Every smoker has a story, so before you tell them smoking kills, I want you to know that something is already killing them. •Unknown//02.38 am•
Renat membuka pintu rumah yang tidak terkunci. Remaja dengan rambut pendek tersebut sudah siaga terhadap sesuatu yang masuk ke rumah. Tepat ketika kaki Renat memasuki ruang keluarga, tampak mama dan papanya yang tengah berbicara serius.
Renat memilih tidak acuh, dia berjalan terus menuju tangga. Sama sekali tidak penasaran pada topik yang orangtuanya sedang bicarakan. Jika pun detik ini mereka bercerai, Renat sudah tidak peduli. Kalau pun menit ini mamanya menikah lagi, Renat tetap akan diam membisu. Sepertinya lebih baik memperhatikan drama kedua orangtuanya dengan menghisap berbatang-batang rokok.
Belum. Dia belum menghisap satu pun batang rokok. Baru saja dia membuat kebodohan dengan tidak sengaja melempar rokok keluar dari sakunya, dan seorang Abi menjadi tahu. Terpaksa, Renat kembali membeli rokok di warung dekat swalayan.
"Renata!" Panggilan tersebut terdengar ketika Renat berada di pertengahan anak tangga. Renat menoleh malas dengan ekspresi datar seperti biasa. "Kenapa telfon mama nggak dijawab?"
"Ch." Renat sukses berdecih, muak mendengar suara mamanya. Renat berbalik, kembali melangkahkan kaki untuk naik ke lantai dua.
"Re! Mama lagi ngomong!"
"Beli cermin sana, katanya model terkenal, cermin aja gak punya." Renat berteriak hingga mamanya sukses membisu.
"Re, bisa nggak jangan ngebantah?! Turun kesini terus dengerin kata-kata mama."
Renat lagi-lagi berbalik sambil tertawa sinis. "Ha? Aku nggak perlu dengerin kata-kata ibu yang udah ninggalin aku. Pergi sana. Mau tinggal ke Korea, bukannya? Sana, kejar pesawat."
"Kamu ikut mama, Renata. Kamu bakalan ikut tinggal sama mama di Korea abis semua masalah di sini selesai."
Renat benci dipaksa. Renat benci diperlakukan seperti ini. Dia berbalik, menatap mamanya dari anak tangga tempatnya berdiri. Atmosfer di rumah benar-benar berubah, dan Renat merasa ingin pindah. Kakinya melangkah turun satu-satu.
"Jangan pikir aku itu kucing yang bisa Mama paksa buat ikut kemana Mama pergi. Aku nggak suka dipaksa kayak gini. Kalau pun Mama mau pergi, yaudah, ajak suami baru mama. Jangan aku. Aku bukan Renat yang dulu, aku bukan Renat umur lima tahun yang bakalan selalu nurut sama keputusan mama."
"Korea itu nggak buruk, Re! Kamu pasti seneng tinggal disana."
"Korea nggak buruk, tapi tinggal sama Mama yang buruk." Napas Renat memburu, dia menatap mamanya kian tajam. "Dulu Mama ninggalin aku, Ma. Mama biarin aku nangis di teras rumah sampai malem karna aku nungguin Mama yang nggak pernah pulang abis itu. Mama yang hancurin aku. Mama pergi sama laki-laki lain dan ninggalin papa."
Renat menatap papanya sambil tertawa remeh. "Nggak. Aku nggak belain Papa. Aku nggak belain orang-orang yang udah ninggalin aku. Kerja sana, Pa. Kerja sampai Papa puas. Kertas-kertas dokumen itu emang lebih penting dibanding darah daging papa."
Renat berbalik. Dan bukannya mencegah Renat, orangtuanya malah sibuk menyalahkan. Perempuan itu sibuk mengutuk dalam hati. Keluarganya hancur berantakan. Lalu, untuk apa Renat bertahan, kan? Dia tidak ingin melakukan sesuatu dengan setengah-setengah. Keluarganya hancur, sekalian saja dia juga.
Renat berlari naik ke lantai atas. Tidak menuju ke kamarnya, melainkan menatap jendela yang dapat mengarahkannya langsung ke atap rumah. Disaat orangtuanya masih sibuk berdebat, Renat memutuskan membuka jendela. Angin malam seketika menyapu wajahnya. Sejuk.
Disapukannya mata pada atap rumah yang tersusun dari genting tanah liat berwarna gelap. Pelan, dilangkahkannya kaki melewati jendela. Berjalan pelan di atas genting rumah. Langit malam terlihat terang, tapi tidak dengan hidup Renat. Bintang tampak ceria bersama temannya, dan Renat merasa suram dalam kesendirian. Bulan bahagia mengisi malam, sedang Renat tengah tersiksa.
Suara gemerisik angin bersama daun dan ranting pohon memenuhi telinga Renat. Perlahan, Renat meraih sesuatu dari saku jaketnya. Sekotak rokok dan macis. Diambilnya satu batang rokok, lalu menggunakan ibu jari untuk menyalakan macis.
Tembakau yang dibungkus dengan kertas tersebut terbakar. Dan Renat dengan cukup yakin langsung mengisapnya. Awalnya biasa, dan ia sukses terbatuk.
"Bego," umpatnya pada diri sendiri. "Ngerokok aja gak bisa gimana ceritanya, sih?!"
Renat kembali mengulang, masih dengan mengisap pelan, tidak terlalu niat. Dan batuknya tidak separah yang pertama. Beberapa kali mencoba, ia ternyata dapat mengendalikannya dengan baik.
"Wow!" puji Renat pada dirinya. "Gue gak bego-bego banget ternyata."
Diisapnya benda berisi tembakau tersebut lebih dalam. Merasakan sensasi di dalam tubuhnya. Seperti ada yang ikut terbakar, dan Renat menyukainya. Dia berharap bahwa kenangan masa lalulah yang sekarang tengah terbakar. Atau sekalian, hidupnya dibakar agar habis tanpa sisa.
"Gue gak sendirian, kan?" tanyanya sambil merenung dan bergetar pada langit malam. "Gue masih punya temen, kan?"
Air matanya mengalir. "Kalau gue dikasih kesempatan, gue mau hidup damai. Gue mau hidup bahagia bareng nyokap sama bokap. Persis kayak dulu. Tapi orang kayak gue, gue nggak yakin bakalan dikasih kesempatan."
Rokok Renat perlahan pendek, tanda harus segera dibuang. Diisapnya untuk yang terakhir, setelah itu menjatuhkan dan dengan cepat menginjaknya dengan kaki beralas sepatu boot hitam.
Renat memutuskan satu saja untuk malam ini. Dia menekuk lutut, lalu memeluknya dengan kedua tangan. Ditatapnya langit dengan pikiran berkelana jauh.
Korea. Mama. Dan hidup baru. Renat membayangkan hidupnya. Apa yang akan terjadi jika dia menerima semua itu? Renat tidak yakin dia akan bahagia. Terlebih, harus berada satu atap bersama suami baru dari mamanya. Lebih baik dia tinggal di gudang bersama kegelapan.
Renat hanya ingin hidup normal, tapi perempuan itu seperti tidak mempunyai pilihan. Menyiksa fisik adalah cara agar dia tidak perlu merasakan luka batin yang teramat menyakitkan.
• r e t u r n •
"Mama mau kemana?" Dengan kaus oversize warna coklat dan legging hitam membalut tubuhnya senja itu, Renat menatap mamanya yang keluar rumah dengan tergesa.
"Kamu baik-baik sama papa, ya?"
Renat menggeleng, lagi-lagi bertanya. "Mama mau kemana? Jangan tinggalin Re, Ma."
"Kamu kan udah gede."
"Mama mau kemana?"
"Mama kerja."
"Kenapa bawa koper?"
"Udah, ya, kamu tinggal sama papa. Nanti mama bakalan jemput kamu lagi sampai situasinya tenang."
"Mama jangan pergi!" Renat mengejar langkah kaki mamanya yang cepat. Mengabaikan pedihnya aspal karena tidak terpakainya alas kaki. "Mama!" Renat mencoba membuka pintu mobil yang sudah terkunci. Dipukulnya kaca dengan cukup kuat, berharap Mamanya berhenti dan berubah pikiran.
Tapi mobil yang dikendarai mamanya perlahan juga menjauh. Renat ditinggalkan seorang diri. Ia diminta tegar sendirian. Papanya tentu masih berada di kantor dan tidak akan mengetahui kondisi Renat.
"Mama," isak Renat pilu. "Mama kenapa pergi? Mama, Re masih butuh Mama. Butuh Mama buat bantuin Re lewatin masa remaja Re, Ma. Mama jangan tinggalin Re sendirian gini. Re nggak suka! Mama balik, buruan!"
Renat tersentak akibat ponsel yang berdering. Remaja itu masih berada di tempat yang sama. Kenangan beberapa bulan lalu kembali datang dan menyiksanya. Betapa dia membenci sang mama. Betapa dia ingin mamanya sadar akan kesalahan besar yang sedang mamanya lakukan.
Ya Tuhan. Renat ingin sekali membakar kenangan tersebut. Lalu menebar abunya jauh-jauh. Tapi sulit. Ia tidak bisa membakarnya begitu saja, kecuali Renat terkena amnesia permanen.
Diusapnya wajah lalu berpindah ke rambut, menariknya pelan-pelan. Ditariknya napas beraroma tembakau itu berulang kali. Dia butuh tidur, sepertinya. Jika saja matanya memang dapat tertidur dan berharap tidak akan ada mimpi indah atau buruk yang datang. Renat hanya ingin tidur nyenyak.
Besok hari minggu, dan Renat sudah sepakat dengan dirinya sendiri untuk memilih tidur sepanjang hari.
Perempuan itu mengecek ponsel yang tadi berbunyi. Notifikasi chat baru, dari Abi. Dahi Renat langsung saja mengernyit.
Abi monyet: h***:://googleweblight.com/?lite_url=h***:://Leila.blogspot.com/2015/08/bahaya-merokok-bagi-kesehatan/akcntkhh
Abi monyet: Dibaca.
Renat seketika geram sendiri, diabaikannya chat lelaki itu dan memilih kembali masuk rumah. Kembali ke kamar dan memekakkan telinga, waspada terhadap perang yang bisa pecah di tengah malam.
• r e t u r n •