23 - Maaf

1449 Kata
"Hari ini kamu kenapa gak masuk?" Renat mengernyit bingung kala mendapati pertanyaan semacam itu. Terlebih, ketika Abi mulai mengambil tempat duduk di depannya. Laki-laki itu menatap Renat lurus, sedang Renat tengah berusaha membuang muka. "Lo kenapa, sih? Sakit?" tanya Renat seram sendiri. Kenapa memangnya jika ia tidak masuk? Bukankah tidak ada urusan sama sekali dengan Abi jika Renat memilih di rumah dan menghabiskan waktu dengan menonton film? Abi memberikan gelengan singkat, menyandarkan tubuhnya pada punggung kursi. "Kenapa makan mie?" "Daripada makan temen," celetuk Renat asal. Dan Abi yang secara tidak sadar tengah menarik sudut bibirnya akibat jawaban Renat, buru-buru mengembalikan ekspresi wajah seperti semula. "Kamu tau kalau makan mie bisa bikin mati?" Ucapan yang sering diucapkan Nadine, kembali Abi ucapkan pada Renat. Namun perempuan itu hanya mengedikkan bahu. Setengah karena malas menjawab, setengah lagi tidak peduli atas pertanyaan tersebut. "Gue liat pacar lo ke dalem. Susul gih! Daripada ganggu pemandangan gue disini." "Haruka cuma temen," jawab Abi pelan. Tapi tidak untuk Renat, karena perempuan itu sukses tersedak mie. Buru-buru diambilnya air mineral, meneguknya sebanyak mungkin. Apa tadi yang Abi katakan? Sepertinya Renat butuh setruk es untuk dilemparkan ke wajah Abi agar lelaki itu sadar. Renat hanya tidak percaya. Ekspresi Abi ketika berkata seperti tadi seakan-akan menjelaskan bahwa Renat tengah mengharapkan laki-laki itu. "Mau dia jadi nenek lo juga gue gak peduli. Udahlah, mendingan lo pergi. Gue males disalahin karna nanti salah bicara lagi di depan tu cewek." Kena. Renat menatap wajah Abi yang tiba-tiba berubah ekspresi. Renat memang tengah menyindir laki-laki itu. Dan Abi kembali merasa bersalah karena pernah menyakiti Renat dengan kata-katanya yang kasar. "Maaf, buat yang waktu itu." Abi menatap Renat serius. "Kenapa? Kenapa jadi lo yang nyesel?" "Gak juga." Dan jawaban itu benar-benar menyulut emosi Renat. Tapi perempuan itu hanya menatap Abi tidak peduli. Renat memilih mengecek saku jaketnya, memastikan benda yang baru saja ia beli tidak tercecer. Namun ketika ponsel Renat mendadak berdering, perempuan itu kaget sendiri hingga tangannya keluar secara kasar dari saku. Membuat benda putih panjang ikut terlempar keluar. Namun Renat tidak sadar. Perempuan itu terlalu fokus pada nama yang kini tertera di layar ponsel. Ibu Gita Anindya is calling.... Akhirnya, Renat memilih menolak panggilan. Membalikkan ponsel dan lanjut memakan mienya. Sedangkan Abi, lelaki itu sukses membeku di tempatnya. Ditatapnya benda putih panjang yang tidak sengaja keluar dari saku jaket Renat. Rokok. "Kamu ngerokok?" tanya Abi langsung. Demi Tuhan, bagi Abi, haram untuk perempuan menyentuh hal semacam itu. Renat tegang di tempatnya. Ia menatap Abi kian emosi. Perempuan itu benci ketika ada yang ikut campur urusannya. "Bukan urusan lo," sahut Renat bersiap berdiri. "Udah ada yang kamu coba?" "Kepo banget, sih?" Renat berjalan lebih cepat, tapi Abi sendiri juga ikut menyusulnya. Tangan lelaki itu menggapai lengan Renat, meminta perempuan itu berhenti. "Kamu gak seharusnya ngerokok, Re," kata Abi dan jelas terdengar ketidaksukaan dalam nada bicaranya. "Lo siapa, sih? Sadar diri sana!" Renat menolak kasar tubuh tersebut. Perempuan itu hanya ingin memisahkan diri dari Abi. Karena ia takut sesuatu yang tidak diharapkan terjadi. "Kamu itu perempuan, gak seharusnya nyiksa diri kayak gini. Cukup rambut kamu yang dipotong." "Abi lo bisa sadar diri nggak, sih? Sadar posisi lo. Sadar lo siapa, gue siapa. Kenapa gue harus dengerin kata-kata lo sedangkan dulu lo selalu cuek sama gue. Kenapa sekarang lo bertindak seakan-akan kita temenan udah lama. Padahal dulu lo selalu anggep gue bayangan, Bi." Abi terdiam di tempatnya. Kata-kata Renat menamparnya keras. Ya, kenapa dia harus bersikap sangat peduli sekarang? "Gue gak suka ada orang yang peduli sama gue. Apalagi lo. Orang yang terang-terangan benci sama gue, sekarang malah sok-sokan mau jadi temen gue. Gue gak butuh superhero kesiangan, gue gak butuh ibu peri, gue gak butuh pangeran-pangeran Disney, Bi." Air mata Renat mengalir, namun hatinya masih panas ingin mengungkapkan segala resah. "Gue Renata. Gue bisa lindungin diri gue sendiri. Gue gak butuh kehadiran lo, apalagi buat jadi reminder. Gue punya tujuan gue sendiri. Dan lo seharusnya gak ikut campur." Abi sukses terdiam. Jika ditelaah, perubaan sikap Abi memang terkesan tiba-tiba. Hanya saja, Abi seperti ini karena otaknya sudah memberi instruksi. Membantu orang-orang. Abi merasa bahwa ia memiliki tanggung jawab terhadap Renat. "Duduk dulu, gak enak diliatin orang-orang." Abi ingin meraih tangan tersebut, tapi Renat lebih dulu menghindar. "Gue bilang ya sama lo, gak usah sok deket sama gue. Kita kayak dulu aja. Waktu lo selalu ninggalin gue karna risih sama suara gue. Waktu lo selalu anggep senyum gue itu racun yang bisa bunuh lo kapan aja. Waktu keceriaan gue lo anggep hal paling sampah dan gak seharusnya ada." "Kamu harusnya tau kalau langkah kamu salah, Re." "Ha? Bukannya ini yang lo mau? Gue berubah tanpa lo minta, Bi. Gue pergi tanpa lo suruh. Walaupun bukan karna lo, tapi lo tetep bisa kok bikin party karna gue gak akan gangguin lo lagi." "Mama kamu bakalan kecewa kalau kamu kayak gini." Renat kian terisak, ditatapnya Abi tajam. "Lo gak tau apa-apa! Lo gak kenal gue sepenuhnya, Abirayyan!" Setelahnya Renat benar-benar pergi. Ia meninggalkan Abi yang kini terdiam dan semakin dilingkupi rasa bersalah atas air mata Renat. Memang benar, Abi tidak mengetahui Renat. Dan seumur-umur, baru kali ini Abi membuat perempuan menangis karena ulahnya sendiri. Dan Abi takut, dia takut jika semuanya berbalik menjadi bumerang. • r e t u r n • Abi mengendarai motornya tidak biasa. Ketika laki-laki itu menemukan celah, pasti kecepatan motor akan ditambah olehnya. Abi marah pada dirinya sendiri. Setelah sekian lama Abi selalu diterima orang-orang dengan tangan terbuka, tapi tidak kali ini. Tepat di depan wajah Abi, seseorang menolak keberadaannya keras. Dan ternyata, cukup menyakitkan. Abi memutar memorinya menuju momen-momen lalu. Ketika ia begitu membenci Renat yang ceria. Ketika kecerewetan Renat kerap membuatnya sakit telinga. Atau tawa dan senyum Renat yang malah membuatnya malas menatap perempuan itu. Lalu perlahan Abi sadar, bahwa sebelumnya ia terlalu meremehkan suatu hal. Salah siapa dia jadi nolak lo terang-terangan, Bego? Abi bingung harus melakukan apa. Terlebih, dia tau fakta bahwa Renat tengah coba-coba untuk merokok. Dan Abi, entah mengapa seperti diberi kewajiban untuk mencegah hal tersebut. Jika ditanya, pernahkah Abi merokok? Laki-laki itu tidak akan segan-segan untuk mengangguk. Karena Abi juga manusia yang dipenuhi rasa penasaran. Merokok, pernah dilakukan Abi sekali ketika duduk di kelas sepuluh semester dua. Memang hanya satu kali. Karena setelahnya, Abi memilih menjauhi benda sialan itu. Bukan karena takut ketagihan. Tapi memang rasanya yang tidak enak. Paru-paru Abi seakan dipenuhi asap. Telinganya terasa aneh. Dia benar-benar seperti dibunuh perlahan ketika menyesap dan menghembuskan asap yang dihasilkan oleh benda kecil itu. Dan bagi Abi, akan lebih wajar bila hanya laki-laki yang merokok. Bukan perihal membeda-bedakan, tetapi, makhluk selembut dan seanggun perempuan rasa-rasanya memang tidak enak bila didapati merokok. Abi hanya menyayangkan pilihan yang Renat ambil. Padahal besar kesempatan perempuan itu untuk membuktikan pada dunia berbagai prestasi yang ia punya. Abi sadar bahwa ia sedang peduli, dan Abi tidak akan membuat penyangkalan teruntuk hal tersebut. Mendekati pukul delapan, Abi baru tiba di kediaman milik almarhum Opa Buyutnya. Di rumah besar bergaya modern itulah seluruh keluarga besar Abi berkumpul. Mamanya mengatakan bahwa hal semacam itu sudah menjadi kebiasaan. Dan masih bertahan hingga sekarang. Setiap hari sabtu di penghujung bulan, akan diadakan makan malam keluarga besar. Hal tersebut diciptakan oleh Opa Buyutnya sendiri agar anak dan cucunya dapat berbagi cerita atau berdiskusi. Abi menatap jejeran mobil yang sudah terparkir rapi. Akhirnya lelaki itu turun dari motor, berjalan cepat menuju rumah. Ia membuka pintu utama, dan suara gelak tawa mulai terdengar. "Nah itu dia orangnya," ujar Naofal, sepupu Abi yang lebih mudah satu tahun darinya. "Dari mana aja, A?" Abi membuka jaketnya, lalu mengambil tempat di sebelah Bia yang tengah fokus makan. "Gak dari mana-mana, jalanan macet." Lulu, sepupu Abi yang memang paling tua di antara mereka semua ikut-ikutan buka suara. "Ah, paling pacaran dulu si Aa. Kan satnight." "Iya, pacaran sama angin," balas Abi datar sambil menerima piring berisi nasi yang disodorkan Nadine. "Eh tapi iya, si Aa udah punya pacar." Nadine tertawa, diikuti tatapan penuh rasa penasaran dari yang lain. "Bohong," jawab Abi kalem. "Kemarin yang bales chat itu?" "Ya kalau chattan kan bukan berarti pacaran, Ma." Nadine merengut karena kelakuan si sulung. Lalu muncul suara lain yang berasal dari Oomnya. Sean. "Mama kamu dari kecil emang gitu, A, suka maksa orangnya. Untung Aa anaknya, sama orang lain biasanya kalau nggak nurut suka langsung dibasmi." "Ngomong aja, Yan," balas Nadine terlihat kesal. Sedang Abi hanya tertawa menatap kedua orang dewasa itu bertukar kalimat dengan nada sengit. Candaan tidak terelakkan, membuat orang-orang lepas kendali lalu tertawa. Bahkan Bia, adiknya tersebut juga tertawa. Walau hanya Abi yang mengerti, bahwa tawa itu hanyalah sebuah topeng untuk menutupi rasa sakit. Abi mendekati telinga Bia, berbisik pelan disana. "Aa mau kita ajak Papa bicara abis ini." • r e t u r n •
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN