32 - Bertemu Kembali

1251 Kata
Bel pulang sekolah berbunyi, membuat Renat reflek menghela napas. Selepas beristirahat di ruang UKS, perempuan itu memang kembali ke kelas untuk mengikuti pelajaran terakhir. Setidaknya, Renat tidak lagi menghabiskan waktu dengan menyendiri di rooftop sekolah. Berada di kelas dan memperhatikan guru dengan ogah-ogahan memang sedikit lebih baik. Disamping itu, ujian akhir semester juga tidak lama lagi. Dimasukkannya berbagai benda ke dalam tas. Buku catatannya terbuka, membuat Renat dapat menangkap berbagai coretan yang ia ciptakan selama pelajaran. Renat menarik ransel ringannya itu, membawa dengan tangan sebelum akhirnya ia letakkan di pundak kanan. Dengan langkah lumayan cepat, meninggalkan kelas. Ketika tiba di dekat parkiran, Renat dapat melihat Abi yang sedang sibuk bercengkrama bersama Victor. Perempuan itu menggeleng pelan, melanjutkan langkahnya. Ah, dadanya sesak tiba-tiba sebab membayangkan seorang perempuan asing duduk di belakang Abi. Renat berhenti di pinggir jalan berniat menunggu angkutan umum yang lewat. Kakinya dihentakkan beberapa kali ke aspal sebab rasa panas. Tangannya juga sibuk mengacak rambut. Berada lama di ruang dingin karena air conditioner dan tiba-tiba keluar lalu merasakan panas, amat sangat tidak nyaman. Bertepatan dengan angkutan umum yang datang, seorang lelaki pengguna motor ninja warna hitam juga lewat. Renat terpaku untuk sesaat sambil memberikan sepenuh perhatiannya pada lelaki itu. Bertanya-tanya dalam hati apakah wujudnya juga dilihat. Tapi sepertinya tidak, jika ditebak dari motornya yang melaju cepat di jalanan. "Naik kagak, Neng?" Renat tersentak, dia buru-buru mengangguk pada sopir angkutan umum tersebut. Memilih duduk di kursi dekat pintu, menghela napas panjang. Renat sadar, ia tidak seharusnya diperbudak oleh perasaan semacam ini. Perempuan itu melirik pada padatnya jalan dari pintu angkutan umum. Renat butuh suatu perubahan, sesuatu yang dapat menjadi perisainya agar tidak dianggap lemah. Dia mengambil ponsel dari saku, dengan cepat mencari kontak sang mama. Renat meringis melihat nama yang dibuatnya untuk sang mama. Renat buru-buru menekan lambang edit, mengganti bagian nama. Menjadi mama. To: Mama. Ma, Re minta uang ya. Re mau belanja banyak. Rekomin Re butik bagus, Ma. Lagi nggak mau ke mall. Oh iya, kunci mobil Mama letakin dimana? Renat mengirim pesan tersebut, walaupun sedikit awkward tapi Renat sudah melakukannya. Ya, setidaknya mulai sekarang dia butuh kendaraan. Terlebih mengenai alamat yang diberikan kepadanya waktu itu. Renat harus mencarinya sendiri. Tidak lama, ponselnya kembali bergetar. Balasan dari mamanya masuk. From: Mama. Re? Gini, mama lagi di luar kota. Jadi nggak bisa nemenin kamu dulu padahal mama mau banget. Uangnya bakalan mama transfer sekarang. Oh, iya, butiknya nanti mama kasih locationnya ke kamu. Yang punya butiknya temen mama, jadi kalau kamu bingung tanya sama temen mama itu. Kenalin diri kamu baik-baik. Kunci mobil coba kamu liat di lemari deket TV. Mama sayang kamu, Re. Renat terdiam cukup lama setelah menerima dan membaca pesan tersebut. Dia memang salah selama ini. Salah terhadap sesuatu yang besar. Tapi semua sikap buruk mamanya dulu memang kerap membuat Renat berpikir bahwa mamanya bukanlah orang baik. Dan sepertinya, Renat butuh berbicara serius pada mamanya. • r e t u r n • Boutique de Espérer. Renat menatap nama butik yang tadi dikirimkan oleh mamanya dari dalam mobil. Sudah lama dia tidak membawa mobil ini. Padahal, ketika kelas sepuluh, dia selalu mengendarai mobil kemanapun. Kecuali sekolah. Renat memang lebih memilih angkutan umum untuk meminimalisir keterlambatannya. Dengan kaus polos putih dan celana santai warna hitam, Renat memulai kegiatannya sore ini. Dia tidak berminat memakai pakaian sulit sebab punggungnya masih perih. Kaki yang ditemani sneakers hitam itu segera melangkah keluar mobil. Renat menghela napas, mencoba memulai hidupnya sebagai remaja baru yang akan terlihat lebih kuat. Dia mulai memasuki butik, dingin dan harumnya butik segera menyapa Renat. Suasana butik tersebut terkesan nyaman dan luas, diisi oleh beberapa pengunjung dan karyawati yang sibuk membantu. Renat menahan senyum, dia sudah lama tidak belanja. "Selamat datang, ada yang bisa dibantu?" Renat menatap seorang wanita berwajah cantik yang baru saja menyapanya dengan senyum. Blouse warna merah maroon dan jeans putih, dan lucunya memakai sandal jepit. "Eh, saya mau ketemu Tante Nadine," ujar Renat takut-takut. Wanita di depannya mengernyit, namun setelah itu tersenyum. "Ketemu saya?" "Eh, Tante?" "Iya, saya Nadine. Kamu?" Renat gelagapan, dia malu sebenarnya memperkenalkan diri. "Saya anaknya Gita Anindya, Tante. Mama suruh saya kesini, katanya Tante bisa bantu saya buat pilih-pilih baju." "Anaknya Gita? Eh, namanya siapa tante lupa." Nadine terlihat sangat kaget, sementara Renat mengangguk. "Yaudah, yuk, ikut tante ke ruangan tante dulu." "Panggil Re aja, Tante." Nadine mengangguk mengerti, dan Renat kemudian berjalan di belakang Nadine. Di kepala, ia hanya mendecak kagum terhadap wanita itu. Dia suka bagaimana Nadine membawa sikap. Renat sadar, bahwa Nadine tentu saja mengetahui perihal mamanya yang selama ini disebar oleh media. Tapi Nadine diam, sama sekali tidak memandangnya sebelah mata. Bahkan, Renat disuguhkan binar bahagia dari sepasang mata Nadine. Renat ikut masuk setelah Nadine membuka pintu. Namun, perempuan itu tersentak karena Nadine mulai mengomel. "Itu kakinya kenapa cantik banget, Dek?" Renat menoleh dan menemukan seorang remaja berbaju putih biru tengah duduk di kursi dorong milik Nadine, sedang kakinya naik ke meja. "Mama!!" Anak itu merengek, seperti tidak memperdulikan keberadaan Renat. "Judith kenapa?" Nadine bersuara, tapi tangannya mendorong pelan lengan Renat agar duduk terlebih dahulu di sofa. "Nggak apa-apa, ya, kalau tante ajak kamu duduk dulu? Udah lama nggak ketemu kamu soalnya." Renat mengernyit. Sudah lama tidak bertemu? Apa maksudnya? "Ini nih! Si Aa disuruh kesini lama banget." "Bukannya lagi perang sama Aa?" Nadine menanggapi sambil menyiapkan minuman. "Mama makanya dong, rajin-rajin buka i********:. Tuh, pacar barunya Aa masukin sesuatu ke insta story. Mereka lagi jalan bareng, Ma. Jadi Judith langsung suruh Aa kesini bawain MCD." "Ya ampun. Kasian Aanya lho." "Ih, biarin Judith laper!" Nadine tersenyum sambil meringis pada Renat, meletakkan segelas minuman di hadapan perempuan itu. "Diminum ya, maaf anak tante emang suka gitu." "Mama laper!" "Kan mama udah bilang delivery aja. Tadi waktu Mbak Nana nawarin nasi Padang ditolak." "Mama, nih!" Judith turun dari kursi, berjalan ke arah pintu. Dibukanya setengah pintu dan melongokkan kepala keluar. "Mbak Nana? Nasi Padang tadi masih ada nggak? Cacing Judith lagi DJ nih, minta makan." Judith berteriak, sementara Renat sejak tadi memperhatikan Judith. Renat geli sendiri, Judith tampak lucu. "Dibiarin aja, kamu minum dulu, Re." Nadine yang duduk di seberang Renat tersenyum. "Hm, tadi Tante bilang kalau kita udah lama nggak ketemu," ujar Renat, "sebelumnya kita pernah ketemu, Tante?" "Kan mama kamu dulu modelnya tante. Jadi kerja disini. Kamu sering diajak lho kesini, terus main bareng anak tante. Anak tante cowok, seumuran sama kamu." "Sama anak tante?" "Iya," jawab Nadine tersenyum. "Terus, mama kamu apa kabar? Tante udah lama lho nggak kontakan sama mama kamu." "Baik, kok, Tante." "Aa!" Renat dan Nadine sontak menoleh pada Judith yang kini membuka pintu ruangan lebar-lebar. Tangannya diletakkan di pinggang sambil memegang sebungkus nasi. "Kenapa bawa-bawa orang lain?" lanjut Judith. Renat fokus menatap ke pintu, sampai seorang lelaki dengan tangan memegang kantung plastik makanan cepat saji masuk bersama perempuan di sebelahnya. Renat membeku. Kepalanya berputar seraya berpikir. Mengaitkan segalanya. Abi dan Haruka. "Abis darimana, A?" Nadine bertanya, sehingga Abi sontak melihat ke arah Nadine. Bukan, bukan Nadine, tepatnya Renat. Lelaki itu juga ikut terdiam di tempatnya. "Ini nih, A, mama mau kenalin." Nadine menarik tangan Renat agar ikut bersamanya. Jantung Renat berdetak luar biasa. "Ini lho cewek yang ada di album foto itu. Yang Aa kepoin itu." Nadine bersuara semangat. "Nah, Re, ini Abi. Yang tante bilangin itu, anak tante yang sering jadi temen main kamu dari kecil." Renat membuang muka. Bukan karena malu terhadap dirinya. Tapi cara Nadine menyampaikan kalimat membuat Renat merasa tidak enak terhadap Haruka. Sebab Haruka, mengernyit bingung ke arah Renat sejak tadi. • r e t u r n •
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN