6 - Pusing

1199 Kata
Abi mematikan mesin motornya dengan perasaan gondok yang teramat sangat. Dia gagal menyalurkan kekesalannya kepada geng Enrico. Tadi, ketika Abi dan Victor sudah berada di jalanan dimana lokasi gudang kosong tempat Enrico menunggunya berada, mobil polisi menyusul cepat dari belakang. Polisi itu menghadang jalan Abi dan Victor. Kepala Abi segera memikirkan berbagai kemungkinan yang sedang terjadi. Jangan-jangan Enrico sedang menjebaknya agar datang kemari? Tapi dugaan Abi salah setelah polisi itu berbicara pada mereka. "Kalian mau kemana?" "Mau pulang, Pak," jawab Victor segera. "Yasudah, kalian bisa pulang sekarang." Abi dan Victor hanya mengangguk patuh, setelahnya memacu motor menjauhi polisi. Abi berpikir lebih baik mencari aman. Bukan takut kepada polisi, melainkan lebih memikirkan Sang Mama. Tapi Abi penasaran pada apa yang sedang terjadi. Ketika yakin bahwa polisi tidak melihat mereka lagi, Abi memperlambat kecepatan motornya. "Balik, Vic!" ajak Abi dan setelahnya memutar arah motor. "Bi, Bego! Ada polisi lo gak liat apa?" Victor berteriak tidak terima. Tapi Abi tetap pergi, benar-benar ingin memuaskan rasa penasarannya. Jika dugaan kedua Abi tidak salah, berarti memang benar ada seorang yang mengadukan sesuatu kepada polisi hingga polisi tersebut sampai datang kemari. Kedai kecil yang berada disana menjadi tempat pilihan Abi untuk berhenti. Setidaknya, dari sana dia masih dapat melihat gudang kosong tersebut walaupun hanya bagian atapnya saja. Setelah memastikan bahwa motornya tidak akan terlihat, Abi segera turun. Lelaki itu duduk di dalam kedai tersebut disusul Victor. "Lo gak liat ada polisi?" hardik Victor kesal sambil berdiri di depan tubuh Abi yang sedang duduk di bangku. Wajah Victor benar-benar tegang. "Gue cuma pengen tau sebenernya ada apa," ungkap Abi tenang. "Dia udah nantangin, gue gak mau lepasin dia gitu aja. Otaknya udah ngilang kali, semua orang ditantang." "Kenapa, Dek?" Abi dan Victor tersentak bersamaan, pemilik kedai bertanya pada mereka. Abi yang bingung harus bagaimana beruntung memiliki Victor sebagai teman. Karena Victor dengan sigap menjawab pertanyaan Ibu tersebut. "Sebenernya polisi kenapa ke gudang itu, Buk?" tanya Victor hati-hati. "Oh, itu warga sini yang minta. Soalnya tadi baru aja ada anak-anak SMA asing main masuk kesana lagi. Udah diperingatin dari dulu, jangan kesana, cari tempat lain aja, tapi mereka budeg semua." Penjelasan Ibu tersebut membuat Abi dan Victor mengangguk. "Tadi kalian diberhentiin sama polisi, ya?" Abi mengangguk, sedang Victor menjawab, "Iya, Buk. Kita juga panik kenapa polisi ngeberhentiin kita." "Itu mungkin karena kalian ada di sekitar sini. Polisi takut kalian bagian dari mereka." Ah, Abi mengerti situasinya. Tapi walaupun polisi datang, hal tersebut tidak membuat niat Abi surut untuk menghabiskan wajah Enrico. Lelaki letoi tersebut perlu merasakan lagi tinjuan Abi agar segera sadar. Pasalnya, Enrico kerap membuat Abi kesal. Tidak. Abi tidak pernah menantang Enrico, tetapi selalu Enrico yang melakukan hal tersebut. Dan Abi, karena memang sudah hobi, tentu saja menerima. "Terus gimana? Kita balik?" tanya Victor sambil mengambil gorengan di kedai itu, segera mengunyahnya. "Bentar dulu, Bego," balas Abi tidak kalah kesal. "Tunggu sebentar lagi." "Bego-bego aja lo ke gue. Udah sepinter apa lo?" Victor mengangkat dagu, memandang Abi menantang. "Kalau gak pinter, gue gak bakalan ikutan lomba Bio," jawab Abi tenang. Seketika Victor mencibir karena kenyataannya memang seperti itu. Abi adalah siswa pintar. "Eh, terus Renata gimana?" "Apanya yang gimana?" Abi menatap Victor bingung, merasa risih karena topik tentang Renat diangkat. "Lo ninggalin dia, Bi. Gak tega apa? Kasian dia sendirian." "Siapa bilang? Kan bareng Buk Tiwi." "Susah ngomong sama lo." "Gausah ngomong sama gue kalau gitu. Bego." Tanpa peringatan, dengan dongkol, Victor menyemburkan air putih yang tengah berada di mulutnya ke arah Abi. Membuat bagian s**********n Abi sukses basah. Seperti mengompol. "Eh, gak sengaja." Victor menunjukkan cengiran lebar, segera Abi memberikan balasan dengan menendang kaki lelaki tersebut tanpa hati. "Sakit, Setan!" "Gak sengaja," jawab Abi ringan, dan kembali menatap ke arah gudang. Sekitar sepuluh menit, Abi mengguncang bahu Victor, membuat lelaki yang masih asik dengan gorengan tersebut tersedak. Victor buru-buru minum, setelah itu mengambil napas panjang. "Kenapa, Woi?" tanya Victor kesal karena kesempatan makannya terganggu. "Itu liat!" Dagu Abi bergerak ke satu arah, dimana mobil polisi tengah bergerak dari gudang. "Pada ditangkep mereka!" "Anjir, kasian juga." Victor meringis sendiri, dalam hatinya bersyukur karena tidak pernah berurusan dengan pihak berwajib. "Kasian kepala lo kotak! Gak guna kasian sama mereka." "Perasaan lo sama Enrico baru berantem lima kali, dah. Kenapa benci banget kayaknya sama dia?" "Lo pikir gue bakal lepasin cowok gila yang udah sembarangan godain Bia? Dan buat gue, kelakuan dia yang kayak gitu artinya lagi nantangin gue. Otaknya gak ada tuh orang. Harusnya gue gebukin lagi baru dibawa sama polisi." Victor terdiam di tempat. Baru tau kenapa Abi begitu membenci Enrico. Victor tau, jika sudah berhubungan dengan adik-adiknya, Abi sulit dikontrol. Dan yang membuat Victor bingung, kenapa Abi bisa-bisanya bersikap tenang selama di rumah? Kenapa Abi mampu menyembunyikan rahasia tentang pergaulannya di luar rumah. "Buruan bayar, kita cabut." Abi bergerak lebih dulu menuju motornya. Setelah itu menyalakan mesin dan berlalu lebih dulu. Tidak menunggu Victor yang sedang meminta maaf kepada Ibu pemilik kedai karena kata-kata kasar yang mereka lontarkan. Abi menggelengkan kepala, membuang pikiran tentang bayangan kejadian tadi. Buru-buru lelaki itu turun dari motor dan berjalan masuk rumah. Kembali menjadi Abi yang penuh kelembutan. Ucapan salam menjadi penanda bahwa Abi sudah masuk. Tampak Judith tengah belajar di ruang tengah bersama seorang guru. "Mama sama Papa lagi pergi ke rumah Oma, A," ujar Judith ketika melihat kakak lelakinya tersebut. "Mama pesen kalau Aa udah pulang, buru-buru makan." "Iya," jawab Abi pelan sambil mengambil tempat tidak jauh dari Judith. Melihat sebentar adik bungsunya yang sedang belajar. "A," panggil Judith lagi, mengalihkan tatapannya dari buku. "Kenapa?" "Tadi Teh Haruka kesini," ujar Judith pelan, lebih terdengar takut. "Terus?" "Judith usir, deh." Judith tertawa, tapi terlihat jelas bahwa remaja kecil tersebut tengah meringis. Takut jika Abi marah. "Kenapa sih, Dith, nggak pernah ramah sama Teh Haruka?" "Ih, biarin!" jawab Judith sesuka hati. "Lagian, siapa suruh dia suka Aa. Nggak boleh! Aa kan cuma punya Judith sama Teh Bia." "Tapi nggak gitu juga, Dith. Kalau Mama tau yang ada Judith dikasih ceramah lagi. Mau?" "Apaansih, Aa! Kok belain Teh Haruka." "Siapa yang belain?" tanya Abi balik dengan bingung. "Aa, lah! Siapa lagi?!" "Judith nggak boleh kayak gitu." Kini intonasi suara Abi melemah. Takut menyakiti hati adiknya. "Sama yang lebih tua harus hormat." "Judith hormat kok, tapi sama Teh Haruka Judith suka lupa buat hormat." "Judith mau Aa bilang ke Mama karna punya sikap kayak gitu?" "Aa sana, deh! Judith lagi belajar!" Judith mengusir Abi sambil cemberut kesal. Sedang Abi lagi-lagi menghela napas lelah. Kapan adiknya akan mengibarkan bendera perdamaian pada Haruka? Abi akhirnya berdiri, menuruti keinginan Judith untuk pergi. Setibanya di kamar, Abi langsung melemparkan tasnya ke atas tempat tidur. Mengecek ponselnya. Tapi sayang, tidak ada pemberitahuan apa-apa yang berasal dari Renat. Sudah lumayan sore padahal. Apa jangan-jangan Renat belum pulang? Abi sibuk memikirkan hal tersebut. Tapi pada akhirnya dia kembali mematikan ponsel. Nanti, Renat pasti akan mengirimnya. Kemudian, Abi memilih mandi karena badannya harus segera dibersihkan. • r e t u r n • Jarum jam terus berputar, Abi yang sibuk dengan tugas sesekali mengecek ponsel. Sudah sangat malam, tetapi Renat tidak juga menginformasikan perihal materi padanya. Dahi Abi mengernyit, jangan-jangan Renat sedang membalas dendam? Ah, sial. Dan lagi, tingkat ketidaksukaan Abi terhadap Renat semakin bertambah. • r e t u r n •
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN