30 - Kepedulian Abu

1269 Kata
"Dimakan, Dek, nasinya," ujar Nadine lembut pada Judith. Abi yang duduk di sebelah Bia, juga tepat di depan Judith hanya diam sejak tadi. Sebenarnya tampak biasa saja, karena anak lelaki itu memang suka diam. Tapi malam ini, Abi merasa tidak enak pada Judith. "Judith kenapa?" Aldric bertanya dengan raut penasaran. Tapi adik bungsu Abi tersebut hanya mengedikkan bahu, lagi-lagi hanya meminum air putihnya. Bia pun hanya bisa melirik sambil menggigit bibirnya, takut-takut mulutnya bersuara. Sebab dia baru saja melihat foto yang di post oleh Haruka beberapa menit lalu. Bia menebak bahwa Judith sudah mengetahui perihal tersebut dan akan mengibarkan bendera permusuhan pada Abi. "Judith males makan," ujar Judith sambil menjauhkan piring warna hitam yang berisi nasi putih dan udang goreng tepung. Termasuk makanan enak, tapi remaja satu itu memang sedang tidak ingin makan. Abi kembali menyuapkan makanannya, jemarinya bermain di kepala bagian belakang sambil berpikir bagaimana cara membujuk Judith. "A pernah lho bilang nggak bakalan suka sama Teh Haruka." Bia akhirnya bersuara, tapi setelah itu ia buru-buru membekap mulut. Jujur saja, Bia hanya takut Abi mengabaikannya karena Haruka. "Benci sama tukang bohong!" Judith bicara ketus, hingga Nadine dan Aldric melihat bingung pada gadis lucu tersebut. "Kenapa, Dek?" tanya Nadine panik. "Sayang papa kenapa?" Aldric menyambung. "Nggak tau, tanya sama angin aja." Judith ngambek, menepis tangan Aldric yang hendak mencucuk pipinya. "Aa minta maaf," ujar Abi pada akhirnya. Aldric dan Nadine ganti menatap Abi, kebingungan. "Judith semarah itu sama Aa?" "Pada kenapa sih kalian?" Abi menatap Nadine sambil memberikan gelengan. Anak lelaki itu kini kian merasa bersalah. Harusnya Abi memikirkan dampak yang terjadi apabila dia memulai sebuah hubungan. Karena, rasa sayang Abi terhadap adik-adiknya tentu lebih besar. Tapi, baik Judith, Bia, lalu Haruka, tentu memiliki posisinya masing-masing. "Aa pacaran?" Papanya menembak pertanyaan, dan tepat. "Sama Haruka?!" Abi mengangguk, "Iya." "Udah gede ternyata." Aldric terkekeh di kursinya. Sedang ekspresi muka Judith makin tidak enak dilihat. "Papa! Sana deh, Judith nggak mau temenan sama Papa." Sementara Nadine terdiam di tempatnya. Mengetahui fakta bahwa Abi berpacaran entah kenapa membuatnya dilanda kebingungan. Abi mengarahkan wajahnya pada piring di depan. Menghela napas lelah. "Aa serius?" tanya Nadine kembali memastikan. "Ini anak mama pacaran? Wow." Nadine menyisir rambut tebalnya dengan jemari, mengangguk seorang diri. "Dith, kenapa seenggak suka itu sama Teh Haruka?" Abi mencoba bertanya, sedang Judith membuang muka. "Nggak tau, tanya sama rumput sana." "Dek, masa kayak gitu ngomong sama Aa." Nadine memperingati. "Yah terus gimana?" Judith berteriak lantang ke arah Nadine, mata anak itu berubah merah sebab menangis. "Pokoknya Judith nggak suka sama dia. Apalagi dia berani peluk-peluk Aa. Judith nggak suka." Abi diam, menghela napasnya lagi. Ditatapnya Aldric yang kini sedang menarik Judith agar mendekat. Dan tangis Judith pecah di pelukan Aldric. Judith digendong, dibujuk agar diam sambil keluar dari ruang makan. "Honestly, Bia juga nggak suka A pacaran. Maksudnya, kenapa harus Teh Haruka, deh? Sama yang lain kek gitu. Sama ini nih, Teh Renata!" Abi mengacak rambutnya karena stress, sedang Bia juga ikut-ikutan meninggalkan ruang makan. "Abi bingung, Ma." Abi menatap Nadine, mencoba mencari perlindungan. "Jalanin aja, ya kayak biasa. Pelan-pelan mungkin Judith terima walaupun kedengeran mustahil. Ya, mama nggak mungkinlah larang-larangin Aa buat deket sama siapapun. Selagi pacarannya sehat, mama nggak masalah." "Jadi Judith sama Bia nggak suka sama Haruka?" "Aa tau istilah cemburu, nggak?" Abi mengangguk, "Tau." "Bukan cuma Judith, A. Kalau dulu Aa liat, mama juga cemburu sama bundanya Haruka karna dia sering ngobrol sama papa pagi-pagi." Ya Tuhan, Abi pusing sendiri. "Ya, mama sih terserah. Kalau Aa mau jalin hubungan sama Haruka, mama nggak masalah. Ya asalkan jangan papa kamu aja yang macem-macem." Nadine memberikan tawanya, dan Abi sendiri tidak mengerti apakah kata-kata itu serius, atau mamanya hanya bercanda agar suasana lebih mencair. • r e t u r n • Bel rumah berbunyi, keluarga lucu tersebut tengah menghabiskan waktu dengan menonton acara televisi. Walaupun Abi memilih tempat agak jauh agar tidak menyulut emosi Judith. Nadine bangkit dari duduknya, berjalan ke ruang tamu untuk mencapai pintu utama. Diputarnya anak kunci dua kali, barulah menarik pintu agar terbuka. "Hai!" Terikan semangat langsung terdengar. Nadine sontak kaget dengan tamunya malam ini. "Ngapain nih pada disini?" Kiya, Sean, dan Erick. "Gue tadi di chat sama anak lo. Katanya mau nanya sesuatu." Erick menjawab sambil membenarkan letak kacamatanya. "Terus lo berdua?" Nadine bertanya lebih tegas pada pasangan di depannya, Sean dan Kiya. "Jadi tadi gue sama laki gue lagi makan, eh taunya satu resto sama Erick yang lagi ketemu sama kliennya. Nah pas pulang Erick bilang mau kesini, yaudah deh, ngikut kita hehe." Nadine tidak terlalu mendengar jawaban tersebut karena Abi yang tiba-tiba datang. "Hi, Aa ganteng!" sapa Kiya semangat. "Hi, Tan," balas Abi pelan dengan seulas senyum. "Eh, tapi tante kangen Judith sama Teteh, nih. Bosen di rumah yang diurus si bandel Noval sama Rizzy terus." "Masukin pesantren nggak jadi, Tan?" "Heh, enak aja! Mana kuat tante home alone." "Kan ada Om Sean." "Ogah." Sean reflek mencubit pipi Kiya, membuat suasana di depan rumah menjadi ramai. Barulah setelah itu mereka memilih masuk, dengan Kiya menuju ruang keluarga bersama Nadine. Erick, Sean, dan Abi tinggal di ruang tamu. Tidak lama, Aldric datang bergabung. "Udah pada makan?" tanya Aldric sambil mengangkat bantal sofa, ikut duduk di sebelah Sean. "Udah kenyang," jawab Sean langsung. "Terus? Ada urusan apaan?" "Nggak tau, Abi bilang mau nanya sesuatu ke gue." Erick menjawab, lalu ditatapnya Abi. "Jadi, mau nanyain apa, A?" Abi berpikir sesaat sebelum bersuara, matanya bergantian menatap tiga pria dewasa di depannya. Abi malu mempertanyakan hal ini. Tapi, anak lelaki itu sudah terlanjur penasaran. Dia memang bisa membaca lewat google, hanya saja, dia lebih ingin dijelaskan secara langsung. "Om lagi sibuk? Maksudnya, kalau aku minta bantuan sama Om gimana?" "Bantuan apa?" "Kalau orangtua cerai, hak asuh anak jatuh ke siapa?" Abi menggigit bibir bagian dalam dengan jantung berdetak keras. Pasalnya, dia takut dianggap aneh karena mempertanyakan hal tersebut. "Tergantung," jawab Erick. "Maksud Om?" "Bentar dulu, A lagi ngomongin siapa?" Aldric menyela, rasa penasaran pria satu itu berkobar sejak tadi. "Temen," sahut Abi pelan, tapi tersirat sedikit kegetaran di suaranya. "Dia tinggal bareng papanya, tapi Abi pikir dia nggak bahagia di rumah itu. Fisiknya disiksa. Kalau orangtuanya cerai, hak asuh bisa jatuh ke mamanya kan, Om?" "Perempuan, apa laki-laki?" "Perempuan." Abi menjawabnya teramat pelan. Dan reaksi ketiga pria yang duduk di seberangnya membuat Abi salah tingkah. "Wow," ungkap Sean sambil bertepuk tangan. "Gila anak gue," ujar Aldric geleng-geleng kepala. "Cowok beneran nih," sambung Erick menatap lurus pada Abi. "Lo pikir anak gue apaan?" Aldric menyemprot Erick. Sementara Abi kian dibuat pusing. Sekali saja, dia ingin serius berhadapan dengan papa dan paman-pamannya. Abi menghela napas, memberikan tatapan tidak bersahabat. "Ok-ok, serius." Erick bersuara, memperbaiki lagi letak kacamatanya. "Jadi, A mau cewek A ini-" "Dia temen," potong Abi cepat sehingga Aldric reflek terkekeh. "Yaudah, jadi A mau supaya temen A ini bisa tinggal bareng mamanya karna papanya ngelakuin kejahatan fisik ke dia. Terus A mau om jadi pengacara mamanya?" "Iya, Abi nggak ngerti masalah ginian. Tapi Om pastilah paham." Tepat setelah itu, Nadine datang dengan gelas-gelas berisi minuman. Abi dengan cepat mengambil gelas dan meneguk laju isinya. Ah, jantungnya serasa akan ditarik paksa dari tempatnya. Abi memang tidak mengetahui detail tentang keluarga Renat. Tapi setidaknya dia tahu bahwa kedua orangtua Renat memang belum berpisah. Jadi Abi masih memiliki kesempatan untuk membantu Renat. Abi tahu bahwa caranya terkesan ikut campur. Tapi Abi hanya ingin membantu, membantu dengan caranya sendiri. Membiarkan Renat tidak mengetahui apapun adalah cara supaya Abi tetap bisa melakukan semua ini. Tapi, apakah Abi tetap melakukan hal yang sama jika lelaki itu tau bahwa Renat akan pergi jauh bila hak asuh jatuh pada Gita? • r e t u r n •
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN