26 - Panik

1139 Kata
"Wes, buru-buru banget lo?" Victor menghalang gerakan Abi ketika mereka bertemu di koridor sekolah. Abi menatapnya sengit, dan Victor hanya nyengir kuda. "Nyengir lo," celetuk Abi dan Victor jadi tertawa. Abi sudah ingin lanjut berjalan, tapi Victor menghalanginya. "Gue mau introgasi lo dulu, Bro." "Bro gigi lo, segala gegayaan manggil gue bro." "Bacod bener sih, Bi?" "Lo yang bacod," balas Abi sengit. Dua manusia itu lagi-lagi menarik perhatian banyak orang yang penasaran pada obrolan mereka, padahal obrolan itu sama sekali tidak bermutu. "Bacod bener sih kita," putus Victor akhirnya sambil mengacak rambut, sedang Abi hanya mengernyit. "Nih, jawab pertanyaan gue. Lo lagi deketkan sama Renat?" Abi terdiam, merasa terpojokkan oleh pertanyaan tersebut. "Nggak." Abi menggeleng, namun mata lelaki itu jelas-jelas menunjukkan hal yang sebaliknya. "Lo suka sama dia?" "Anjir jauh banget pikiran lo." "Ya dimana-mana kebanyakan gitu, dari peduli jadi suka, sayang, cinta, ya apalah urutannya." "Kagak," jawab Abi ketus. "Halah. Bener, kan? Hati-hati peduli, kan gue bilang gitu dari dulu. Siapa yang bakalan nyangka kalau Renat berubah terus lo malah ikut-ikutan berubah, Bi?" "Kok lo ceramah?" Abi memberikan tatapan polosnya. Sedang Victor langsung saja memberikan tepukan pada kepala Abi karena kesal dengan ekspresinya. Setelah itu, Victor melesat pergi meninggalkan Abi yang masih shock berdiri. "Bencong." Abi berbisik pada angin, kemudian segera menuju kelas. Ponsel Abi berbunyi tepat ketika ia duduk di bangkunya. Sebelum menjatuhkan tatapan pada ponsel, Abi reflek melihat meja sudut belakang terlebih dahulu. Hal tersebut seperti sudah menjadi kebiasaan—mengecek kedatangan Renat. Belum datang. Ini senin, kemungkinan Renat datang sangat kecil. Abi hanya menghela napas, menatap ponselnya. Terdapat chat baru dari Haruka, tapi bukannya membuka chat tersebut, Abi malah menekan nama Renat dan seketika roomchat mereka ditampilkan. Status chat Abi sudah read, tapi tidak kunjung ada balasan. Entah kenapa Abi jadi geram sendiri. Ia kembali ke bagian chat, menatap banyaknya chat yang masuk. Terlebih tanda 999+ pesan belum dibaca dan tentu saja berasal dari group kelasnya. Tanpa banyak pilihan, Abi menghapusnya dengan gerakan cepat. Barulah, ia membuka chat dari Haruka. Haruka: Abi. Haruka: Nanti aku pulang bareng kamu, ya? Haruka: Ayah lagi nggak bisa jemput soalnya sibuk. Abi mengetukkan jemarinya di meja. Berpikir sebentar. Baru setelah itu mengetikkan sesuatu sebagai balasan. Abirayyan: Iya. Haruka: Tumben kamu pegang HP pagi-pagi gini? Abirayyan: Tadi ngecek sesuatu. Haruka: Ngecek apa? Abirayyan: Perempuan nggak boleh tau. Haruka: Ih, kok gitu? Abirayyan: Iya pokoknya gitu. Haruka: Kamu lagi apa? Abirayyan: Lagi mikir. Haruka: Mikirin aku?! Abirayyan: Temen. Haruka: Iya, deh. Haruka: Kamu tau nggak? Haruka: Aku baru beli posternya NCT. Kamu harus liat. Abirayyan: Lagi? Haruka: Hehehe Haruka: Taeyong Oppa ganteng banget, Abi!! Haruka: Gak kuat. Abirayyan: Keong? Haruka: Bukan!! Abirayyan: Terus? Haruka: Haruka has sent you a photo. Haruka: Itu Taeyong Oppa!! Abirayyan: Oh. Haruka: Kebiasaan responnya oh doang. Abirayyan: Terus apalagi? Haruka: Ganti. Abirayyan: Wow. Fokus Abi tersita seketika dari ponsel, matanya mengikuti gerakan perempuan yang baru saja masuk ke kelas. Batinnya lega, entah kenapa. Melihat Renat kembali masuk sekolah, Abi bahagia. Tepat setelah itu, bel tanda upacara berbunyi. Abi segera berdiri, berjalan lebih dulu menuju pintu kelas. Tepat ketika berada di ambang pintu, anak laki-laki itu melihat Victor. Dengan gerakan cepat, Victor menghindar, berlari masuk kelas untuk meletakkan tas. "Si anjir," celetuk Abi kesal sendiri karena ulah Victor. • r e t u r n • Renat berdiri tidak nyaman di barisan paling belakang. Bukan, Renat bukan murid paling tinggi sehingga berbaris di belakang, bukan pula murid paling pendek. Hanya saja, dia tengah malas berada di tengah-tengah. Dia malas menjadi perhatian. Renat menoleh ke kanan, dan didapatinya Abi tengah fokus mendengarkan amanat dari pembina upacara. Dihelanya napas yang entah untuk ke berapa kalinya, badannya lelah. Renat merasakan tubuhnya yang basah, tapi ia tidak kepanasan, sedang kepalanya pusing. Renat reflek memegang lengan seseorang agar ia tidak jatuh. Abi menyebut namanya pelan. Teramat pelan karena Renat yakin hanya ia yang dapat mendengar. Tapi Renat terlampau tidak kuat, lagi-lagi ia kalah ketika upacara. Tentu saja, faktor karena ia tidak sarapan pagi. "Kenapa suka banget bikin panik?!" Kata-kata terakhir dari Abi yang Renat dengar sebelum ia ditarik cepat oleh kegelapan. • r e t u r n • Abi menggendong Renat dengan emosi yang tengah ia tahan mati-matian. Pihak PMR bergerak sangat lamban hingga Abi harus membawa Renat ke UKS dengan tangannya sendiri. Abi benci sesuatu yang lamban. Semua pasang mata tentu saja melihat hal tersebut. Termasuk pembina upacara yang secara tidak sadar menghentikan pidato sebab pemandangan itu. Semua murid berubah rusuh, terlebih yang berjenis kelamin perempuan. Barulah, ketika pembina sadar, instruksi diam kembali diucapkan. Abi menidurkan Renat dengan gerakan pelan di atas tempat tidur. Napasnya berubah pendek-pendek karena rasa panik yang kini menggerogoti paru-parunya. Dia benar-benar takut jika saja Renat melakukan sesuatu di luar batas hingga fisiknya kelelahan. Ya Tuhan, Abi benar-benar ingin membakar dirinya karena rasa pedulinya yang teramat sangat terhadap Renat. "Lo semua kalau ada tugas, itu geraknya cepetan. Bukannya ada yang jatoh lo malah keasikan gosip. Ini gue bisa aduin lo semua ke pembina PMR, sekalian biar lo dihukum. Bukannya jalanin tugas malah ngeleha." Memang seperti itulah adanya. Ketika Abi sudah panik, anak-anak PMR yang bertugas malah asik sendiri. Sepertinya orang-orang yang bertugas berbeda dari minggu kemarin. Anggota PMR senin lalu lebih cepat dan teliti. "Yaudah dong, nggak usah emosi. Tu cewek juga udah disini." Salah satu laki-laki menanggapi, dan Abi kian tersulut emosi. "Iya karna gue yang bawa. Nungguin lo baru lebaran datengnya." "Bisa diem?" Abi tutup mulut karena perempuan berbadan gempal yang buka suara, dan Abi seketika merasa bersalah karena sudah ribut di saat seperti ini. "Drian, lo itu emang salah. Senin ini tuh tanggung jawab lo. Wajarlah orang jadi marah-marah." "Lo juga," ujarnya menatap Abi. "Lo nggak harus marah-marah disini. Kita tau kita salah, tapi lo juga harus liat kondisi." Abi menatap anak-anak yang kini tengah mengurus Renat, hingga tidak lama, pembina PMR datang diikuti Pak Gani. Abi memutuskan menunggu di salah satu kursi di balik meja hitam besar. Pak Gani mengikutinya sambil memberi senyum kecil. "Kapan kamu nggak buat sekolah kaget? Pembina upacara sampai nggak percaya liat kelakuan kamu tadi." Pak Gani berbicara dengan volume kecil. "Terus saya mesti masuk BK karna bawa Renat ke UKS, Pak?" tanya Abi sarkas, terbiasa bersama Pak Gani membuat remaja laki-laki itu lebih merasa santai dan relaks. "Kalau kamu mau, boleh-boleh aja." Abi diam, menggeleng pelan. Tatapannya tertuju pada Renat yang masih belum sadarkan diri. Dia benar-benar takut Renat melakukan kesalahan. Dihelanya napas, menutupi ketakutan. "Saya pikir Renat nggak punya temen," cetus Pak Gani. "Ternyata kamu temennya?" "Saya harap sih gitu," jawab Abi pelan. "Baguslah. Dia pantes bahagia, bukan begitu, Abirayyan?" "Bapak tau?" "Menurut kamu?" "Ch," Abi terkekeh pelan, "dasar guru kepo," celetuknya kemudian. "Temenin dia, bapak pikir dia memang butuh pegangan." "Ya, andai kalau dia emang nerima kedatangan saya jadi temennya," lirih Abi putus asa. Karena memang, ditolak untuk kedua kalinya oleh Renat, Abi takut. • r e t u r n •
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN