5 - Sendiri

1020 Kata
Bel pulang sekolah berbunyi lantang. Membuat semua warga sekolah dapat bernapas lega. Tidak terkecuali bagi penghuni 11 IPA 1. Mereka yang sejak tadi diam akhirnya grasak-grusuk. Setelah sekian lama berkutat dengan angka, akhirnya mereka bebas. Abi yang tengah memasukkan buku ke dalam tas tampak sibuk sendiri. Berbeda dengan Victor, teman Abi. "Eh, lo tau nggak, geng Enrico nantangin lagi?" Victor yang memang duduk di sebelah Abi bersuara, memberikan informasi. "Si rambut merah norak itu?" tanya Abi memastikan, Victor mengangguk mengiyakan. "Tu orang gak ada kapok-kapoknya. Udah tau badan lempeng kayak sedotan masih aja sok nantangin." "Jadi gimana? Kita kesana?" Tanpa pikir panjang Abi mengangguk. Dengan cepat lelaki itu menyelesaikan sisa barang-barangnya. Sedangkan Victor tengah menunduk dengan jemari yang lihai bergerak pada layar ponsel. Setelah beres semuanya, Victor berdiri lebih dulu. "Yok, cabut," ujar Victor sambil menepuk bahu Abi. Abi menyusul dengan menyamakan langkah Victor. Tangan Abi dengan segera mengambil ponsel dan menekan lama tombolnya berniat menyalakan benda itu yang sejak tadi mati. Sambil menunggu ponselnya selesai, Abi bersuara pada Victor. "Dimana emangnya?" tanya Abi sambil sesekali mengangguk samar pada banyaknya teman-teman yang menyapa. Ah, jangan sebut Abi sombong. Dia hanya bingung bagaimana caranya bersikap baik pada orang asing yang tiba-tiba menyapa. "Gudang gede itu, yang waktu pertama kali Enrico ngajakin barentem." "Itu tempat punya dia, emang? Kenapa suka bener ajakin berantem disana." Victor mengedikkan bahu, "Gak tau. Sewa kali?" "Tau, dah." Abi beralih pada ponselnya, menatap pada daya baterai. 98%. Masih sangat banyak. Dengan cepat jari Abi bergerak berniat mencari kontak Sang Mama. To: Mama Abi pulang telat, Ma. Sudah. Hanya itu. Setelahnya Abi kembali mematikan ponsel, walau tidak mati total seperti sebelumnya. Bermaksud agar ketika Mamanya menelepon, menjadi mudah. "ABI!" Suara teriakan menggema di sepanjang koridor. Renat, berlari ke arah dua lelaki yang kini tengah berbalik badan ke arahnya. "Lo pulang?! Kan kita mesti diskusiin materi Biologi, Bi." "Apaan?" Victor menyahut bingung, dahinya berkerut sebab berpikir. "Abi nggak bilang sama lo? Kan gue sama Abi bakal ikutan lomba senin depan." "Gak bisa, Re," ujar Abi tenang. "Aku ada urusan mendadak." "Yah, Bi, masa gue sendirian?!" "Yaudahlah sana!" usir Victor. "Lo kan udah biasa sendiri, kan?" "Heh!" teriak Renat pada Victor. Walaupun ucapan Victor menjentik hatinya, tapi Renat tetap berusaha terlihat biasa. Ia kembali menatap Abi, memberikan tatapan memohon. "Ayolah, Bi, masa tega kalau gue sendirian." "Buat hari ini nggak bisa. Kamu kirimin aja materinya lewat email. Nanti aku belajar sendiri." Abi berbalik, begitupun dengan Victor. Dan kedua lelaki itu berjalan meninggalkan Renat di belakang. Dalam diam, Renat menahan diri dan mengeluarkan tawa remehnya. Kapan, sih, gue nggak pernah ditinggal sendirian? batin Renat dengan mata masih menatap lurus pada punggung Abi. Berharap lelaki itu berbalik, walau akhirnya, Abi tetap pergi. • r e t u r n • "Iya, Buk, nanti saya sampein ke Abi. Saya pulang dulu, Buk." Renat keluar kelas setelah mengucapkan salam. Kakinya melangkah pasti di sepanjang koridor dengan kedua tangan memeluk beberapa buah buku. Ah, dia hampir lupa untuk mengirimkan materi pada Abi. Pun dia harus segera pulang karena memang sudah sangat sore. Kebiasaannya untuk pergi ke tempat dimana ia kerap menyendiri dan menghabiskan waktu, diurungkan terlebih dahulu. Angkutan umum yang sulit didapati, membuat Renat terpaksa berjalan kaki menuju halte. Ponselnya low baterai, sebab sejak tadi Renat terus saja memainkannya. Padahal, Renat sangat ingin meminta Sang Papa menjemputnya. Sekitar sepuluh menit, akhirnya bus datang. Renat segera bersiap-siap naik. Jantungnya berdetak lebih cepat sebab kaget dengan isi bus yang memang sangat padat. Kursipun sudah terisi semua. Alhasil, tidak ada pilihan lain selain berdiri dengan satu tangan memeluk buku dan satunya berpegangan pada pegangan bus. Renat menahan helaan napasnya. Dulu, ia tidak pernah berpikir bahwa hidupnya akan seperti ini. Memang benar, Tuhan selalu mudah menjungkirbalikkan kehidupan hambaNya. Termasuk kehidupan Renat. Kehidupan sempurnanya yang dulu berubah, retak lalu hancur dengan mudahnya. Seorang yang meminta uang bayaran bus mendekat pada Renat. Tangannya bergerak menuju saku rok. Dan kesialan sepertinya memang sedang menempeli Renat kemanapun. Uangnya tidak ada. Bodoh. Dia lupa bahwa tadi siang dia sudah membeli roti karena lapar. "Gimana, Neng?" "Eh, anu, Bang, dompet saya ketinggalan di loker sekolah." Harapan Renat agar lelaki itu kasihan padanya tidak terkabul. Sebaliknya, lelaki itu berteriak keras meminta bus berhenti. Dan setelahnya, Renat diminta turun. Dia malu. Tidak bisa berkata apa-apa karena memang dia tidak akan bisa membayar. Berusaha menahan sesak di d**a, Renat turun dari bus. Dia mendesah lelah, sedang rumahnya masih cukup jauh. Lo bisa, Re, batin Renat menyemangati dirinya. Renat menggelengkan kepala, memilih lanjut berjalan. Membuang segala rasa lelah di punggungnya. Napasnya putus-putus diikuti keringat yang mengucur. Pikirannya berkelana menuju Sang Mama. Tiap langkah yang Renat ambil seperti membuatnya kian fokus memikirkan Mamanya. Kenapa Mamanya pergi? Kenapa Mamanya meninggalkan Renat dalam kesendirian yang sulit Renat terima? Kenapa Mamanya mempercayakan banyak harta untuk membuat Renat bahagia?! "Apaansih, Lemah!" hardiknya cukup kuat walau bergetar pada dirinya sendiri. Renat sesekali berlari, kakinya serasa ingin lepas, Ya Tuhan. Entah sudah berapa lama Renat berjalan, dan hari juga kian gelap. Perlahan, gedung SMP terlihat. Renat menghela napas lega. Semangatnya kembali timbul untuk segera pulang. Sepuluh menit kemudian, Renat sudah terkapar di beranda rumahnya. Benar-benar kelelahan. Kakinya mati rasa. Air mata yang jatuh membuat Renat dengan segera menghapusnya. Dia tidak mau terlihat lemah. Renat ingin Mamanya tau, bahwa ia tetap bahagia walau Sang Mama tidak ada. Renat mencari kantung kecil dari tasnya, mencari kunci disana. Setelah mendapatkan benda tersebut, Renat bergerak malas. Dua kali putaran kuncinya, dan Renat mendorong cepat pintu agar terbuka. Akhirnya, batin perempuan itu senang. Karena rumah yang sepi, Renat buru-buru naik ke kamar, segera mencari kabel untuk mengisi kembali daya ponselnya. Tangannya menjangkau remote televisi dan segera menekan tombol agar televisi menyala. Badan Renat membeku. Ketika sosok yang begitu ia benci, tengah tertawa penuh sukacita di dalam layar. Model cantik, Gita Anindya, akan segera meresmikan hubungan specialnya dengan Andra Prakoso?! Pertahanan Renat hancur seketika. Demi Tuhan, sebagaimanapun Mamanya pergi meninggalkan Renat dan Papanya, Mamanya masih sah sebagai istri Papanya. Ya Tuhan, bagaimana bisa Renat tidak membenci Ibunya sendiri? Ketika disini ia kelelahan menanti, ternyata Mamanya tengah asik tertawa bahagia disana. Tidak peduli pada sakitnya Renat dan Sang Papa. • r e t u r n •
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN