Abi menyusul masuk ke rumah mengikuti langkah orangtuanya juga Bia. Mereka yang seharusnya menghabiskan waktu hingga besok sore bersama keluarga besar memilih pulang lebih awal. Sebab, ada hal yang lebih penting dan harus segera diselesaikan.
Tetapi Judith, kali ini tidak diajak bergabung. Adik bungsu Abi tersebut sudah sangat nyaman bermain bersama sepupu yang lain dan tidak ingin pulang.
"Duduk," ujar Aldric di ruang keluarga. Abi menurut, diikuti Bia yang duduk di sebelahnya. Anak perempuan itu langsung saja memeluk lengan Abi, seperti meminta perlindungan.
Helaan napas berat memenuhi ruang keluarga. Suasana sunyi sampai akhirnya Aldric membuka suara. "Teteh," ujarnya pelan dengan mata menatap Bia. Bia yang ditatap masih asik melihat ke arah lain.
"Teh." Nadine ikut memanggil. Abi akhirnya beraksi, memberikan kode agar adiknya tersebut mau menanggapi papa dan mama mereka.
"Apa?" balas Bia ogah-ogahan.
Abi menatap sang mama yang kini bergerak mendekati mereka, tepatnya Bia. Membelai rambut anak perempuan itu sampai akhirnya Bia luluh. Bia beralih memeluk Nadine, menyembunyikan wajah di dekapan sang mama.
Abi hanya diam, membiarkan suara isakan yang perlahan terdengar. Diletakkannya jemari disekitar pelipis. Setelah berpikir beberapa kali, akhirnya Abi memutuskan bersuara. "Izinin Bia jadi model, Pa."
Aldric menatap Abi dengan alis bertaut, bingung kenapa Abi yang berbicara. Pria dengan status kepala keluarga tersebut mengusap wajah, seperti ada hal yang tengah ia tutupi dari istri dan ketiga anaknya.
"Papa bilang bakalan dukung apapun yang kita mau." Abi melanjutkan, sesekali melirik Bia yang masih terisak. "Abi nggak mau Bia terus-terusan mikul yang nggak seharusnya dia pikul. Salah satunya impian semua sepupu buat Bia jadi dokter."
Abi mengabaikan Nadine yang kini menatapnya sendu. Anak lelaki itu masih fokus pada Aldric. Terus menyuarakan sesuatu yang tidak bisa Bia ucapkan lewat mulutnya.
"Bia nggak mau buat Papa kecewa," lirih Abi, "tapi Abi nggak suka liat Bia harus pakai topeng, terus pura-pura bahagia. Padahal Bia sering cerita ke Abi terus nangis. Abi sendiri nggak tau, Pa, harus apa. Karna Abi sama Bia tau semuanya ada di tangan Papa. Makanya Abi mau Papa diskusiin lagi sama mama. Model itu nggak buruk, Pa."
Aldric diam, sedang Abi memilih menghela napas untuk menutupi kegugupan. Dia tidak bisa berbicara seperti itu, tapi pada akhirnya Abi tetap melakukan.
"Nggak ada yang salah dari belajar untuk ngejar cita-cita jadi model, Pa. Salah kalau anak-anak papa sama mama jadi sesuatu karena paksaan orang-orang di luar sana."
"Teh, udah, ya?" Nadine terdengar membujuk Bia. Tangannya sibuk membelai rambut dan dahi Bia yang dipenuhi keringat. "Tidur, ya?"
Sambil menyandar pada punggung bed sofa, Abi menatap Nadine yang mengajak Bia berdiri. Sambil menatap mama dan adiknya menjauhi ruang keluarga, Abi lagi-lagi sibuk menyusun kalimat di kepala.
Ketika anak lelaki itu ingin buka suara, Aldric sudah melakukannya lebih dulu. "Papa nggak bisa." Keputusan Aldric seperti sudah bulat, dan Abi takut tidak bisa merubahnya.
"Kenapa, Pa?" tanya Abi ingin tahu, dia mengecap bibir bawahnya sambil menghela napas, menunggu jawaban Aldric.
"Papa nggak bisa lepasin adik-adik kamu pergi jauh, A."
"Bia niat ke negara orang bukan buat main-main, Pa. Abi tau kalau Bia serius. Dia mau belajar."
"Tapi nggak harus sejauh itu, A." Suara Aldric terdengar lelah, fakta bahwa anak keduanya tengah memasang bendera permusuhan membuat Aldric cemas sendiri.
"Kalau dia punya kesempatan, kenapa enggak, Pa? Abi, lebih-lebih Papa, kita tau dari kecil Bia mau jadi apa. Kenapa nggak disupport? Dia jadi ngerasa sendiri, Pa. Dia mikir kalau Papa nggak peduli sama masa depannya."
Abi menatap Aldric serius, papanya memang tipe penyayang, tapi untuk hal seperti ini, papanya sulit ditaklukkan.
"Papa nggak support di bagian mana, A?" tanya Aldric terdengar serius.
"Pertama, Papa nggak mau kalau Bia jadi model. Kedua, Papa nggak mau Bia pergi jauh."
"Papa nggak bisa awasin kalian dua puluh empat jam full, A. Juga papa nggak mungkin ikut kemana kalian pergi. Papa cuma bisa mastiin kalian aman di bawah atap ini."
"Terus masalah kalau Bia mau jadi model, gimana? Atau Papa lebih mau Bia stress karna harus ikutin kata-kata sepupu yang lain supaya dia jadi dokter?"
"Aa nggak paham situasi papa."
"Pa, kalau Papa terus kayak gini, Bia pasti mikir kalau Papa beneran nggak peduli. Terus abis itu apa? Kita nggak tau dampak apa yang bakalan muncul, Pa. Kita nggak bisa prediksi Bia bakal ngelakuin apa karna dia ngerasa ditekan."
Aldric menyentuh pelipisnya, "Papa nggak berani ambil resiko, A."
"Kurang dari dua tahun lagi Abi sama Bia juga bakalan pergi, Pa. Kita udah dewasa. Kita butuh ruang sendiri." Abi kembali menatap sang papa, lagi-lagi meyakinkan.
"Papa nggak pernah ngusik ruang kalian. Papa cuma nggak bisa biarin kalian pergi jauh."
"Papa lepasin Bia dan Bia punya kesempatan ngejar cita-citanya, atau terus iket dia dan ngeliat dia berubah jadi pribadi yang nggak bakalan kita duga."
"Maksud kamu apa, A?"
"Siapa yang sangka, Pa, kalau perempuan ceria yang hobi ketawa bisa berubah jadi orang paling suram. Bahkan nyentuh sesuatu yang nggak seharusnya disentuh. Rokok, atau yang lebih parah, narkoba."
Aldric melotot ke arah Abi. Dan Abi hanya mengedikkan bahu pertanda dia menyerahkan segala keputusan pada sang papa. Abi sadar bahwa dia telah membawa seorang lain dalam pembicaraan ini. Seseorang yang sejak tadi mengisi sudut kepalanya. Seseorang yang sudah menolaknya secara terang-terangan.
"Kalau Papa lepasin Bia, kamu bakalan nemenin dia?"
"Tergantung," jawab Abi santai, sedang Aldric mengernyit bingung. "Abi juga punya mimpi Abi sendiri, Pa. Bia pasti bisa jaga dirinya."
"Papa takut dia salah pergaulan di sana."
Abi diam, kembali berpikir. "Dia pasti bisa bedain mana yang bener sama yang buruk buat dirinya sendiri, Pa. Dia cuma butuh izin papa."
"Ok, Papa berubah pikiran. A, bener. Model itu nggak buruk, dan papa kasih lampu hijau." Aldric tampak menghela napas panjang. "Bia mau lanjut dimana, papa bakalan kasih izin."
Abi menahan senyumnya, jika tidak sadar, mungkin dia sudah melemparkan diri dalam pelukan sang papa. Dan Abi bersikap seperti biasa. Lalu teringat akan hal lain.
"Papa tau darimana tentang Isaac?"
"Papa nggak sengaja ngecek ponsel Bia. Papa nggak larang Bia deket sama siapa pun. Tapi di sini posisi Isaac lagi sakit, dan harus dibawa pulang ke negaranya, kan? Makanya papa minta Bia jauhin dia, supaya papa nggak perlu denger rengekan Bia buat beliin dia tiket pesawat untuk pergi sama Isaac. Udah papa bilang, papa nggak bisa lepasin adik-adik kamu pergi jauh."
Abi menatap Aldric yang kini mengusap wajah entah untuk yang keberapa kali.
"Papa bukan ayah impian kalian kayaknya, karna sering kasih larangan."
"Nggak gitu, Pa," sahut Abi langsung karena merasa tidak enak.
"Tapi papa kayak gitu karna sayang sama kalian semua. Papa pernah biarin mama pergi buat tujuh tahun, A. Dan papa nggak mau ngelakuin hal yang sama ke kalian."
Abi terdiam. Dia baru saja mendengar sebuah fakta, bukan?
"Maksud papa?" tanya Abi penasaran.
"Kapan-kapan papa cerita," jawab Aldric kalem. "Kamu masuk kamar sana. Besok pagi papa mau semuanya berubah baik-baik lagi."
• r e t u r n •