DAY 14

1747 Kata
SAKURA POV : Mataku menatap nanar ke arah perempuan yang tengah menyiram tanaman di sudut ruangan. Seperti mimpi, perempuan yang kuidolakan sedari dulu kini berdiri tepat di depan mataku. Ya, Shira Audit, dia betul-betul ada dihadapanku sekarang. Aku tidak perlu mencubit diriku untuk membuktikan bahwa apa yang dihadapanku adalah sebuah kenyataaan. Aku seperti hidup di lorong waktu, menentukan arahku sendiri, menentukan tokoh-tokoh ajaib yang ingin kutemui. Miracle. “Sudah bangun Nak Sakura?” Sebuah suara yang tak asing terdengar membuatku berbalik. Seorang perempuan paruh baya duduk di kursi. Bibi Miah. “Sudah bangun rupanya,” tambah Shira yang baru menyadari aku sudah terbangun. “Devan meneleponku tadi, katanya sebelum kamu terbangun semua tanaman di ruangan ini harus sudah disiram. Berarti misiku gagal karena kamu sudah bangun.” “Tenang saja… Hmm… Tante, aku akan memberitahu Devan kalau aku lebih suka melihat anda menyiram tanaman. Pemandangan yang indah.” “Hahaha… benarkah? Oh iya, mulai saat ini panggil aku mama. Seperti yang Devan lakukan.” Aku mengangguk lalu tersenyum kikuk setelahnya. “Kapan bibi datang?” “Kemarin malam. Saat urusan rumah selesai dan Nak Sakura sudah tertidur,” gumam bibi Miah. “Oh iya, bibi lupa…” perempuan itu lalu pergi merogoh sesuatu dari dalam tas yang berukuran cukup besar. Dia mengambil kotak bekal makanan lalu membukanya. Isinya sandwich dan juga beberapa potong buah stroberi. “Makanlah!” “Terimakasih Bi…” aku mengambil sepotong sandwich. “Oh iya, bibi tahu stroberi adalah buah-buahan kesukaanku.” “Ya, tentu bibi tahu, Nak Devan yang menyuruh bibi menyiapkan ini.” Sosok Devan terlintas dipikiranku membuatku tersenyum. Laki-laki b******k itu hahaha.. Sebenarnya, jika dipikir-pikir lagi, suasana ini masih canggung bagiku. Belum sebulan aku dan Devan dekat, namun semuanya berlalu begitu saja dan entah mengapa membuatku nyaman. Shira Audit, bibi Miah juga Devan. Tokoh baru yang kubutuhkan namun tak pernah kusangka suatu saat akan benar keberadaannya. * Devan menyapa penggemarnya. Fanmeetingnya hari dihadiri dua ratus orang lebih. Semua tiket masuk terjual habis, bahkan banyak orang yang mengeluh meminta tiketnya ditambah. “Apa setelah acara fanmeeting ini kamu naik mobil lagi?” tanya perempuan yang kini bersikap sok manis dihadapan Devan. “Ya, apa ada yang salah?” “Ya tentu saja salah, bukankah kamu adalah pangeran yang harusnya menunggangi kuda putih?” Mendengar itu, Devan langsung tertawa kikuk. Batinnya ingin memberontak bahwa dia merasa geli dengan orang-orang yang terus memujinya karena visual. Setelah itu, Devan merehatkan badannya sejenak, menunggu Fan berikutnya. Hari ini adalah hari yang cukup melelahkan bagi laki-laki yang kini menguap itu. Namun, menemui Sakura setelah fanmeeting selesai adalah cara terbaik untuk menghilangkan penat, melihat senyum Sakura saja sudah membuat Devan mendapatkan energinya kembali. Devan memperbaiki posisinya kembali setelah perempuan dengan jilbab putih duduk dihadapannya. Devan tersenyum lalu mengangkat kedua tangannya tepat di depan wajah. Dia berniat melakukan hi-touch namun, perempuan itu menolak. Devan baru menyadari kalau dia sepatutnya tidak menyentuh perempuan baik-baik sembarangan. Dia harus menghormatinya. Sesaat Devan mengingat bahwa hidup di dunia hanyalah sementara. "Apa ada yang bisa kubantu?" tanya Devan, dia mengecilkan volume suaranya. Perempuan dihadapannya memberikan sebuah kotak berwarna putih. Dia terlihat malu, dan hanya terus menunduk. "Terimalah ini kak Dev." Devan tersenyum. "Apa ini boleh kubuka sekarang?" Perempuan itu menggeleng hebat. "Nanti saja, setelah tiba di rumah." Lalu pergi meninggalkan tempat membuat Devan mengangkat kedua bahu. Tingkahnya membuat Devan gemas. Sesuatu terlintas di pikiran Devan. Sudah dua minggu dia dan Sakura dekat. Devan ingin perempuan malang itu harus selalu tersenyum. Sebelum waktunya berakhir. * Sakura tiggal di kamar mandi cukup lama. Dia saat ini tengah bercermin, namun bukan fokus pada wajah dia fokus pada rambutnya yang perlahan mulai rontok. Baru saja dia sadari setelah membilasnya di westafel. Sakura terlihat murung melihat wajahnya sendiri. Namun, setelah dia keluar senyumnya kembali muncul lagi setelah melihat Devan yang berdiri menunggunya keluar. “Apa yang kau lakukan Dev? Kamu berdiri di depan—“ “Apa lagi kalau bukan melihatmu Ra.” Sakura memukul bahu Devan. “Dasar mesum.” Devan tiba-tiba salah tingkah. “Oh… Bukan itu Ra, maksudku ingin langsung melihatmu setelah keluar. Bukan—" “Hahaha… aku mengerti Dev,” ujar Sakura setelah duduk di pembaringannya. “Oh iya mana mama Shira?” “Mama? Dia keluar tadi bersama bibi. Katanya ada urusan.” Sakura mengangguk. Tetapi sesuatu menarik perhatiannya, sebuah kotak yang dipegang Devan. Devan yang menyadari kemana tatapan Sakura langsung memberi respon. “Ini untukmu Ra.” Dia menaruh kotak itu tepat di pangkuan Sakura. “Untuk apa kotak ini Dev?” “Untuk perayaan kita yang kedua minggu Ra.” “Dua minggu? Hahaha…” Sakura tertawa lepas. “Apa ada yang lucu?” Sakura menggeleng, dia menyeka air di sudut matanya. “Biasanya orang melakukan ini setahun atau paling tidak sebulan.” “Kupikir ini penting. Tidak ada salahnya memberikanmu hadiah. Ini juga dari hasil usahaku sendiri Ra. Ayolah cepat buka… sebelum aku merajuk.” Sakura melemparkan tatapan yang membuat Devan bertambah kesal. “Baiklah…” kata Sakura pasrah. Setelah itu suasana hening sesaat setelah Sakura melihat isi di dalam kotak berwarna kuning di pangkuannya. Sakura perlahan mengeluarkan benda dari kotak itu. Jilbab, sekitar lima pasang. “Bagaimana Ra?” tanya Devan. Melihat respon Sakura, laki-laki itu hanya bisa menggigit jarinya khawatir. Sakura tersenyum. “Terima kasih Dev. Kupikir ini hadiah yang tidak pernah kutemui sebelumnya.” Air mata haru tiba-tiba jatuh membasahi hadiah yang Devan berikan. “Ada apa Ra? Jangan menangis.” Devan berdiri dari tempatnya, jantungnya berdebar hebat. “Kalau kamu tidak bisa memakainya sekarang kamu bisa memakainya lain waktu. Tak masalah.” “Bukan begitu Dev, seharusnya aku menyadari tentang ini lebih awal. Aku terlalu menikmati hidup sampai lupa perintah Tuhan.” Sebenarnya tujuan utama Devan memberikan hadiah itu kepada Sakura adalah untuk menutupi rambut Sakura yang perlahan mulai rontok. Tetapi, perintah Tuhanlah yang harusnya diprioritaskan. Sakura benar. Tanda-tanda Sakura mulai muncul satu persatu membuat waktu berjalan cepat menandakan bahwa suatu saat tidak ada lagi alasan bagi mereka berdua untuk menyembunyikan apa yang sebenarnya terjadi. Baik itu Devan maupun Sakura meeka sudah tahu apa yang sebearnya terjadi. Namun tidak ada diantara mereka yang ingin jujur. Mereka berusaha menutup-nutupinya dan itulah salah satu alasan mengapa Sakura nyaman dengan Devan. Sakura berpikir kalau saja Arabelle tahu mungkin dia akan membahas tentang leukemia itu setiap saat. Dibalik itu, sepasang suami istri sedang berkelahi. Percekcokan antara Lucas dan Shira ternyata belum berakhir. Tetapi, kali ini bukan membahas tentang hubungan mereka. Tetapi Devan, anak mereka satu-satunya. “Bagaimana bisa kamu membuat Devan terus-terusan bersama dengan perempuan itu?” ujar Lucas, saat ini tangannya berada di pinggang lalu dia berjalan bolak-balik karena cemas. “Perempuan itu? Bukankah sudah kukatakan dia yang menolong Devan.” “Aku paham, tetapi tolonglah mengerti. Sudah banyak wartawan yang mendapati mereka jalan bersama…. dan satu hal lagi, kamu ingin pertunangan Carolina dan Devan dibatalkan?” Ya benar, Carolina dan Devan memutuskan bertunangan. Hubungan mereka tidak hanya didasari rasa cinta juga bukan hanya tentang dua orang anak muda yang akan menikah. Tetapi dibaliknya, ada dua perusaahan yang akan bekerja sama, akan ada uang yang mengalir, akan ada kekuasaan, pengakuan. Ini tidak semudah yang orang-orang pikirkan. “Tidak, pertunangan itu tidak akan pernah mungkin dibatalkan. Devan mencintai Carolina.” “Lantas?” “Kamu tahu bahwa perempuan yang Devan temani itu terkena leukemia? Kamu tahu apa artinya itu?” Shira kini menatap suaminya tajam. Lucas berusaha mengatur napasnya. Dia agaknya mulai mengerti apa yang terjadi sekarang. “Apa dia akan mati?” “Pikirkanlah!” Shira meninggalkan tempat. Perjalanannya kembali ke mobil menyisakan air mata yang jatuh ke lantai. Lucas menghembuskan napas lega. Namun, dalam hati kecilnya yang paling dalam dia turut iba. Manusia bisa berbohong kepada orang lain tetapi tidak kepada diri sendiri. “Tunggu!” Teriak Lucas lalu menarik tangan Shira. “Aku ikut ke rumah sakit.” “Baiklah,” jawab Shira sembari menyeka air matanya. “Apa dia betul-betul akan mati?” tanya Lucas lagi sembari melihat pemandangan diluar kaca mobil. “Bisakah kamu berhenti membahasnya? Yang ada di pikiranmu hanya lah masa depan Devan, Devan dan Devan. Kamu tahu anak itu sudah tumbuh dengan rasa benci?” Lucas tersenyum lalu meraih tangan Shira. Tetapi, perempuan di sebelahnya malah menepisnya. “Kamu pasti berpikir aku adalah orang paling jahat di dunia. Masih sama, masih sama sepeti dulu.” “Ya tentu saja, kamu hanya memikirkan uang bahkan mencelakakan segalanya demi kekuasaan. Aku ingat itu, meski sudah dua puluh tahun berlalu.” “Kamu tahu kenapa? Karena kamu tidak pernah betul-betul mencintaiku Shira. Kamu pun masih sama. Karirmu yang nomor satu, bahkan kamu tidak menerima kenyataan bahwa Devan terlahir. Kalau bukan karenaku kamu sudah mengaborsinya bukan?” Shira diam membeku. Apa yang dikatakan Lucas benar, namun bagi beberapa orang itu tidak masalah. Umur Shira masih muda saat itu, dia masih dalam tahap pencarian jati diri. Delapan belas tahun dan kamu positif hamil? Beberapa orang akan memilih mengakhiri bayinya seperti Shira atau mengakhiri hidupnya. Tiba di rumah sakit, Shira langsung memeluk Sakura. “Bagaimana keadaanmu Ra?” “Sudah lebih baik Ma.” “Baguslah, mulai hari ini Devan akan fokus menjagamu di rumah sakit. Karena aku dan papanya akan pergi ke Jerman besok, kami ada acara penting.” Sakura yang menyadari kehadiran Lucas langsung menunduk tanda hormat kepada laki- laki yang sedari tadi menatapnya. “Sudahlah, jangan lakukan itu lagi,” ujar Lucas membuat Sakura mengembalikan posisi tubuhnya. “Jaga kesehatanmu baik-baik.” “Terimakasih,” balas Sakura canggung. “Oh iya, waktu kami tidak banyak. Sejam lagi kami harus take off.” Shira melihat jam tangannya. “Ingat Ra, jaga dirimu baik-baik. Jangan lupa makan. Dan Devan, kalau bisa kamu harus menyuapinya.” “Siap Ma.” Dalam perjalan mengantar orang tuanya keluar. Devan dan Lucas berbincang. Kebetulan Shira dengan sengaja membuat dirinya jalan lebih dulu di depan meninggalkan suami dan anaknya di belakang. Ini akan menjadi momen yang manis antara ayah dan anak. “Ada apa Pa?” “Tidak ada apa-apa, hanya saja jaga dirimu baik-baik dari para wartawan. Juga perempuan itu, buat dia bahagia sampai akhir.” Devan mengangguk sekaligus kebingungan. “Apa terjadi sesuatu?” “Tidak, hanya saja, mamamu yang menginginkannya. Dia perempuan yang berarti buat papa. Jadi kamu juga harus tahu akan melakukan apa untuk perempuan itu, siapa namanya? Oh iya, Sakura.” Devan mengangguk. Dia mengerti apa yang ayahnya katakan. Setelah itu lambaian tangannya menandakan bahwa kedua orang tuanya perlahan mulai menghilang di sudut jalan. Devan merasa bahwa Sakura juga membawa keberuntungan bagi keharmonisan keluarganya.
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN