20 - Dihukum

1477 Kata
"Pegangan!" Abi bersuara lebih kuat, berharap Renat mendengar instruksinya. Sebut saja Abi gila karena bersikap aneh hari ini, dia akan terima. Hanya saja, Abi tidak pernah menyangka benang takdir akan seperti ini. Maksudnya, Renat adalah teman kecilnya. Dan hal tersebut benar-benar memenuhi kepala Abi, bahkan ia bisa meledak kapan saja. Perubahan drastis Renat, entah kenapa Abi merasa sangat bersalah untuk hal tersebut. Semua sikap bar-barnya terhadap Renat di waktu lalu, Abi menyesal melakukannya. Awalnya Abi berpikir bahwa Renat bersikap seperti anak-anak karena kepribadiannya yang tidak dewasa. Tapi seiring detik jam yang berputar, Abi sadar bahwa perempuan itu tengah berjuang menutupi suatu hal. Suatu hal yang teramat besar, dan sekarang orang-orang mengetahuinya. "Aa tau kalau anak-anak Cakrawala benci sama Teteh itu?" Semalam, di dalam mobil yang sunyi karena Judith sudah tertidur di jok belakang, Bia bersuara kepada Abi. "Maksud kamu?" tanya Abi kebingungan. Setelah memutar setir untuk berbelok ke kanan, Abi menoleh sekilas kepada Bia, meminta adiknya melanjutkan. "Iya," ujar Bia. "Jadi anak-anak satu sekolah selama ini mikir kalau Aa itu pacarnya Bia." Abi sukses terbatuk karena kaget. Dirinya benar-benar tidak bisa membayangkan jika saja Bia memang pacarnya. "A nggak apa-apa?" Abi mengangguk, "Lanjutin." "Terus, Aa kan berantem sama Teteh itu-" "Renata, namanya Renata." Abi menyebutkan dengan jelas. "Aa kan berantem sama Teh Renata, dan anak-anak mikirnya karna Teh Renata udah jadi pengganggu hubungan Bia sama Aa." "Serius?" "Ngapain juga Bia bohong? Bia baru tau beberapa hari kemudian karena liat videonya ada di group. Iya, A nggak usah kaget kalau hal kayak gitu bakalan kesebar cepet. Tapi yang pasti, kesebarnya cuma di sekitar Cakrawala." "Kok kamu yakin?" "Iya kebiasaan tu sekolah udah begitu," jawab Bia sambil mengedikkan bahu. Lalu kembali fokus menjelaskan. "Terus Bia marah dong, Bia bales aja pake ngancem mereka. Besoknya juga gitu. Bia ngomong kenceng di koridor dalam sama mereka semua, yah gak semua juga." "Menurut kamu mereka nurut?" "Nurutlah. Semua orang disana tau siapa Bia, A. Awalnya Bia males bawa-bawa posisi kayak gitu, cuman ya, Bia lebih nggak suka aja kalau berita itu terus-terusan didenger. Intinya sih, Bia bilang kalau Aa itu emang saudara kandung Bia. Dan mereka beneran pada kaget." Abi terdiam cukup lama, fokusnya seperti terbelah. Dia harus serius pada jalanan, tapi cerita Bia benar-benar sulit baginya untuk dipercaya. "Juga darisana, makanya Isaac berani deketin Bia," ujar Bia lagi, namun lebih pelan. "Tentang Renata dulu. Kamu udah pastiinkan kalau semuanya emang baik-baik aja?" "Udah. Mereka juga sempet cari sosial medianya Teh Renata. Pengen ngebully disana. Kadang itu anak-anak otaknya emang gak ada, uangnya doang yang kayak air terjun. Tapi sekarang udah aman kok." Klackson dari sebuah mobil berbunyi kasar, membuat Abi sukses tersentak dari lamunannya dan mendadak menarik rem. Ia menatap sekitar, dan teramat kaget ketika jarak sebuah mobil hanya dua langkah dari motornya. "Bisa bawa motor, nggak? Kasian itu ceweknya. Kalau mau mati sendirian aja." Sang pengemudi motor tersebut berteriak kasar. Membuat Abi sukses meringis. Buru-buru Abi meminta maaf dan segera melajukan motor. Matanya melirik kaca spion, ingin tau keadaan Renat. Tidak ada perubahan, wajahnya tetap datar tanpa ekspresi seperti biasa. Informasi dari Bia semalam, entah kenapa benar-benar menohoknya. Kebencian anak-anak Cakrawala terhadap Renat tentu saja disebabkan oleh dirinya. Salahnya sudah menarik perempuan itu tanpa hati. Salahnya sudah berkata kasar pada Renat. Karena sejatinya, Abi tidak tau apa yang Renat lalui selama ini. Keluarga yang hancur? Mana mungkin Abi mengalaminya. Keluarganya sempurna, teramat sempurna sampai ia tidak pernah takut terluka. Tetapi Renat? Abi tau Renat adalah anak tunggal. Dan kemana perempuan itu akan berpegang? Mamanya? Abi pikir tidak mungkin. Sang Papa? Entahlah, Abi hanya tidak yakin. Kembali, hati Abi seperti terombang-ambing. Sejak SMP, ia sudah terbiasa membela teman-teman perempuannya ketika mereka diperlakukan tidak adil. Di SMA, Abi juga beberapa kali membantu perempuan karena tidak tega. Tapi untuk yang satu ini, Abi pikir berbeda. Ketika dulu dirinya mati-matian membenci Renat, sekarang Abi dihukum oleh perasaan peduli yang mendadak saja muncul tanpa pernah ia minta sebelumnya. Abi menghela napas, pusing sendiri. Ketika tangan Renat mulai mengendur di pinggangnya, Abi buru-buru menahan. "Pegangan, nanti kamu jatoh." • r e t u r n • Renat tidak mengerti. Kepalanya diikat oleh tali kebingungan sejak tadi. Kenapa Abi bersikap seperti ini kepadanya. Pun ketika Renat berniat melepaskan pegangan dari pinggang lelaki itu karena ingin menggaruk pipi, ia sontak kaget sebab Abi menyentuhnya untuk kali kedua. "Pegangan, nanti kamu jatoh." Jantung Renat tidak baik sepertinya. Tangan Abi masih setia menggenggam miliknya, dan Renat tidak berani berteriak agar lelaki itu melepaskan. Bukan karena menikmati, hanya saja, Renat malas bersuara pada Abi. Karena amarahnya terhadap lelaki ini masih ada. Tidak lama, Abi akhirnya melepaskan. Renat memperhatikan Abi yang memang tampak serius pada jalanan. Berada di belakang lelaki ini, dengan punggungnya yang bisa dikatakan sandar-able. Terlebih wangi lembut khas Abi, sejak tadi memenuhi rongga hidungnya. Tidak lama, mereka tiba. Abi meminta agar satpam membukakan pagar. Setelahnya, Abi langsung menuju tempat parkir. Renat turun, disusul Abi. Tapi perempuan itu lebih dulu meninggalkan Abi di belakang. Tidak ingin berlama-lama berdekatan. Renat segera berbelok ke arah koridor untuk menuju tangga. Abi yang melihat bahwa arah Renat ternyata tidak menuju meja piket buru-buru diikutinya. Renat tersentak, akibat tangan yang kembali menggenggam pergelangan tangannya. Ia benar-benar ingin berteriak pada Abi yang kini tengah menariknya. "Bego, lepasin!" Renat akhirnya bersuara. Tapi Abi tidak peduli dan tetap menarik. "Abi gue bilang lepasin!" "Kalau kita dihukum, itu harus sama-sama." "Nggak mau!" teriak Renat tidak terima. "Lo aja sana, gue ogah." "Kamu sama sekali gak bilang makasih waktu turun dari motor, dan sekarang seenaknya kabur sedangkan aku nanti harus dihukum. Nggak bisa kayak gitu." Renat menatap Abi geram, diangkatnya pergelangan tangan yang digenggam oleh Abi. Dan tanpa peringatan, memberi gigitan disana. "s**t!" Abi berteriak karena rasa sakit yang menjalar di sekitar tangannya. Ia menatap Renat tajam namun perempuan itu buru-buru kabur. Tidak ingin Renat keenakan, Abi kembali mengejar. Dan tidak butuh waktu lama hanya untuk mengejar Renat. "Nurut, Renata!" Abi berkata tegas. Abi was-was jika Renat mengulang kembali ulah tadi. "Nyebelin lo, Bego," hardik Renat. "Diem!" Hampir mendekati meja, Renat merasakan genggaman Abi terlepas. Guru piket yang melihat kedatangan sepasang murid tersebut sontak mengernyit. Dan Abi langsung saja bersuara melaporkan keterlambatan mereka. "Pacaran dulu kalian?" sinis guru tersebut ketika tengah mencatat nama mereka. Renat mengernyit bingung, lalu merespon. "Ngomong aja, Buk." Sedang Abi hanya diam, tidak peduli ocehan sinis dari guru tersebut. "Ayo ikut saya!" Mereka mengikuti langkah guru tersebut menuju aula utama. Dibukanya pintu aula, lalu menatap Abi dan Renat bergantian. "Kalian bersihin aula. Inget, bersihin, jangan pacaran di dalem." Renat tanpa enggan menunjukkan kernyitannya pada guru tersebut. "Ngomong mulu, Buk." "Saya gak minat perempuan, Buk," celetuk Abi asal sebelum langkahnya memasuki aula. Meninggalkan Renat dan guru tersebut dengan ekspresi ngerti bercampur tanya. Tidak lama, Renat menyusul. Bukannya membantu, perempuan itu memilih duduk. "Gue gak mau kerja." "Jangan kayak bocah, bisa?" "Apaan, sih?!" "Tanggung jawab sedikit. Udah untung kerjanya berdua." "Gak ada untung-untungnya," sahut Renat ketus. Abi geram sendiri. Ia berjalan mendekati Renat dan perempuan itu sontak mengernyit. Renat menatap Abi yang melangkah makin dekat. Dan teramat kaget ketika Abi melemparkan kain padanya. "Bersihin," ujar Abi memerintah. "Siapa lo nyuruh-nyuruh gue?" "Bisa nggak mulut kamu tinggal jawab iya?" "Nggak bisa," jawab Renat lagi-lagi ketus. Abi hanya menghela napas. Tidak peduli bahwa Renat akan ikut bekerja atau tidak. Anak lelaki itu melempar tasnya ke lantai. Lalu membuka baju seragamnya hingga menyisakan kaus putih. "Anjing, lo ngapain?" "Kenapa?" tanya Abi balik, kebingungan. "Buka-buka segala mau ngapain?" "Menurut kamu?" Renat mengernyit tidak suka. Tapi Abi buru-buru berjongkok di depan Renat, memberi senyuman tipis. "Aku gak minat cewek, Renata. Apalagi ceweknya kayak kamu." Lalu Abi berdiri, meninggalkan Renat dengan wajah merah padam. Harga dirinya kembali diinjak oleh lelaki tersebut. Dan Renat benar-benar ingin membunuh Abi. Renat dengan cepat menyusul Abi. Dan dengan sedikit keahlian bar-barnya, Renat menarik rambut Abi kasar hingga Abi sukses meringis karena perih. "Ngomong lagi lo begitu gue sunat lo disini. Dasar iblis, otaknya udah pindah ke pantat." "Lepasin atau kamu aku bales?!" "Apa lo? Mau bales apaan lo ke gue?!" tantang Renat tidak mau kalah. Namun ketika Abi menarik tangan Renat sedikit kasar agar menjauh dari rambutnya, Renat sadar bahwa Abi benar-benar sedang menjelma menjadi iblis. Renat menatap lurus ke depan, namun langkahnya tertatih ke belakang. Dan Abi dengan tatapan yang sulit dijelaskan berjalan maju mendekati Renat. "Jangan ngedeket, Bego!" Abi hanya diam, tidak mengindahkan kalimat Renat. Hingga ketika Renat tersudut pada dinding, Abi sukses tersenyum tipis. "Kok berhenti? Nggak bisa kabur lagi?" tanya Abi menahan senyum. "Enyah lo, Bi." "Kalau aku gak mau?" Abi sukses mengurung Renat dengan sebelah tangan, mengunci tatapan mata perempuan itu. Dan Abi pikir dia positif gila. "Lo mau ngapa-" Ucapan Renat sukses terhenti ketika Abi kembali meletakkan kain untuk bersih-bersih tepat di atas bahu perempuan itu. "Kerja! Gak usah mikir aneh-aneh." Abi berkata ketus, lalu memisahkan diri secepat mungkin dari Renat. Dan dalam hati, Renat sibuk menyumpahi Abi. • r e t u r n •
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN