29 - The Bottle of Secrets

1656 Kata
Renat memakai dengan pelan baju lengan panjang warna merah maroon berbahan lembut yang entah kapan dikirimkan oleh mamanya. Bawahan rok hitam sepanjang lutut membuatnya makin manis. Tapi hal tersebut tidak menutupi pergelangan tangannya yang masih sangat perih, pipinya juga tidak jauh berbeda. Ketika tadi dia mandi, Renat benar-benar merasa ingin menguburkan dirinya sendiri. Rambutnya juga sudah mulai tumbuh panjang dari sebelumnya. Renat mencoba tersenyum di depan cermin, tapi lagi-lagi air matanya mengalir. Beruntung, pantulan maya disana tidak tertawa. Pantulan bayangannya juga ikut menangis bersamanya. Setidaknya, Renat memiliki teman ketika ia bercermin. Diambilnya tisu lagi, dengan pelan karena rasa perih, Renat menghapus air mata tersebut. Dia bisa, setidaknya untuk malam ini dia masih bisa bertahan. Renat balik badan, berjalan mengambil tas selempang warna hitam dan meletakkan talinya di pundak. "Lo bisa, lo nggak boleh kalah." Renat berbisik pada dirinya sendiri. Setelah mengambil ponsel dan headset, perempuan itu memilih meninggalkan kamar. Anak tangga yang Renat tapaki seperti ikut memberi semangat padanya. Ya, benda-benda mati di dalam rumah itu, bahkan rumah itu sendiri, seperti sudah menjadi saksi atas segala rasa sakit yang Renat pikul. Tapi sayang, bagaimanapun, rumah dan isinya tetaplah benda mati. Tidak akan bisa membantu Renat untuk mengemis perihal keadilan yang selama ini ia cari. "Udah siap, Re?" Renat mengangguk pelan pada mamanya yang bertanya. Dari sudut matanya, Renat dapat melihat sang papa yang tengah mengarahkan pandangan pada televisi. Mamanya tersenyum, senyum yang sama sekali tidak Renat suka, tetapi disukai oleh orang-orang yang selama ini meneriaki diri sebagai penggemar dari mamanya. Tanpa berpamitan pada sang papa, Renat berjalan lebih dulu. "Aw!" Perempuan itu tersentak, ketika merasakan mamanya meraih pergelengan tangannya. "Kamu kenapa?" tanya mamanya, tersirat kekhawatiran di suara itu. "Nggak. Bukan apa-apa." Renat lanjut berjalan, keluar rumah lebih dulu. Gadis itu meninggalkan mamanya yang tampak bingung, sedang papanya yang sibuk memijit pelipis. Kedua pasangan yang sebentar lagi resmi berpisah itu secara tiba-tiba dilanda perasaan bersalah. Gita menyusul Renat yang sudah lebih dulu masuk ke mobil. Renat diam, memasang headset di telinganya. Menyetel musik paling keras dan membiarkan telinganya dibelai. Disandarkannya tubuh pada punggung jok, mulai memejamkan mata. Renat menggerakkan jemarinya di atas paha. Mobil yang bergerak dapat dirasakan olehnya. Setelah sekian lama, akhirnya dia dapat duduk kembali di mobil ini. Mobil yang sejak lama sudah membawanya kemana-mana. Sejak kecil, Renat kerap mengikuti mamanya kemanapun—terlebih ketika pergi bekerja. Barulah, ketika Renat duduk di bangku TK, dia sadar bahwa dia mulai disembunyikan oleh sang mama. Renat merasakan headsetnya terlepas, dia membuka mata, menoleh pada mamanya. "Musik kamu kekencengan, kasihan telinganya." "Oh," balas Renat acuh tak acuh. Dengan satu telinga yang masih mendengarkan musik, Renat membuang pandangan ke jendela kaca. "Udah lama ya kita nggak jalan-jalan berdua, Re," kata sang mama sambil melihat pada Renat sesekali. Renat tertawa hambar, "Lucu, ya. Mama yang pergi, terus malah Mama yang ngeluhin hal kayak gitu." Sampah. Renat menyambungnya dalam hati. "Re, kamu nggak apa-apa, kan?" Renat sontak menoleh, menatap mamanya dan berusaha menyembunyikan semua luka. Toh, untuk apa dia berbagi luka pada orang yang menyebabkan luka utama di hidupnya? Teramat tidak berguna. "Udahlah, Ma, pikirin aja hidup mama. Aku juga bukan prioritas lagi, kan? Kejar apa yang mau Mama kejar, aku udah males mikirinnya. Hidupku juga udah hancur. Udah pecah." Tanpa Renat sadari, mata dari wanita yang selama ini ia panggil mama telah berubah merah. Sayang, Renat tidak tahu bahwa sang mama tengah membungkus sebuah rahasia besar bersamanya. Rahasia besar yang akan Gita simpan entah sampai kapan. "Papa nggak pernah aneh-aneh sama kamu kan, Re?" Renat terdiam, ia membeku untuk beberapa detik. Tangannya saling menggenggam. "Re, jawab mama!" "Nggak, papa baik kok sama aku." Renat berdusta, semata-mata hanya ingin mamanya tau bahwa ia akan tetap bahagia. Sejauh apapun mamanya melangkah, Renat tetap akan bisa tertawa. Walau sebenarnya Renat tau, akan sulit baginya menjalani semua itu. "Tangan kamu? Tangan kamu kenapa?" Suara mamanya kini bergetar, dan Renat sukses mengernyit dibuatnya. "Orang tadi aku jatoh, kepelintir dikit pergelangannya." "Kita ke rumah sakit, ya?" Renat diam. Dia merasa ada yang janggal. Entahlah, ini semua hanya membuatnya bingung. Atau memang kontak batin antara anak dan ibu memang hal yang benar adanya? Renat hanya berpikir, bahwa mamanya tengah menyembunyikan sesuatu. Dan sesuatu itu bukanlah hal kecil. Logikanya, kenapa mamanya masih kerap memperdulikannya? Padahal teramat jelas, bahwa mamanya yang pergi meninggalkannya sendiri. Dan papanya, orang yang selama ini berada serumah dengan Renat, Renat hampir saja tidak tahu apa yang selama ini dilakukan oleh papanya. Maksudnya, kemana papanya selama ini. Pulangkah papanya ke rumah atau tidak. Dan Renat sampai pada pikiran, jika papanya tidak pulang, dimana papanya tinggal selama ini? Karena Renat benar-benar jarang melihat sosok pria tegas itu di rumah. Pun lagi, disaat mamanya sering membujuk Renat agar gadis itu ingin ikut untuk pindah ke negara lain, papanya sama sekali tidak menunjukkan reaksi apapun. Renat hanya merasa bahwa memang ada yang tidak beres. Dan, kenapa papanya bisa menyiksanya sekejam itu? Renat memijit pelipisnya, pusing melanda. "Re, kamu nggak apa-apa?" Renat menggeleng, segera mengatakan bahwa dia hendak tidur sampai nanti mereka tiba di rumah calon suami mamanya. • r e t u r n • "Ayo, turun." Mamanya berdiri di pintu mobil tempat Renat keluar, kembali mencoba meraih pergelangan tangan sang anak. Renat buru-buru mengawaskan tangannya, pura-pura sibuk bersama ponsel dengan membalas pesan seorang teman. Dilihatnya Gita yang berjalan lebih dulu sambil menghela napas, dan di belakang, Renat hanya dapat mengedikkan bahu. Tangannya membuka aplikasi chatting berniat mengecek hal yang sebenarnya tidak penting. Sebab bosan, Renat memilih melihat chat yang berasal dari group kelasnya. Jarinya menggulir layar dan membaca cepat. Dan ketika dia hampir sampai di chat terakhir, salah satu temannya mengirim screenshot dari post i********: milik seorang perempuan. Renat membukanya tidak acuh. Tapi sedikit mengernyit ketika foto tersebut menampilkan sesosok laki-laki yang selama ini tengah Renat hindari. Matanya melirik nama usernya. Obin Syaifullah: Itu Haruka Blendi, bukannya? Erlangga P: Anak Cakrawala, bukan? Haruka Blendi Alexi itu, kan? Obin Syaifullah: Nah! Tumbenan lu pinter, Ngga, sampai hapal namanya lengkap begitu. Syifa: Sumpah?! Obin Syaifullah: Kenapa mane? Syifa: Ih, itu beneran? Abi jadian? Obin Syaifullah: Sepertinya sih begitu, Sis. Fika badut cemong yang sabar, ya. Syifa: Ih gila-gila. Abi mana kok nggak nongol? Syifa: AHAHAHAH CEMONG. Obin Syaifullah: Jangan g****k-g****k banget berapa? Sejak kapan Abi minat muncul di group? Kita gibah juga dia nggak bakalan tau. Obin Syaifullah: Iya cemong, yang dipake tepung terigu soalnya. Erlangga P: Tapi harusnya Abi muncul nih sekarang buat klarifikasi. Obin Syaifullah: Ok, deh. Besok mari bersama-bersama kita mengintrogasi Abi. Syifa: Nggak deh, Pul, mane aja. Saya nggak berani Obin Syaifullah: Kebiasaan lo manggil gue Ipul. Renat terdiam di tempatnya. Dia segera membuka aplikasi i********:. Mengetik username Haruka. Dilihatnya lastpost dan Renat benar-benar sulit menjelaskan sesuatu di dalam dirinya. Renat membaca caption yang ditulis oleh Haruka, seketika tubuhnya lemas. Since today, you and me, become us! Keterangan foto yang membuat Renat kian mengutuk dirinya. Renat pikir, Abi akan tetap sendirian dan tidak akan pernah memiliki hubungan semacam itu. Renat kira Abi berubah secara instan kepadanya karena suatu hal yang sentimental, sebutlah rasa suka. Renat salah. Dan kemudian dia sadar, mana mungkin lelaki seperti Abi memiliki perasaan terhadapnya. • r e t u r n • Renat diam menatap hidangan makanan di depannya. Pria bernama Andra tersebut, beberapa kali mencoba mengajak Renat mengobrol, tapi perempuan itu bergeming. Mamanya sudah menegur, tapi Renat tidak peduli. Ya Tuhan, harusnya Renat menyadari ada hal kecil yang tersimpan di sudut hatinya sejak dulu. Sejak ia mulai sering merecoki Abi, Renat harusnya menyadari bahwa ia telah terjatuh. Tidak. Renat tidak bisa membiarkan perasaan ini membunuhnya. Luka akibat keluarga sudah membuatnya terpuruk. Dan Renat tidak ingin perasaan gila yang baru ia sadari ikut-ikutan memecahkan hidupnya. Tidak akan. "Kamu nggak apa-apa?" Mamanya bertanya entah untuk yang ke berapa kalinya. "Hm," gumam Renat tidak jelas. Ia menyuapkan sup yang hangatnya sudah menghilang sebab terlalu lama dibiarkan. "Eh, udah dingin ya, Re? Sebentar om ganti sama yang baru." Renat membiarkan Andra mengambil mangkuknya, berjalan menuju dapur untuk mengambilkan sup baru. Renat berpikir sendirian, berusaha menilai Andra. Mungkinkah pria itu memang orang yang baik? Lewat lima belas menit, mereka menyudahi makan malam itu. Renat mengambil ponselnya dan mencari games yang berkemungkinan bisa menghilangkan kebosanan. "Jadi, gimana sekolah kamu?" Renat mendongak, menatap Andra yang kini berada sendirian di seberangnya. Mamanya tengah pamit ke kamar mandi. Gadis itu mengedikkan bahu, "Nggak tau." "Boleh om tanya sesuatu?" Renat tidak menanggapi, tapi juga tidak melarang jika ia harus disuguhi pertanyaan. Jika dia berminat, pastilah dia menjawab. Jika tidak, dia tentu memilih diam. "Kamu bahagia, Re?" "Ha?" Wajah Renat berubah sinis. "Apa hak Om nanyain hal kayak begitu ke aku?" "Kamu pasti mikir kalau mama kamu emang salah disini." Renat tertawa hambar sambil geleng-geleng kepala. "Iyalah, orang dia yang ninggalin keluarga." "Gimana kalau kondisinya kita balik?" Renat terdiam, dia mengernyit bingung. "Maksudnya?" "Apa jadinya kalau ternyata papa kamu yang udah ninggalin kamu dan mama kamu?" "Ch," decih Renat. "Udahlah, Om, nggak usah pake acara nuduh papaku kayak gitu. Karna buktinya emang bener, mama pergi karna Om." "Kamu pernah nanya ke mama kamu tentang berita yang disebar sama media? Kamu punya kesempatan buat tau itu bener atau nggak, Re." "Apa?" Andra tampak berpikir, sebelum akhirnya menyerahkan lipatan kertas putih berukuran kecil ke arah Renat. "Kamu datengin alamat itu, dan kamu bakalan tau fakta sebenernya. Om saranin sih malem." "Om siapa sebenernya?" Andra tersenyum, "Om temennya mama kamu, dari SMA." "Kenapa Om mau nikah sama mamaku?" Andra mengedikkan bahu sambil menyandarkan punggungnya ke kursi. "Makanya tadi om tanya ke kamu. Kamu pernah nggak nanya langsung ke mama kamu, kalau berita tentang pernikahan itu bener atau nggak adanya. Tapi kayaknya kamu belum nanya apa-apa, kan? Om bisa aja kasih tau kamu secara langsung, tapi mama kamu lebih berhak." Tepat setelah itu, mamanya muncul. Dengan semburat senyum yang menjadi ciri khas mamanya. Senyum itulah yang selama ini Renat tunggu. Senyum yang akan membuat mata sang mama dipenuhi binar kebahagiaan. Renat menggigit bibir. Merasa bahwa banyak rahasia yang sepertinya akan terbuka. Cepat atau lambat. • r e t u r n •
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN