekat bahkan sebelum Devan terkenal. Jaga sikap kalian atau kupanggil penjaga perpus.” “Cih, lihatlah perempuan ini. Kamu tidak lebih dari seorang wanita panggilan bukan? Kamu putus dengan Bram karena tahu bahwa Devan lebih baik,” ujar perempuan dengan rambut berwarna kecokelatan sambil mendorong Sakura dengan jari telunjuknya. “HENTIKAN!” Semua Orang berbalik. Seorang perempuan yang kini memegang Novel The Fault in Our Stars-Jhon Green perlahan mulai mendekat. “Hentikanlah, atau aku akan menghabisi kalian semua.” “Hei siapa ka—“ belum sempat perempuan berambut cokelat itu menghabiskan perkataannya, perempuan dengan bangs menahannya untuk terus berbicara. “Dia Carolina, jangan macam-macam dengannya.” bisik perempuan dengan bangs kepada perempuan berambut cokelat. “Mohon maaf, kami tidak bermaksud apa-apa.” Seketika perpustakaan langsung damai seperti seharusnya. Semua perempuan di sekolah itu segan kepada Carolina. Mereka tahu bahwa Carolina adalah perempuan yang cukup berontak. Dia bahkan mengalahkan siswi kelas tiga saat dia masih kelas satu. Banyak orang yang tidak dapat melupakan momen itu. Terlebih, mereka tahu bahwa orang tua Carolina sangat-sangat mapan untuk menyewa pengacara bila Carolina berada dalam masalah. Apalagi, anak itu selalu membela dirinya di saat dia merasa dia benar. “Terimakasih Carolina,” gumam Sakura. Dia bersyukur Carolina datang di saat yang tepat. “Sama-sama. Kalau ada yang mengganggumu lagi segera hubungi aku.” Carolina tersenyum simpul. “Apa kamu memang sering ke perpustakaan?” Sakura menggeleng. “Tidak. Aku sedang mencari buku Olimpiade Kimia Praktis tahun lalu.” Dahi Carolina mengernyit. “Bukannya kamu ikut olimpiade Fisika Ra?” “Ini bukan untukku tetapi untuk Devan,” ujar Sakura. “Oh iya, kebetulan kamu ada disini. Bisakah kamu membantuku untuk mencarinya? Devan pasti akan belajar dengan sungguh- sungguh kalau bukunya berasal darimu Carolina.” Carolina mengusap lehernya. Dia tersenyum kikuk. “Begitu ya. Aku tidak pernah tahu persoalan buku pelajaran. Aku hanya suka membaca novel romance Ra.” Bibir Sakura yang tadinya melengkung kini berubah datar. “Sebenarnya ada yang ingin kusampaikan…. Aku ingin meminta maaf kalau saja—“ “Cukup Ra, aku akan membantumu mencari bukunya. Buku Olimpiade Kimia bukan? Tunggu dulu, mengapa Devan membiarkanmu jalan sendiri sekarang. Bukannya dia harus menjagamu, aku akan memukulunya nanti. Tenang saja Ra.” Karena Carolina yang langsung memotong pembicaraan membuat Sakura batal mengungkapkan suatu hal yang teramat ingin dia sampaikan sedari dulu. Dia ingin Carolina mengerti bahwa diantara dia dan Devan tidak ada hubungan yang spesial seperti yang orang-orang katakan. Tetapi, meski Sakura tidak menyampaikannya Carolina lebih dulu mengerti karena Devan. Devan yang memberitahukan apa yang sebenarnya Sakura alami kepada Carolina saat Devan dan Sakura nonton bioskop bersama tempo hari. * Devan berusaha tersenyum kepada semua orang. Perjalanan dari bangunan tempat pemotretan ke mobil terasa cukup jauh karena kerumunan penggemar dan wartawan. Sebanyak inikah? pikir Devan. Dia betul-betul tidak menyangka jika dirinya setenar ini. tetapi melihat apa yang ada diahadapannya sekarang, dia tidak bisa berbohong bahwa apa yang Sakura katakan tentang dirinya yang begitu terkenal adalah sebuah kebohongan. “Apa anda menerima tawaran aktor itu?” tanya salah satu wartawan dari stasiun STV. Devan berbalik menatap manajernya, memberikan isyarat apakah dia boleh menjawab semua pertanyaan yang dilontarkan wartawan. Manajernya balas dengan mengedipkan kedua mata pertanda ‘Ya’ “Kita lihat saja perkembangannya.” “Anda memenangkan vote untuk pemilihan aktor itu untuk sementara. Bagaimana perasaan anda dan kalau saja vote itu ditutup dan anda menang. Apakah anda siap menjadi actor mengikuti orang tua anda?” tanya wartawan dari satsiun TV R Devan tersenyum. “Kalau aku menang aku akan menjalankannya. Tetapi, sebelum itu aku akan meminta ijin dulu kepada papa dan mama tentang ini, karena aku masih pendatang baru di dunia hiburan. Selain itu, karena melihat penggemar yang tampak nyata dihadapanku membuatku ingin mengatakan terima kasih kepada kalian semua, aku akan membalas cinta kalian dengan kerja keras.” Devan melangkah. Dalam hati dia menggerutu dan menghitung jejak langkah kakinya, berapa langkah lagi hingga dia bisa tiba di mobil. “Selain itu, tersebar rumor bahwa anda sedang berkencan dengan teman sekelas anda. Benarkah itu?” Devan sadar akan pertanyaan itu, tetapi dia tidak mengindahkannya. Dia lebih memilih mempercepat langkahnya. Hingga pintu mobil tertutup dan dia bisa menghembuskan napasnya dengan lega. “Apa-apaan itu? Apa mereka juga harus mengetahui privasiku. Dasar gila, mereka semua terlihat gila,” celetuh Devan. Manajer yang duduk di sebelahnya tersenyum. “Jangan salahkan wartawan itu, dia hanya mengikuti tuntutan hidup juga dengan bekerja. Semakin beritanya menarik perhatian masyarakat semakin dia akan dianggap hebat oleh pimpinannya, mendapatkan kenaikan gaji. Begitulah hidup.” Pernyataan manajernya membuat Devan perlahan mengerti. “Bukankah anda yang salah disini?” tambah manajernya. “Ha, aku?” tanya Devan sambil menunjuk dirinya sendiri. “Ya, anda terlalu tampan membuat semua orang ingin memiliki anda. Jadi mereka iri.” Devan memutar bola mata. “Pernyataan macam apa itu.” Di tengah jalan, Devan melihat seorang anak yang tengah menjual bunga. Devan dengan sigap menyuruh manajernya untuk membeli bunga itu setelah ide brilliant terlintas di benaknya. “Pasti Sakura menyukainya,” katanya spontan membuat manajernya tersenyum Devan menatap keluar jendela. Berharap waktu berputar kembali saat Sakura dan dia pertama kali bertemu. Agar waktunya dan Sakura lebih banyak lagi. * Sakura tersenyum ketika melihat sosok tinggi jangkung mengenakan masker dan topi berwarna hitam duduk dihadapannya. “Lepaskan maskermu Dev.” “Kenapa?” “Kamu membawaku makan ramen dan memesan ruangan VIP tetapi mengapa kamu masih menggunakan masker?” Mereka saat ini memang ada di restoran Jepang di tengah kota. Spotlight diluar jendela adalah pemandangan kota yang dipenuhi cahaya lampu. Sakura mengambil buku Olimpiade dari dalam tasnya dan memberikannya kepada Devan. Secara bersamaan, Devan memberikan bunga kepada Sakura. “Apa ini?” tanya Sakura. “Dijalan aku melihat ada anak-anak yang menjual ini. Ambillah!” Devan memberikan bunga yang tadi dibelinya. Sakura menerima bunga itu dengan senyum hangat. “Terima kasih Dev.” “Sama-sama, ngomong-ngomong bagaimana dengan kakimu.” “Entahlah, tidak menunjukkan tanda ingin sembuh sama sekali.” “Tenang saja, kakimu hanya butuh istirahat.” Sakura mengangguk. “Dan kamu, bagaimana dengan pemotretanmu?” “Berjalan lancar. Hanya saja ada sesuatu yang mengganjal di pikiranku,” gumam Devan. Sakura mengangkat kedua alisnya karena bingung. Devan bergeming. “Bukankah aku membohongi mereka semua Ra. Aku tersenyum kepada mereka dan membuat diriku terlihat sempurna. Tetapi di belakang aku mengumpat mereka. Aku terlihat seperti memakai dua topeng dalam waktu yang berbeda. Bagaimana menurutmu?” Sakura mengetuk meja dengan jarinya. Berusaha memberi jawaban yang tepat. “Tidak masalah Dev. Mereka pun juga begitu, hampir semua orang di bumi ini sekarang begitu, aku, kamu. Orang menggunakan topeng untuk menyembunyikan kebenaran. Orang saling menipu bukan?” Devan menelan ludah. Menatap perempuan dihadapnnya penuh makna.
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN