31- Luka Itu Membesar

1029 Kata
Silent tears hold the loudest pain. —Unknown. Sendiri. Satu kata yang sudah menjadi sahabat Renat sejak lama. Gadis itu mendorong bangku ayunan yang ia duduki ke belakang, lalu bangku itu bergerak, mengayun Renat maju mundur. Diisapnya pelan rokok yang berada di antara sela jari telunjuk dan jari tengah. Menikmati tiap sensasinya. Jantung Renat seakan diremas kuat, ketika ia mengetahui bahwa Abi tidak lagi seperti kemarin. Lelaki itu berubah. Dan Renat pikir, hal tersebut karena status laki-laki itu yang sudah berubah. Renat pikir Abi akan terus menyokongnya dari belakang. Renat pikir orang semacam Abi tidak akan pernah pergi walaupun Renat menolaknya terus-terusan. Tapi Renat salah, dia terlalu, sebut saja percaya diri. Sepulang sekolah tadi, Renat pikir Abi akan kembali memaksanya untuk pulang bersama. Tapi telinga Renat malah mendapatkan fakta pahit. "Gue mesti jemput Haruka," ujar Abi pada Victor sore itu. Dan Renat pikir, dia benar-benar sendiri sekarang. Dibiarkannya rokok menggantung di bibir, sedang ia mengangkat tangan kirinya yang bebas ke atas, membuatnya dapat melihat pergelangan tangan yang di dalamnya terletak nadi. Langit malam yang juga terlihat sendu membuat Renat kian terpuruk bersama dirinya. Hingga pikiran kotor untuk mengakhiri hidup menyapa kepalanya. "Renata!" Renat tersentak, menatap papanya yang tengah berdiri di ambang pintu belakang. Perempuan itu berdiri setelah membuang jauh rokoknya, sedang papanya berjalan mendekat dengan mata yang dihiasi binar emosi. Renat tidak tahu bahwa papanya akan pulang di jam setengah sembilan malam. Tangan Renat ditarik paksa, membuatnya tidak bisa melakukan perlawanan apapun. Ia reflek menggigit bibir, menahan sakit di tubuhnya. "Aw," rintih Renat ketika tubuhnya di dorong kasar ke lantai. "Udah dibilang jangan jadi sok jagoan! Dimana rokok yang lain?!" Papanya berteriak, sedang Renat sudah terisak di tempatnya. Ia memberikan gelengan sebagai jawaban, tidak ingin menyerahkan rokok yang lain pada papanya. "Kamu nantangin papa lagi?!" kata papanya penuh emosi. Renat menatap takut pada papanya yang kini mencampakkan jas ke sembarang arah. Lalu gadis itu bergerak, menyeret tubuhnya sendiri lebih jauh ketika dilihatnya sang papa sedang membuka ikat pinggang. Tidak, Renat tidak boleh kalah. Baru saja ingin berdiri, tubuh Renat seketika merinding ketika terdapat tangan yang menahan bahunya. Sang papa kembali mendorong Renat agar duduk. "Anak pembangkang kayak kamu cocoknya emang rasain hal kayak gini." Seketika, ikat pinggang itu melayang kasar di sekitar punggungnya yang hanya dilapisi kaus tipis. Rasa panas itu menjalar cepat, membuat tubuh Renat bergetar. Renat terisak keras, tapi papanya tidak peduli. Lagi-lagi, rasa panas itu menjalar di tubuhnya karena papanya kembali memukulnya. "Papa ingetin lagi sama kamu, Re, jangan pernah ngelawan papa! Jangan pernah nantangin papa! Kamu itu tinggal sama papa, dan kamu wajib ikutin semua perintah papa!" Renat menoleh dengan mata basah, dia berdiri pelan. "Papa nggak berhak kasih larangan buat aku! Penjahat kayak papa bahkan nggak pantes jadi ayah." Renat mendapat tamparan keras di pipi kirinya, papanya benar-benar berubah menyeramkan. "Siapa yang kamu bilang penjahat? Papa? Harusnya kamu sadar siapa yang udah ninggalin kita." "Kita? Awalnya yang aku tau emang mama yang pergi, Pa. Tapi lama-lama aku mikir, mama nggak mungkin pergi kalau dia nggak punya alasan." Pria di depan Renat kian emosi, Renat diminta duduk lagi. "Nggak usah bela-bela mama kamu. Dia yang udah ninggalin kita. Masih baik karna papa nerima dia di rumah kalau dia dateng disini." Setelah itu, pukulan dari ikat pinggang tersebut melayang lagi. Menyakiti Renat berkali-kali. Sakit, b******k. Renat mengumpat dalam hati. Kulitnya seperti akan lepas jika dipukul terus-terusan seperti ini. Setelah puas menyiksa Renat, papanya dengan kasar melempar ikat pinggang itu ke lantai. Renat terlonjak sedikit. Perlahan, karena tau papanya sudah berhenti, Renat kembali berdiri. "s**t," erangnya kesakitan. Tangannya dengan cepat mengusap wajah. Ditatapnya sang papa tepat di manik mata. "Saya harap darah Anda nggak ngalir di tubuh saya." Renat kesulitan bicara, tapi dia merasa harus. "Saya harap Anda itu sama sekali bukan ayah saya. Anda itu iblis. Anda yang bikin saya, tapi sekarang Anda yang ngerusak saya. Saya yakin tebakan saya nggak salah. Kalau Anda, udah duluan hancurin hidup mama saya sebelum Anda hancurin saya." "Siapa yang ajarin kamu ngomong kayak gitu?! Dikasih apa kamu semalem sama calon suami mama kamu?" "Oh," sahut Renat cepat, "Om Andra emang ngasih aku sesuatu. Dan kayaknya aku bakalan tau semuanya." Renat berbalik cepat, berjalan tertatih sambil menahan perih di tubuhnya. Dia benci papanya. Demi Tuhan, dia benci makhluk yang selama ini menyandang status sebagai ayahnya. Renat segera masuk kamar, lalu menuju kamar mandi. Dia terisak kesakitan di bagian sudut ruang tersebut. Mengemis pertolongan agar dapat terbebas. Renat bingung harus melakukan apa. "Ma," isaknya kesakitan. "Renat harus apa, Ma? Renat bingung kalau kayak gini. Mama pergi, papa berubah, terus Renat sama siapa?!" Renat memukul lantai kamar mandinya kasar, suaranya bahkan hilang. Sedang gelas berukuran berat dimana tempat sikat giginya berada ia lempar ke kaca. Pecah. Semuanya hancur. "Mama!!!" teriak Renat dengan d**a sesak. Renat menatap dengan mata merah semua pecahan kaca yang berserakan di lantai. Pelan, dia mengambil satu yang bagiannya paling tajam. Ditatapnya lengan kirinya. Haruskah? Haruskah dia melakukan hal bodoh semacam ini? Bayangan seseorang tiba-tiba masuk dalam kepalanya, menyapa pikirannya. Bayangan itu tersenyum. Dan seketika, dia melemparkan pecahan kaca itu hingga bertumbukan dengan dinding. "Kenapa lo harus dateng, sih?" Renat meracau sendirian, bertambah emosi pada pikirannya sendiri. "Sana lo jauh-jauh! Bareng pacar lo sana!" • r e t u r n • "Pulang sekolah senam lengan dulu, yuk." Victor, yang kini duduk di sebelah Abi berbicara cukup keras. Hingga Renat yang juga berada di kelas mendengarnya. Mereka hanya bertiga di kelas, sebab sedang jam istirahat. "Siapa lagi yang nantangin?" "Ada, anjir, nggak inget lu? Ini lho yang pernah nantangin kita waktu di lapangan itu." "Lupa," jawab Abi sambil sibuk dengan ponsel. "g****k banget anjir." "Gue nggak bisa kayaknya." "Sumpah lo jangan jawab nama Haruka." "Ya, emang dia. Ada acara gue sama dia. Kalau ketahuan abis barentem mati gue. Lagi nggak minat nanggung resiko." Abi berdiri, sempat menoleh sebentar ke arah meja Renat. Perempuan itu tampak menenggelamkan wajah di lengannya. Tidak ada yang tau, bahwa Renat tengah menahan pedih sebab pembicaraan dua laki-laki tersebut. "Anjing, putus aja, sih?!" teriak Victor ketika Abi keluar kelas, buru-buru diikutinya langkah Abi. Renat menarik napas panjang setelah mengangkat kepalanya. Dipijitnya pelipis yang terasa berat. Ah, dia ingin menghabiskan waktu di UKS. • r e t u r n •
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN