Abi memarkirkan motor di halaman rumah dengan tegang. Kejadian sejam lalu berhasil membuatnya seperti dihempas. Dia seperti, entahlah, seperti merasakan bagaimana posisi Renat.
"Renat!" Teriakan itu membuat Abi yang hendak meninggalkan rumah Renat menjadi mengurungkan niatnya. Abi menatap dari celah pagar tinggi sesosok pria berbadan tegas yang baru saja keluar dari rumah itu. Tebakan Abi, itu papa Renat.
"Kenapa?" Renat menjawab, sedang Abi dapat memperhatikan dari tempatnya berdiri wajah panik yang tengah Renat pasang. Mata perempuan itu tertuju pasti pada kantung putih berlabel nama supermarket yang sedang di pegang papanya.
"Jangan macam-macam kamu." Papanya berteriak sambil mengambil sesuatu dari dalam kantung plastik tersebut. Berkotak-kotak rokok.
Entah apa lagi isinya, tapi sang papa memilih membuangnya begitu saja. Renat berjalan mundur, hendak kabur. Tapi papanya lebih dulu mencengkram pergelengan tangan Renat.
"Papa udah bilang, kalau kamu mau ikutin gaya hidup mama kamu, jangan lagi kamu tinggal disini."
Papanya mengeluarkan banyak batang rokok, membakar setiap ujungnya. Dengan kasar, ia membuka mulut Renat dan langsung menyumbatkan berbatang-batang rokok tersebut. Renat kesulitan bernapas, dia terbatuk hebat dengan mata yang sudah basah.
"Ayo! Hisap rokoknya kalau kamu mau jadi sok jagoan! Papa nggak pernah ajarin kamu kayak gini, Renata. Kamu itu perempuan."
Rokok tersebut masih berada di mulutnya. Renat benar-benar merasa dirinya seperti dibakar. Sakit, paru-parunya kesakitan. Ya Tuhan, dia tidak hanya sakit fisik tetapi juga batin. Dua perpaduan yang menyenangkan, bukan?
Perempuan itu berusaha melepaskan genggaman sang papa, namun sulit. Papanya dapat dengan mudah menahan kedua tangan Renat. Yang Renat bisa lakukan hanyalah menangis dan meronta, juga terbatuk. Ia benci papanya. Ia bersumpah akan membenci papanya.
Entah berapa lama, ketika tubuh Renat mulai goyah, papanya melepaskan tangan Renat dan menarik semua batang rokok tersebut. Tetapi ada satu yang terlepas, dan berhasil mengenai pergelangan tangan Renat yang memerah.
Perihnya bertambah, hingga perempuan itu kembali meringis hebat. Papanya mendecih, masih terlihat jelas kobaran emosi di sepasang matanya.
"Masih mau ngerokok? Masih mau hidup jadi perempuan nggak bener? Papa cuma mau kamu sekolah! Punya pendidikan bagus, Renata. Tata masa depan sebaik mungkin. Bukannya hancurin semuanya."
Renat terduduk di lantai beton tersebut, ia terisak seorang diri. Batinnya teramat sakit. Ia disiksa oleh papanya sendiri.
"Sakit karna papa gituin?" Papanya mengikuti Renat yang terduduk. "Harusnya kamu sadar kalau kamu udah kelewatan batas. Kamu pikir papa nggak bisa ngerubah kamu? Jangan nantangin papa, Re. Papa lebih tau dari kamu. Selama kamu masih tinggal sama papa, kamu wajib ikutin peraturan papa."
"Aku nggak peduli Papa mau ngapain. Yang harus Papa tau, ini hidup aku. Aku punya duniaku dan peraturanku sendiri. Sana, Pa. Jauh-jauh dari aku. Jangan pernah deketin tangan papa ke aku. Aku benci tangan penyiksa."
Sekejap, Renat dapat merasakan pedih di pipinya. Setelah disiksa dengan rokok, rupanya ia masih mendapat tamparan. Beritahu Renat, bagaimana bisa dia menghormati pria di depannya jika sekarang dia diperlakukan seperti hewan.
"Masuk ke rumah dan bersihin diri kamu! Mama kamu bakalan dateng."
Papanya beranjak, meninggalkan Renat bersama angin sore. Tangannya sibuk mengipas pergelangan tangan yang perih, setelah itu berganti pada pipi, lalu berganti lagi untuk menghapus air mata.
Perlahan, Renat berdiri. Berusaha sekuat tenaga membawa kakinya masuk ke rumah. Meninggalkan seorang lelaki yang masih berdiri bagai patung di balik pagar yang sedikit terbuka.
Abi menarik napas dalam-dalam. Kejadian tersebut terus saja melintasi kepalanya bolak-balik. Abi merasakan hal yang Renat rasakan. Penganiayaan tersebut tidak bisa dianggap sepele. Dan Abi berharap dapat menemukan cara agar Renat tidak lagi tinggal di rumah tersebut.
Abi segera membuka pintu utama, masuk ke rumah dan berjalan cepat ke tangga. "Aa!"
Langkah lelaki itu terhenti, lalu ia menoleh. Dihelanya napas dan kembali turun, berjalan ke dapur. Di dapatinya Judith yang menyandar di pilar rumah, tangannya dilipat di depan d**a. Judith menatapnya sambil mengedikkan bahu.
Abi terdiam setelah memasuki dapur, ditekannya bibir bawah karena merasa bodoh. Haruka disana bersama mamanya. Kedua perempuan beda usia tersebut menatap Abi dengan pandangan berbeda-beda.
"Aa tau kalau Haruka nungguin Aa itu lama? Papa harus jemput Bia karena si Teteh ada kegiatan di luar sekolah. Mama jemput Judith. Ayah bundanya Haruka itu lagi serentak sibuk. Mama nggak ngerti kenapa A bisa-bisanya lupain tanggung jawab."
Abi menghela napas panjang, dia lupa, benar-benar lupa. "Maaf, A tadi ada urusan."
"Ya kalau ada urusan kenapa nggak kasih kabar? Jadi mama kan bisa jemput Haruka."
"Iya, Ma, maaf."
"Jangan maaf ke mamalah."
"Maafin aku," ujar Abi menghadap Haruka, dan anak perempuan itu tersenyum tipis sambil mengangguk. "Aku juga lupa ngabarin kamu."
"Yaudah, mama tinggal dulu, ya. Ini Judith lagi ngambek, takutnya mama didiemin lagi sampai lebaran. Aa jangan lupa makan!"
Abi melepas ranselnya setelah sang mama meninggalkan dapur, duduk di bangku meja bar tepat di sebelah Haruka. Lelaki itu mengusap wajah, kepalanya pusing.
Abi merasakan sesuatu mencucuk lengannya. Diawaskannya telapak tangan dari wajah, melihat jari telunjuk Haruka yang masih setia mencucuk tangannya.
Wajah perempuan yang kini duduk di sebelahnya tampak lucu, walaupun tersirat raut lelah. Abi tersenyum, berusaha mencari topik di antara mereka. Lelaki itu memang kerap kehabisan topik saat berhadapan dengan Haruka. Tetapi tidak dengan Haruka, dia punya banyak cerita.
Tapi kali ini perempuan itu memilih diam, dan Abi tau Haruka masih kesal padanya.
"Kamu mau aku ngapain supaya aku bisa dapetin maaf kamu?" tanya Abi akhirnya. Haruka menggigit bibir karena menahan senyum. Dia memutar kursi yang ia duduki, berusaha menjauhi pandangan mata Abi.
"Bi," panggil Haruka akhirnya, terdengar lembut.
"Ya?"
Haruka menarik napas panjang, "Konyol nggak kalau aku bilang aku suka kamu?"
Abi membeku. Rasa letihnya hilang dalam sekejap. Haruka menyatakan perasaannya? Di sini? Di dapurnya?
"Aku suka sama kamu, Bi," ujar Haruka pelan, matanya memancarkan binar malu.
"Ruka," panggil Abi tertahan, "aku, maksudnya, aku nggak bisa." Dan jawaban tersebut menohok Haruka keras. Perempuan itu berpikir bahwa Abi memiliki perasaan yang sama dengannya selama ini. Tapi dia salah....
Sedang Abi masih terlalu kaget di tempatnya. Ia menatap Haruka yang jelas-jelas tengah menampakkan senyum palsu. Perempuan itu menghela napas, siap-siap berdiri.
Namun tangan Abi dengan cepat menahan dengan lembut lengan milik Haruka. Abi memberikan senyumnya. "Perempuan itu terlalu rendah buat nyatain perasaannya ke laki-laki, Ruka."
Abi tidak ingin munafik, bahwa sejak lama ia juga menyimpan rasa untuk perempuan lucu tersebut. Tapi kini ia merasa menjadi pengecut sejati. Ia lupa menjemput Haruka, ia tidak bisa membantu Renat, dan sekarang ia membiarkan Haruka menyatakan perasaan lebih dulu.
Abi sepertinya sudah sepenuhnya membenci dirinya sendiri.
"Maaf," ujar Haruka pelan. "Aku cuma nggak mau nahan lagi, Bi."
Abi tersenyun ke arah perempuan itu, memainkan bagian rambut keriting Haruka yang tidak terikat. "Gini, deh," ujar Abi menatap Haruka serius, "kamu mau jadi pacar aku? Anggap bagian kamu nyatain duluan nggak pernah ada. Aku nggak mau kamu korbanin perasaan padahal kamu perempuan. Derajat kamu itu tinggi."
Mata Haruka merah seketika, bibir pinknya mencibir lucu. "Mau," jawab Haruka terdengar lucu di telinga Abi. Anak laki-laki itu sontak tertawa.
"Beneran mau?" goda Abi lebih lanjut.
"Iya mau." Haruka meloncat bahagia ke pelukan Abi. "Abi pacarnya Haruka, ya! Mulai sekarang Abi punyanya Haruka!"
Abi tertawa, "Iya."
"Aa sama Teh Haruka ngapain?!" Teriakan tersebut terdengar. Haruka buru-buru melepaskan pelukannya. Sepasang manusia tersebut sama-sama sulit menelan saliva ketika mendapati wajah sinis Judith. "Judith ngomong, tolong ya dijawab!" Judith kembali berteriak emosi.
Haruka dan Abi sama-sama diam, hingga Judith kembali emosi. "Teh Haruka pulang sana!" usir Judith keras. Barulah remaja SMP tersebut berjalan menuju lemari es dan mengambil botol minumannya. "Denger nggak, sih? Pulang sana! Aa dipanggil Mama, tuh. Ah, tau deh. Geli lama-lama."
Abi menghela napas, mengacak rambutnya karena masalah baru kembali bertambah.
• r e t u r n •