Renat masuk ke kelas tepat ketika bel istirahat berbunyi. Hatinya masih kesal, sebab Abi begitu memperbudaknya untuk membersihkan aula yang luasnya minta ampun. Ketika lelaki itu pergi ke kantin, Renat berpikir bahwa Abi akan membelikan sebotol air mineral pula untuknya. Tapi memang dasar Abi berkepala besi, lelaki itu hanya membeli untuk dirinya sendiri.
"Re," panggil seorang teman perempuan bernama Fika pada Renat. Renat menoleh malas, sebab jika ditelaah, kelakuan Fika sama saja seperti Anna. Fika menahan kalimatnya, tau bahwa Renat seperti tidak bisa diganggu.
"Kenapa, sih?" Renat bertanya dengan nada ketus. Geram digantungkan seperti itu. "Ngomong aja sih, elah."
"Lo," celetuk Fika memulai, "lo kok bisa bareng Abi? Kalian ngapain di aula? Berduaan doang?" Renat mengernyit. Beberapa pertanyaan bodoh yang sontak membuat Renat mual.
"Kepo lo," balas Renat setelah duduk di kursinya. Bukannya membuka buku karena ketinggalan pelajaran, anak perempuan itu ternyata tampak sibuk dengan ponsel.
Tidak ada yang bisa Renat lakukan ketika lagi-lagi ia harus merutuki kebodohannya karena sudah meninggalkan dompet. Renat tidak bisa ke kantin. Renat tidak bisa berbuat apa-apa selain menahan lapar di perutnya. Dan ia berharap ponsel dapat mengalihkan rasa lapar tersebut.
"Ngapain ya enaknya?" Renat berbicara seorang diri. Ketika dia merasakan seorang mendatangi mejanya.
Masih dengan orang yang sama ternyata, Fika menatap Renat dengan wajah merah padam. "Apaan lagi, sih?" tanya Renat tidak sungkan menunjukkan wajah tidak suka.
"Lo harusnya gak deketin Abi, Re!" kata Fika terdengar bergetar. "Dari dulu lo selalu aja deketin Abi."
"Apaansih kok lo tiba-tiba gini?"
"Iya gue cuma mau lo tau mulai dari sekarang. Lo udah berubah, kan? Ya sadar diri aja. Abi juga gak bakalan mau sama cewek berandal kayak gini."
"Lo kesurupan?!" ujar Renat tidak suka. "Jaga omongan lo."
"Terus kalian ngapain di aula berduaan?"
"Gak usah kepo!" hardik Renat selanjutnya. Pandangannya dialihkan pada ponsel.
"Tinggal dijawab doang emangnya susah?" Fika balik mengeraskan suara. Membuat beberapa anak yang sedang berada di kelas menoleh penasaran. "Lo ngapain sama Abi di aula?"
"Mojok!" Renat balas berteriak. Sengaja membuat panas Fika. "Gak usah marah ke gue gitulah, Bego. Abi yang ngajakin kesana karna kita juga telat. Puas lo?"
Jawaban berbohong Renat ternyata mampu membuat Fika percaya, bahkan perempuan satu itu sepertinya sudah terbakar karena membayangkan apa saja yang Renat lakukan bersama Abi.
"Bohongkan lo?"
"Ngapain bohong? Yaudah sih suka-suka lo mau percaya apa enggak. Gue gak maksa."
"Gue bakalan kejar Abi."
"Kejar ampe lo sakaratul maut juga gue gak peduli, Tolol."
Renat berdiri, bergegas meninggalkan kelas. Tepat di ambang pintu, Abi datang. Dan Renat reflek memberikan tatapan tajam pada lelaki itu. Tapi Abi sepertinya sudah berubah ke pribadi asalnya, karena ia sama sekali tidak menanggapi Renat.
Perempuan itu bergegas menuju tangga, ingin pergi ke tempat favoritnya. Tapi Renat rasanya ingin mati karena harus menahan lapar. Walau hanya minum, Renat akan sangat bersyukur.
Renat mengambil duduk sambil merasakan semilir angin pagi menjelang siang. Ia menatap langit. Lagi-lagi menikmati rasa sakit yang menjalar di setiap tulangnya.
Jika ia tidak salah menghitung, mungkin mulai minggu depan kedua orangtuanya akan sibuk mengurus perceraian. Suara Renat benar-benar diabaikan. Sebagaimanapun ia meminta semuanya dibatalkan, itu tidak akan pernah terjadi.
Jika orangtuanya memiliki pilihan sendiri, maka begitu juga dengan Renat. Orangtuanya berubah, maka Renat pun akan. Terkadang, Renat benar-benar harus bisa mengambil sebuah keputusan. Dan Renat tau bahwa itu akan berdampak pada dirinya sendiri.
Dan semenjak perubahannya, sudah dua kali Renat disentak oleh orang lain. Anna, lalu Fika. Dan berikutnya siapa lagi?
• r e t u r n •
Abi yang baru saja duduk di kursinya seketika mendongak, menatap bingung pada Fika yang sekarang sedang berdiri di sebelah mejanya. Wajah perempuan itu terlihat merah. Entah habis menangis atau habis marah-marah, Abi tidak tau.
"Bi," panggil Fika bergetar. "Aku suka sama kamu." Abi mengernyit di tempatnya. Ini memang bukan pertama kalinya ada seseorang yang menyatakan kalimat seperti itu kepada Abi. Dan jawaban lelaki itu akan selalu sama.
"Kamu salah alamat."
Lalu ia bisa apa? Menerima mereka? Jangan gila. Abi tidak mungkin melakukannya. Sebisa mungkin dia tidak akan bersikap kasar pada perempuan. Tapi tunggu, apa yang selama ini telah Abi lakukan kepada Renat, bukankah sudah termasuk dalam kategori kasar?
Abi menggeleng, berusaha membuang nama perempuan itu dari kepalanya.
"Kamu udah punya pacar?" Fika bertanya lagi, dan Abi hanya menggeleng.
"Mau aku kasih tau sesuatu?" Abi berdiri, menatap perempuan di depannya sedikit serius. Tanpa menunggu jawaban Fika, Abi memilih bersuara. "Besok, jangan ngungkapin perasaan duluan. Kodrat kamu dikejar, bukan ngejar."
Setelah itu Abi berlalu, berjalan cepat menuju kantin sebagai alasan agar bisa menjauhi kelas. Tidak lagi peduli pada Fika yang entah sedang melakukan apa di dalam kelas. Rasa-rasanya, Abi ingin pindah sekolah. Ia lelah dengan kelakuan orang-orang sejenis Fika.
Tapi mungkin normal sebenarnya ketika orang mengungkapkan sesuatu seperti rasa suka pada orang lain. Tapi tidak untuk Abi, terlebih perempuan yang jujur pertama kali padanya. Lebih-lebih, anak lelaki itu tidak pernah menebar benih harapan kepada siapapun.
Abi tidak pernah mengajak bicara seseorang apabila tidak penting. Abi tidak pernah meminta tolong kepada orang lain bila tidak terdesak. Dan sangat tidak pernah mencari perhatian perempuan manapun dengan pura-pura salah kirim chat kepada mereka. Abi bukan Victor.
Baru saja dipikirkan, anak laki-laki itu muncul dari depan dengan sebotol minuman di tangannya. Victor bergerak cepat ke arah Abi sambil tertawa. Dan Abi segera memberi kode dengan tangan agar Victor melemparkan minuman tersebut.
"Darimana aja lo?" Abi menggeleng, dengan cepat meneguk minuman di tangan. Setelah selesai, ia kembali memutar tutupnya agar tertutup. Lalu mengembalikannya kepada Victor.
"Habis dihukum," celetuk Abi lanjut berjalan. Kakinya hapal menuju kantin.
"Eh, buset, serius? Kok bisa?"
"Kan gue telat."
"Dihukum ngapain? Sendirian?" Abi memberikan ekspresi malas pada Victor yang banyak bertanya. Tapi Victor hanya nyengir kuda, menunggu jawaban Abi.
"Bersihin aula. Iya sendiri." Abi berbohong, tapi Victor sepertinya cukup pintar memahami air wajah Abi.
"Beneran sendiri? Di kantin gue denger gossip lu bareng cewek di aula."
"Gossip mulu lu dengerin."
"Jadi bener nggak?" Victor mendesak, mengejar Abi yang berjalan lebih cepat.
"Kagak," jawab Abi malas-malasan. Ketika memasuki kantin, banyak pasang mata yang melihat pada mereka berdua. Abi buru-buru mencari tempat duduk, sedang Victor sudah dimintanya memesan makanan lebih dulu.
Tangannya bergerak terampil di atas ponsel, lagi-lagi bermain games. Dan anak lelaki itu baru mengingat perihal bekal yang diberikan Mamanya tadi pagi karena ada chat yang masuk dari Sang Mama. Jika ia ketahuan tidak memakan bekal, tentu saja Nadine akan sedih.
Abi membuka chat terlebih dahulu, fokus membaca.
Istri Papa: Bekal dari Mama!
Istri Papa: Jangan lupa dimakan!
Istri Papa: Kalau gak dimakan Mama ngambek sama Aa pokoknya.
Abirayyan: Iya.
Istri Papa: Pendek banget jawabnya, A?!
Abirayyan: Iyaaaaaaaaaaaaaa.
Abirayyan: Udah Abi mau makan dulu.
Istri Papa: Yaudah makan yang banyak ya, A!
Abirayyan: Mama gak capek daritadi pakai tanda seru terus?
Istri Papa: Ih suka-suka Mama atuh, A.
Abi jadi kegelian sendiri walau mulutnya tengah menahan tawa. Mamanya memang seperti anak-anak. Entahlah jika dulu. Karena Abi masih tidak tau seperti apa sikap Mamanya sebelum menikah. Abi dan adik-adiknya masih belum tau seperti apa cerita orangtuanya dulu. Dan yang membuat Abi kian geli, karena Papanya sering bertanya seperti apa chat Abi bersama Mamanya.
Tapi yang Abi sangat tau, tanpa harus dijelaskan, orangtuanya tentulah saling mencintai. Dan Abi bersyukur untuk itu.
"Nih, Pak Presiden," ujar Victor tiba-tiba sambil menyodorkan sepiring ketoprak pada Abi, juga sebotol minuman dingin.
"Makasih," kata Abi dengan tertawa. Ia kini sibuk makan, sedang Victor meraih ponsel Abi untuk menghilangkan bosan sambil sesekali mengajak Abi berbicara.
"Lo beneran di aula sendirian? Gak sama cewek? Orang-orang pada bilang Renat." Jika saja Abi tidak sabar, mungkin piring ketopraknya sudah terbang tepat ke muka Victor.
"Ngomong lagi lo yang gue makan."
"Terus lo tadi ditembak Fika? Gue denger cewek-cewek pada ngerumpi waktu mesen ketoprak."
"Tadi, di kelas."
"Lo tolak?" Abi mengangguk. "Buset, wajar sih." Victor terbahak sendiri karena alasan yang hanya ia sendiri yang tau. Abi lanjut memakan makanannya, walau tatapan laki-laki itu bertanya-tanya.
"Kenapa? Kok lo ngakak kayak setan begitu?"
"Iyalah. Soalnya Fika baru diputusin semalem. Tu cewek pacarankan cuman buat isiin bio sosmed doang. Untung ya lo gak nerima. Kasian ntar nama lo ada di bionya."
"Ya kagaklah, Dungu."
"Tapi, gue penasaran, gimana kalau nanti ada cewek yang nembak lo, terus ternyata lo suka sama dia?"
"Gue tolak."
"Terus?"
"Gue balik tembak dianya."
Tawa Victor makin lepas. Anak-anak yang berada di kantin menatap dua manusia tersebut penasaran. Bahkan Victor tidak menyangka bahwa Abi akan menjawab pertanyaannya dengan jawaban sejenis itu.
"Udahan anjing norak lo." Abi meraih minumnya, menatap Victor kejam. Dan Victor masih tidak peduli, ia tetap saja sibuk tertawa.
"Tapi, Bi, kenapa lo gak suka waktu ada cewek yang jelas-jelas ngejar lo? Kalau gue, udah pasang banyak kali."
"Yaudah lo aja. Gue ogah. Kalau deket gitu gue ok-ok aja. Tapi kalau udah nyata-nyatain, biarin aja cowok yang duluan kenapa, sih? Kasian."
Victor memutar ponsel Abi yang masih berada di tangannya, jidat lelaki itu mengernyit karena berpikir. "Tapikan itu karna mereka tau tu cowok gak bakalan nyatain, makanya ngaku duluan."
"Kalau tau itu cowok gak suka, yaudah tinggalin. Nanti juga nyesel sendiri terus si cowok inisiatif ngejar lagi. Tapi kalau gue ada di posisi si cewek, gue gak bakalan nerima tu cowok lagi, sih. Ya kalau gue, intinya harga diri."
"Lo sadar gak kalau conversation kita kali ini serius banget?"
"b*****t," sahut Abi lalu merebut cepat ponselnya. Berdiri meninggalkan Victor hendak memesan makanan yang lain.
• r e t u r n •
Renat memegang perutnya, lagi-lagi ia tidak masuk ke kelas dan mengikuti pelajaran hingga jam pelajaran usai. Ia menghabiskan waktu dengan memutar musik dan tidur di tempat teduh di atap sekolah. Perempuan itu sadar bahwa wajahnya sudah pucat. Dan sekarang, ia berharap bisa meluncur cepat dari tangga.
Kepalanya pusing, tangan halusnya sibuk memegangi kepala. Sepertinya ia harus mengemis untuk mendapatkan uang agar bisa membeli makanan.
"Kamu gak apa-apa?" Suara yang begitu Renat kenal menyapanya tepat ketika kakinya sampai di anak tangga terakhir. Abi.
"Gak usah sok peduli lo," hardik Renat sambil berjalan tertatih menjauhi Abi. Namun lelaki itu kembali bergerak lebih cepat, menggapai tangan Renat.
"Kamu pucet," kata Abi, tersirat kekhawatiran dalam nada suaranya.
"Iya, bentar lagi mati ini."
"Duduk disini dulu," ajak Abi, tapi Renat buru-buru menepis tangan lelaki itu yang hendak memegang bahunya.
"Apasih, ah!"
"Kalau mau mati di kamar kamu aja. Biar sekolah gak terlalu heboh kalau besok nemuin mayat kamu. Udah mati, tapi juga masih nyusahin orang lain."
Renat terbakar oleh kalimat tersebut, dan entah kekuatan dari mana, anak perempuan itu menolak Abi hingga lelaki itu terlempar beberapa langkah ke belakang.
"Kalau lo gak niat nolongin yaudah sana, pulang! Jauh-jauh dari gue."
Abi menghela napas, tidak memperdulikan perkataan Renat. Dan dengan gerakan cepat, ia menarik Renat agar duduk pada sebuah bangku yang memang disediakan di depan setiap kelas.
Tangan Abi membuka tas, mengambil bekal dari Sang Mama. "Ini, coba dimakan. Udah dari pagi, tapi kayaknya masih bagus."
"Gak mau," celetuk Renat dan Abi mulai kesal.
"Perlu aku suapin?!"
"Apaan, sih?"
"Aku tau kamu laper, Re. Makan sekarang."
"Kenapa lo harus belagak peduli, sih? Pergi aja sana, kayak yang orang-orang umum lakuin."
"Kamu kebanyakan ngomong."
Abi mulai membuka bekal, dan menemukan beberapa potong sandwich daging dan selai. Tangannya terpaksa mengambil salah satu, lalu mendekatkan sandwich tersebut tepat ke arah mulut Renat.
Jantung Renat berdetak lebih kencang. Lagi-lagi Abi melakukan hal-hal yang menurut Renat tidak biasa. Abi berubah, menurutnya. Dan Renat takut akan perubahan lelaki itu.
Abi sejak tadi diam, menunggu Renat membuka mulut. Dan perlahan, bibir pucat itu akhirnya mau terbuka. Lalu Renat berinisiatif untuk memegang sendiri sandwich tersebut. Membuang wajahnya dari Abi.
"Yaudah, abisin semuanya. Aku mau ke kantin dulu liat air mineral. Abis ini aku anterin kamu pulang."
Renat diam, membiarkan Abi menjauh. Matanya merah sebab kepedulian tersebut. Disaat ia benar-benar berpikir bahwa semua orang meninggalkannya, tapi lelaki itu malah berlaku sebaliknya.
Dan Renat takut, takut jika Abi berpura-pura. Takut jika Abi hanya kasihan padanya. Ya, siapalah dia. Hanya seorang perempuan terluka akibat keluarga yang terpecah belah.
• r e t u r n •