Pukul satu dini hari.
Pintu kamar Abi terdengar diketuk perlahan. Entah siapa seseorang yang berada dibaliknya. Tapi lelaki itu tetap bergeming dibalik selimut. Suhu kamarnya yang rendah membuat Abi tertidur sangat lelap karena nyaman.
Lagi-lagi pintu diketuk, knop pintu bergerak naik turun. Tapi pintu tidak bisa terbuka sebab sang empu ruangan sudah menguncinya dari dalam. Samar-samar, mulai terdengar isak tangis yang memecah keheningan malam.
Pintu yang tadinya diketuk berganti dipukul dengan tidak sabaran. Knop pintu masih bergerak naik turun. Abi reflek membuka mata hingga gelap menyambut. Buru-buru anak lelaki itu menyalakan lampu tidur di meja nakas sisi kanan.
Abi perlahan turun dari tempat tidur, kakinya melangkah pasti menuju pintu di sudut kiri ruangan. Ketukan tersebut masih terdengar, dan Abi setia mengernyit sejak tadi.
Diputarnya anak kunci, lalu pintu terbuka secara tidak sabar oleh seseorang yang sejak tadi mengetuk. Abi kaget, dan hampir saja terjatuh ke belakang sebab orang tersebut langsung melompat memeluknya.
Bia.
"Aa," isaknya sambil menggenggam erat kaus abu-abu milik Abi.
Abi dengan cepat menggiring Bia masuk setelah sebelumnya menutup kembali pintu kamar. Didudukkannya Bia di tempat tidur, sedang ia memilih duduk di bawah, di hadapan Bia.
"Kamu kenapa?" tanya Abi akhirnya setelah beberapa saat hanya hening di antara mereka.
"Sebelum tidur Papa datengin kamar aku. Terus ternyata Papa tau Isaac siapa, A. Papa minta aku selesein hubungan aku sama Isaac. Aku bilang gak mau. Karna Isaac bakalan balik ke negaranya cepat atau lambat."
"Inggris?" tanya Abi pelan dan Bia mengangguk. Lelaki itu langsung saja mengusap wajahnya. Ia sungguh bingung harus apa.
"Bukannya kamu juga bakalan kesana abis lulus?" Abi mengusap jari jemari kaki adik perempuannya itu, memperhatikan kuteks hitam yang melapisi kukunya.
"Dan Papa terang-terangan gak ngasih izinnya, A. Bia harus gimana?" Bia mengusap kulit kepalanya, tampak amat tertekan.
"Iket dulu rambutnya," ujar Abi serius. Jujur saja, siapa yang tidak ngeri melihat perempuan menggerai rambut dengan wajah sembab di jam satu pagi?
Bia menurut, lalu mengikat rambutnya dengan ikat rambut hitam yang berada di pergelangan tangannya. Abi berjalan mengambil handuk, lalu memberinya pada Bia. Bukannya menurut, kali ini Bia malah merengut sebal. Kesal pada sang kakak yang masih memikirkan kebersihan dan kerapian disaat seperti ini.
Abi memilih duduk di kursi belajarnya di hadapan Bia. Mulai menarik napas sebelum buka suara. "Kita bujuk Papa."
"Kalau gak bisa?"
"Tapi Aa cuma bantu buat lanjutan pendidikan kamu abis lulus SMA. Buat Isaac, A kayaknya gak bisa."
"Tapi, A, Bia bener-bener gak bisa biarin Isaac sendirian."
"Bukannya kalian baru kenal? Kenapa seolah-olah kamu udah deket sama dia bertahun-tahun?"
"Bia yang udah lama suka sama dia, makanya Bia seneng waktu dia deketin Bia," jawab Bia jujur. "Dan kemarin, Bia denger waktu dia lagi telponan sama Ayahnya, dan mereka bahas penyakit, A."
"Maksud kamu? Isaac yang sakit apa Ayahnya?"
"Isaac." Lagi-lagi Bia terisak. "Dan itu yang bikin Isaac bakalan cepet pulang ke negaranya. Karna dia harus jalanin pengobatan. Bia gak mau dia sendirian. Bia mau nemenin dia."
"Papa gak mungkin kasih izin," unkap Abi jujur.
"Bia tau. Tapi kemungkinan besar Bia gak akan ketemu lagi sama Isaac karna dia gak akan lagi balik kesini."
"Buktiin ke Papa, kalau kamu bisa mandiri. Abis itu, kamu bisa lanjut ke luar bukan cuma buat pendidikan kamu, tapi juga buat Isaac."
"Aa—" Kalimatnya kembali tertahan karena isakan, lagi-lagi ia memeluk Abi. Lelaki itu hanya bisa mengusap punggung Bia, berusaha menenangkan. "Bia gak mau Isaac pergi, A. Bia gak mau bikin Papa kecewa."
"Dia harus sembuh, dan cara sembuhnya ya dengan harus pergi, jalanin pengobatannya. Kamu gak punya hak buat ngelarang, yang bisa kamu lakuin sekarang cuma belajar yang bener. Supaya bisa buktiin semuanya ke Papa."
Kepala Abi berpikir keras. Tidak tega melihat adiknya yang kesakitan. Akhirnya, Abi mulai menuntun Bia untuk lebih naik ke tempat tidur. Mengajak adiknya tidur sekarang adalah pilihan yang tepat. Karena besok, mereka harus tetap bersekolah.
Dalam diam, tepat di sebelah Bia, Abi menghela napas. Memikirkan bagaimana caranya agar lebih bisa membantu Bia.
• r e t u r n •
"Eh, Teteh sama Aa tidur bareng semalem?" Nadine bertanya tepat ketika Abi memasuki ruang makan. Bia tertawa, dan Abi reflek menatapnya tidak suka. Disaat seperti ini, adiknya masih sanggup menutupi luka. "Jangan lupa ya, makan malam hari ini," lanjut Nadine.
"Efek creepypasta yang diceritain sama Judith, tuh, makanya Bia pindah ke kamar Aa," celetuk Bia ke arah Judith yang sibuk menelan sereal.
"Teteh penakut, padahal kita bacanya di ruang keluarga. Besok-besok Judith ajakin ke kuburan aja sekalian, atau kamar mayat." Judith mencibir menatap Bia.
Bia langsung melempar anggur ke arah Judith, "Kamu aja sendiri!"
"A, ngapain masih berdiri diem disana? Lagi mannequin challenge, ya?" Abi tersadar karena ucapan konyol Judith. Adik bungsunya tersebut sibuk tertawa, sedang Abi buru-buru mengambil kursi di sebelah Bia.
Ditatapnya Bia sekali lagi, dan mengernyit ketika Bia malah menunjukkan senyum pada Abi.
"Kamu gak apa-apa?" Abi berbisik, dan ditanggapi Bia dengan mengedikkan bahu. Ya Tuhan, Abi benar-benar dibuat pusing oleh tingkah adiknya itu.
Tampak Aldric yang tengah memasuki ruang makan, dan Abi cukup terkejut ketika mendapati Bia berdiri. Berjalan ke arah Sang Mama untuk mengecup singkat bagian pipi dan berpamitan. Mata Abi fokus meneliti gerakan Bia, dan ketika melewati Aldric, Bia hanya lewat. Tidak mau merepotkan diri untuk menyapa Sang Papa.
Dan hal tersebut sukses membuat dahi seluruh anggota keluarga mengernyit, terlebih Aldric. Abi yang paham situasi buru-buru menyusul. Pamit kepada Papa dan Mamanya juga Judith.
"Bia," panggil Abi ketika melihat adiknya tersebut membuka pagar. "Bia tungguin Aa." Tapi Bia diam, melanjutkan kegiatannya lalu berjalan cepat di jalanan.
Adiknya pergi sendirian?!
Abi buru-buru menaiki motor, menyusul Bia secepat mungkin. Tepat ketika motor tersebut berhenti di depan Bia, dengan jelas Abi dapat melihat air mata yang mengalir.
"Naik," perintah Abi. Dan bukannya naik, Bia malah menangis lebih kencang.
"Aa—" isaknya kesulitan untuk menyambung kalimat.
Abi buru-buru menarik pergelengan tangan Bia. Dengan pelan meminta adiknya mendekat. Bia menurut, masih dalam keadaan menangis.
"Nanti baju Aa kotor karna Bia," ujar Bia takut-takut.
"Gak apa-apa. Pegangan, A anter ke sekolah."
• r e t u r n •
Abi buru-buru menutup pintu. Ponselnya berbunyi sejak tadi. Sambil berjalan ke motor dan menutup pagar, Abi mengangkat panggilan.
"Iya ini Abi udah mau jalan, Ma," ucap Abi sambil memutar kunci motor. Dimatikannya ponsel, lalu bersiap untuk bergerak. Tapi sebuah panggilan lagi-lagi menginterupsi Abi.
"Abi." Abi menoleh, mendapati Haruka yang berlari ke arahnya.
"Kenapa?" tanya Abi cepat.
"Aku nebeng dong, mau ke swalayan. Nanti pulangnya aku sendirian, deh."
Abi hanya mengangguk mengerti, tidak lagi banyak bertanya dan membiarkan Haruka naik lalu memeluk pinggangnya cukup erat.
Di sepanjang perjalanan, Abi sama sekali tidak berusaha untuk membuat obrolan. Anak laki-laki itu terlalu sibuk bersama pikirannya sendiri.
Tentang Bia yang sejak pulang sekolah hanya berdiam diri di kamar dengan tidur. Ketika Nadine memintanya mandi, Bia mandi. Dan kehadiran Aldric benar-benar diabaikan oleh remaja cantik tersebut.
Tidak hanya itu. Nama Renat juga ikut bersarang dalam kepalanya. Kemana perempuan itu hari ini? Kenapa lagi-lagi Renat memilih bolos dan mengabaikan kewajibannya sebagai siswi SMA?
"Abi ih diem aja! Aku kan ngomong dari tadi." Abi tersentak, lalu cepat-cepat meminta maaf. "Kamu mau kemana kok rapi?"
"Makan malam keluarga besar, biasalah," jawab Abi langsung.
Setelah itu hening. Haruka tidak lagi bertanya. Sedang Abi kembali sibuk dengan pikirannya sendiri.
Sepuluh menit kemudian, mereka tiba di swalayan. Haruka turun setelah mengucapkan terima kasih.
"Kamu langsung pergi?" tanya perempuan itu, dan Abi mengangguk. "Yaudah, hati-hati, ya."
"Kamu juga," balas Abi, lalu membiarkan Harukan masuk swalayan.
Ketika Abi ingin menjalankan motornya, matanya berhasil menangkap seseorang yang tidak asing. Mie cup tersebut tampak lancar dimasukkan ke mulut. Lalu ketika kepanasan, ia buru-buru meneguk air mineralnya.
Dan entah disihir oleh siapa, Abi kembali mematikan mesin motor. Membuka helm lalu mengacak rambut sebentar sebelum berjalan mendekat. Manusia yang tampak sibuk dengan mie tersebut sepertinya tidak menyadari keberadaan Abi.
"Kamu ngapain disini, Re?" Dan pertanyaan itu meluncur lancar dari mulutnya. Hingga yang diajak bicara sukses mendongak. Mie yang masih menyangkut buru-buru ditariknya agar masuk ke mulut.
"Ngapain lo nyapa-nyapa gue?" balas Renat terdengar sebal. Walau jantungnya seperti akan meledak karena lagi-lagi melihat wajah Abi.
• r e t u r n •