Renat merasa kepalanya pusing setelah ia membuka mata pelan-pelan. Dilarikannya tangan menuju kepala, membuat orang di sekitar mengetahui bahwa Renat sudah sadar. Perempuan itu menahan napas ketika melihat siapa yang mendatangi tepi tempat tidurnya lebih dulu.
Abi.
"Kamu masih pusing?" Renat hanya mengangguk, namun tidak menatap Abi. Ia hanya malu terhadap lelaki itu. Renat menebak, pastilah Abi yang sudah membawanya kemari. Sepersekian detik, Renat berhasil mencuri pandang ke arah lelaki itu.
Ketika bagian PMR memerika dan menanyakan keadaannya, Renat menjawab pelan dengan suara. Renat tidak bisa banyak bicara karena ia merasa kondisinya benar-benar tidak fit. Ah, padahal di hari minggu Renat hanya tertidur.
Renat duduk perlahan, lalu menerima teh hangat dari seorang perempuan yang merupakan anggota dari PMR. Dia meneguknya perlahan, merasakan kehangatan mengaliri tenggorokannya dan masuk ke perut. Enak, pikir Renat.
"Enakan, Renata?" Renat menoleh, mengernyit pada Pak Gani yang sedang berdiri dengan wajah tulusnya. Renat menggigit bibir, sibuk bergulat dengan pikirannya sendiri.
"Ngapain Bapak di sini?" tanya Renat akhirnya. Fakta bahwa ada orang yang begitu peduli padanya membuat Renat terbebani. Mereka seperti menjadi penghalang bagi Renat untuk berubah.
"Oh, cuma lagi rindu UKS, makanya saya disini." Pak Gani menjawab sambil tertawa, sedang Renat reflek menaikkan alis.
"Humor saya mahal, Pak," kata Renat sambil memberikan cengiran paksa.
"Bapak nggak ngajar? Kan udah masuk jam pelajaran." Abi bertanya seakan-akan anak itu tengah terlepas dari kewajibannya sebagai pelajar. Pak Gani seketika melotot, merasa kesal diatur oleh Abi.
"Kamu harusnya. Sana ke kelas!" Pak Gani mengusir, sedang Abi hanya mengedikkan bahu lalu bergerak lebih dekat ke sebelah Renat. Perempuan itu tidak peduli perdebatan antara Abi dan Pak Gani, karena ia tengah sibuk dengan pikirannya sendiri.
"Yaudah, Bapak duluan, nanti saya ke kelas." Abi menjawab.
"Kamu mau ngapain?"
"Kan saya udah pernah bilang ke Bapak, kalau sama saya penasarannya dikurangin. Saya nggak suka dikepoin laki-laki. Rasanya aneh."
"Banyak maunya kamu, Bi." Pak Gani membalas.
"Iyalah, orang saya ganteng."
"Gak ada hubungannya. Saya yang mirip sama Logan Lerman nggak sesombong kamu."
Abi tidak peduli, ia membuang muka dari Pak Gani. Berpikir sesaat sambil memasukkan satu tangan ke saku celana, berpura-pura tenang.
"Renat," panggil Pak Gani, padahal Abi baru saja ingin bersuara. Renat beraksi, menunjukkan ekspresi penuh tanya. "Hari ini, kalau kamu punya waktu, datang ke ruangan saya, ya. Kamu Abirayyan, saya kasih waktu lima menit buat bicara sama Renat. Kalau dilanggar, kamu saya suruh bersihin aula."
Abi mencibir, membiarkan Pak Gani berlalu meninggalkan ruang UKS. Anak lelaki itu menatap ruangan yang kosong, tidak berisi siapapun selain mereka berdua. Jantung Abi berdetak tidak karuan. Dia mengutuk diri karena sikapnya yang seperti ini.
"Kamu udah makan?" Abi bertanya. Ya Tuhan, mimpi apa lelaki itu sampai-sampai mengurus jadwal makan orang lain?
Renat menggeleng, dia juga sama seperti Abi. Ketidaknyaman suasana membuatnya tidak enak berlama-lama seperti ini. Perempuan itu menatap Abi yang kini tampak sedikit acak-acakan, terlebih seragam laki-laki itu. Fokusnya diarahkan secara terang-terangan kepada Abi yang tengah mengacak rambut.
"Mau aku beliin sesuatu?" Renat sontak mengernyit, sedikit tidak suka dengan tawaran Abi.
"Lo nggak perlu sok baik gitu, gue bisa beli makan sendiri. Gue punya uang, kok."
"Aku nggak lagi nanyain kamu punya uang atau nggak, Re. Aku lagi nawarin sesuatu yang bisa ngisi perut kamu."
"Sayangnya nggak perlu, gue bisa beli sendiri."
Abi menyisir rambut dengan jemari, memberikan pijitan-pijitan kecil disana. Kesulitan membujuk Renat yang sekarang harus ia tangani.
"Oh iya, bukannya malem itu gue udah bilang ya sama lo, jangan deketin gue lagi. Tetep aja cuek kayak yang biasa lo lakuin."
"Kamu beneran ngerokok?"
"Stop urusin hidup gue!"
Renat turun secepat yang ia bisa, mengabaikan Abi yang kini tampak tertekan karena lagi-lagi menerima penolakan. Lelaki itu menunduk, memukul-mukul pelan leher belakangnya. Tidak, ia tidak bisa menyerah begitu saja, bukan?
Ketika Abi mendongak, dia mendapati ruang UKS yang kosong. Renat sudah pergi. Ketika dulu Abi selalu meninggalkan perempuan itu sendiri, perempuan itu pun membalas.
Abi menghela napas, papanya benar akan sesuatu.
"Perempuan itu diciptain buat kita lindungin, A. Kalau Aa bisa nyakitin perempuan, jangan bangga. Percaya sama Papa, mereka bakal nyakitin Aa lebih dari yang Aa lakuin ke mereka. Makanya, jangan pernah kasar sama perempuan."
Dan Renat, tanpa harus berusaha keras, ternyata berhasil membuat Abi merasakan sakit.
• r e t u r n •
Renat melangkahkan kaki masuk kelas setelah mendapatkan izin dari guru yang mengajar. Telinganya tajam mendengar bisikan dari teman sekelasnya. Perempuan itu yakin dia tidak lagi sakit hati, sebab, dia sudah tidak lagi mempunyai hati.
Renat tertawa hambar tanpa suara, setelah itu duduk di bangkunya. Ia membuka tas yang tidak berisi banyak buku dan mengeluarkan satu buku panjang dengan subject 'catatan penting'.
Hari ini, setelah sekian lama Renat tidak memperhatikan pelajaran, akhirnya ia kembali mencatat. Bukan apa-apa, hanya saja perempuan itu tidak tau harus melakukan apa lagi. Dia terlampau bosan.
Ponsel di sakunya bergetar, menampilkan pemberitahuan pesan baru dari sang mama. Renat memilih mengusap layar ponsel, melihat isi pesan.
From: Ibu Gita Anindya.
Nanti malam mama ke rumah jemput kamu. Siap-siap yang cantik. Kita makan malem bareng Om Andra. Mama peringatin, jangan aneh-aneh. Jangan bikin mama malu.
Renat mendengus, tanpa pikir panjang, Renat mematikan ponselnya secara total. Kembali fokus menyalis pelajaran.
"Lho, Abi? Dari mana aja?" Satu kelas sontak menoleh ke ambang pintu, tempat Abi kini persis berdiri.
Anak laki-laki itu masuk, mengucapkan maaf pada guru. Setelah ia disuruh duduk, bukannya menuju bangku miliknya, Abi malah berjalan mendekati meja Renat.
Ditatapnya Renat dengan ekspresi tenang, tidak ingin menyulut emosi perempuan itu. Dan setelahnya, Abi dengan cepat meletakkan sekotak s**u rasa pisang di atas meja perempuan itu. Hal tersebut lagi-lagi memancing ricuh kelas 11 IPA 1. Abi kemudian memutari bagian belakang kelas, menuju bangkunya.
"Apaan sih dasar caper," ujar Fika tiba-tiba. Perempuan yang baru saja menerima penolakan dari Abi itu sepertinya masih kesal.
"Norak lo pada," sahut Anna.
Tiba-tiba, Obin, sang ketua kelas 11 IPA 1 menyahut tidak kalah pedas. "Diem lu perempuan-perempuan nggak laku."
"Idih," sinis Fika sambil menatap Obin, "lo tuh sadar diri. Buluk."
"Tau. Banci kayak lo mana ada yang mau." Anna kembali bersuara menyambung Fika.
"Eh, seenggaknya hobi gue bukan buka-bukaan aib orang. Terus juga, gue orangnya sadar diri. Bukan kayak lo, Fik, muka tebel make up pake berani segala nembak Abi."
Dua perempuan itu terdiam. Mereka salah melawan sang ketua kelas. Ah, tidak heran mendengar kata-kata seperti itu dari Obin. Karena lelaki itu memang lebih hobi melawan musuh dengan kalimat daripada tenaga.
Guru berumur yang telah lelah mendengar debatan para murid segera meminta mereka berhenti. Renat di bangkunya hanya mendengus jengkel. Ingin sekali dibawanya dua perempuan itu menuju lubang Neraka. Agar paham bagaimana pedihnya siksa akhirat.
"Lo pacaran sama Abi, Re?" Renat menatap teman yang duduk di depannya, teman sebangkunya dulu.
Perempuan itu menggeleng, "Nggak."
"Masa, sih? Tapi dari gelagatnya kok kalian kayak nyembunyiin sesuatu gitu?"
"Biasa aja, sih."
"Atau jangan-jangan Abi suka lagi sama lo."
"Yaudah, sih. Bukan urusan gue." Jawaban terakhir yang Renat luncurkan karena setelahnya ia memilih fokus dengan buku.
Tapi tiba-tiba ia sadar akan sesuatu, s**u rasa pisang yang dulu pernah ia minum, apa Abi pemiliknya?
• r e t u r n •
"Ayo, aku anter pulang." Abi mendekati bangku Renat ketika kelas sudah sepi.
Renat mengernyit, mendadak perasaan emosi memenuhi dadanya. "Budeg lo? Nggak denger tadi gue bilang apa waktu di ruang UKS?"
"Emang kamu bilang apa?" tanya Abi pura-pura bodoh.
"Bego, dasar."
"Yaudah, aku anterin kamu pulang sekarang."
"Yang mau pulang siapa, deh? Ngigau lo?"
"Terus kamu mau kemana?"
"Bukan urusan lo."
"Ok, sekarang kasih tau aku gimana caranya supaya urusan kamu juga jadi urusan aku?"
Renat memutar bola matanya sebal. Ditolaknya Abi sedikit kasar agar ia memiliki ruang untuk berjalan. Tapi Abi, laki-laki itu tidak mau menyerah begitu saja. Tanpa persetujuan Renat, Abi menggenggam pergelangan tangan cukup kuat. Lalu menarik Renat agar ikut bersamanya.
"Lepasin! Sakit, tau!" Abi langsung saja mengendurkan pegangan. Tidak lagi memegang pergelangan tangan Renat, melainkan menautkan jemari mereka.
Setelah itu, Abi membawa Renat untuk berjalan ke parkiran bersamanya. Ah, andai lelaki itu sadar, bahwa darah pantang menyerah dari papanya memang turun dalam dirinya.
"Abi, sumpah gue benci cara lo." Renat berteriak, namun Abi mengabaikan.
• r e t u r n •