Renat melangkahkan kakinya masuk kelas, kepalanya menunduk enggan melihat sekitar. Seperti hapal dengan letak tempat duduknya, Renat buru-buru kesana. Tetapi, ketika ingin duduk, sepasang kaki yang juga dibalut sepatu menghalang gerakannya.
Renat mendongak perlahan. Hingga ia sukses bersitatap dengan mata lelaki yang entah kenapa juga menjadi akar kekesalannya. Renat menghela napas pelan saja, dalam hati berharap agar lelaki itu pergi.
"Kamu bales dendam?" Renat mengernyit tidak suka. Balas dendam apa maksudnya?
"Ngomong apaansih, Bi?" sahut Renat ketus.
"Terus kenapa materi yang aku minta gak kamu kirim?" Renat diam, berusaha sabar pada tuduhan yang dijatuhkan Abi padanya. Renat ingin meledak, sungguh. Karena hari ini ia sedang malas untuk beramah-tamah pada siapapun, termasuk Abi.
"Gue ketiduran, ok?" ujar Renat seraya membujuk Abi.
Abi memberikan tatapan tidak mengerti pada Renat. Tapi Renat tidak peduli. Sedikit kasar, Renat menolak Abi agar menjauh.
"Gak mungkinkan pulang sekolah kamu langsung tidur?"
"Mungkin-mungkin ajalah, Bego."
"Omongan kamu emang selalu kasar sama orang-orang?" Kini Renat benar-benar memberikan tatapan tidak suka pada Abi. Ada hak apa lelaki itu hingga harus mengurusi mulut Renat? Ada kewajiban apa sampai ia harus mengingatkan Renat hal baik atau buruk?
Karena faktanya, Renat benci ketika orang-orang berlagak peduli padanya. Terlebih, jika kepedulian itu dilandasi kebohongan. Renat benci. Teramat sangat. Dan itu kenapa, Renat selalu memakai topeng keceriaan ketika di sekolah. Karena ia ingin agar orang-orang tidak memikirkan kehidupannya lalu ikut campur.
"Bego! Bego! Bego! t***l!" teriak Renat tepat di depan wajah Abi. Tapi bukan hanya Abi, satu kelas juga ikut tercengang akibat teriakan Renat.
Abi menghela napas, menatap Renat seperti biasa. "Udah? Kamu seneng karna bisa ngomong kasar kayak gitu? Kalau emang gitu, lanjutin aja. Toh, pilihan kamu. Aku kesini cuma mau ingetin lagi, jangan lupa kirim materi Biologinya."
"Bacod!" teriak Renat sambil menatap Abi tajam. Perempuan itu memilih untuk duduk segera di bangkunya, lalu melipat kedua tangan dan membenamkan kepala.
"Terserah kamu," balas Abi lalu menjauhi meja Renat. Berjalan menuju pintu kelas lalu keluar.
• r e t u r n •
Abi mengutuk kebodohannya habis-habisan. Seperti orang paling benar, Abi menggurui Renat. Padahal jelas-jelas, Abi dan Renat tidak jauh berbeda. Hanya saja, telinga Abi memang suka sakit ketika mendengar perempuan manapun kasar ketika berbicara.
Kaki lelaki itu sibuk berjalan di sepanjang koridor. Membuat orang-orang di sekitar lantas menyapa. Sudah biasa memang hal itu terjadi. Bagaimana tidak, hari pertama sebagai siswa SMA saja membuat Abi harus tahan menjadi godaan kakak kelas perempuan. Dan sekarang, tidak usah ditanya seberapa banyak adik kelas yang secara diam-diam bahkan terang-terangan mendekatinya.
Populer? Abi rasa ia bukan siswa populer. Tapi tentu saja berbeda penilaian dengan orang lain. Dari tiga angkatan, Abi menjadi peringkat kelima untuk siswa terpopuler dari apa yang ia lihat melalui tempelan mading. Dan menurutnya, itu sangat memuakkan.
"Woi, mau kemana lo?" Abi menatap ke satu arah dimana Victor tengah berlari mendekat.
"Kuping gue sakit di kelas," jawab Abi sambil berjalan. Victor yang mengerti kemana maksud jawaban Abi lantas tertawa. Bagi Victor, Abi memang cukup aneh. Membenci perempuan manapun hanya karena perempuan itu bermulut kasar. Mungkin wajar, tapi Victor kerap tergelak karenanya.
"Siapa emangnya?" tanya Victor penasaran.
"Renat," ucap Abi malas. Dan Victor seketika meringis hebat. Ia sepertinya paham kenapa perempuan itu kasar pada Abi.
"Lo berantem sama dia?"
"Gak. Gue cuma datengin dia buat nanya kenapa materi Biologi gak dikirim ke gue. Enak banget dia jawab ketiduran. Terus nyolot ke gue."
"Yaiyalah dia ngamuk sama lo, Bebi," ujar Victor seperti paling paham dengan situasi.
Abi, bukannya menanggapi dengan penasaran, malah mendelik dan menatap Victor tajam. "Lo panggil gue Bebi lagi, gue jorokin lo ke lapangan."
Victor hanya meringis, lalu buru-buru bersuara, "Renat marah pasti karna capeklah. Kemarin gue liat dia pulang jalan sendirian. Mana udah sore, kan? Lo udah gue spam tapi tainya gak ngeread chat gue, Bebi."
Abi ternyata memang tidak main-main dengan ucapannya. Terbukti karena Victor sekarang sudah mendarat di lapangan berkat tendangan Abi.
"WOI, BAGONG! Bukannya bilang makasih udah dijelasin malah ngedepak gue lo. Lagi dapet lo, ya? Tai, sakit ini p****t gue.
Victor marah-marah sendiri. Tidak hanya sakit, lebih dari itu, ia malu. Siswa siswi lain sibuk menatap penasaran pada Victor dan Abi. Bahkan ada yang tertawa. Dan yang berada di kelas pun, rela keluar hanya untuk melihat Victor. Jika saja Abi bukan temannya, pasti Victor sudah balas menendang Abi tidak kalah brutal.
"Mau dia jalan, terbang, ngilang sekalian, juga bukan urusan gue," ujar Abi sambil berlalu meninggalkan Victor yang asik memegangi bokongnya. Ketika melewati teman-teman yang menertawakan Victor, Abi lantas menatap mereka tajam. "Kalau bisanya cuma ketawa, pulang sana lo! Gak guna orang jatoh bisanya ketawa doang."
Mereka yang merasa oleh ucapan Abi seketika diam. Dalam hati merutuki lelaki tersebut. Siapa yang menendang, siapa pula yang marah-marah tidak jelas. Mungkin, Abi memang sedang kedatangan tamu ....
• r e t u r n •
"Jadi, ada yang mau kalian tanya?" Ibu Tiwi yang berdiri di depan papan tulis dengan tangan memegang spidol bertanya untuk yang terakhir kalinya.
Abi dan Renat yang memang duduk di tempat berbeda serempak menggeleng. Renat menatap Abi, menahan senyumnya. Ia senang karena Abi tidak perlu dipaksa lagi untuk datang. Setidaknya jelas, bahwa lelaki itu bertanggung jawab.
Renat sendiri juga sudah lebih baik. Permasalahan tadi kembali ia pikirkan di kepala. Semalam, Renat benar-benar ketiduran selepas mandi. Dia tidak mungkin berbohong, bukan? Tenaganya jelas-jelas habis karena dipakai berjalan menuju rumah. Dan tampaknya, sekarang Abi makin kesal pada Renat.
"Ok, jadi besok hari terakhir. Kita ketemu lagi disini."
"Iya, Buk," jawab Renat terdengar semangat. Sedang Abi hanya mengangguk seraya menyusun kembali buku-bukunya. Setelah berpamitan cepat dengan Ibu Tiwi, Abi segera berlalu keluar kelas.
Keadaan sekolah sudah sepi, walau memang tampak beberapa siswa yang terlihat, tapi tetap saja. Abi berjalan cepat menuju parkiran sekolah. Badannya sudah sangat lelah dan ia ingin segera istirahat di rumah.
Tapi, sebuah teriakan menghentikan gerakan Abi yang hendak mengenakan helm. "Abi!" Renat berlari dengan napas putus-putus.
"Kenapa?" tanya Abi langsung, rasanya malas meladeni Renat lebih lama.
"Gue nebeng lu, ya? Angkot kalau waktu kayak gini susah, Bi," ujar Renat tanpa basa-basi. Perempuan itu menggigit bibir, khawatir jika saja Abi mendepaknya seperti apa yang dialami Victor pagi tadi. Pasalnya, uang yang ia miliki pas untuk membeli minuman. Dan jika Abi berbaik hati mengantarnya pulang, Renat akan teramat bersyukur.
"Bus sana," suruh Abi sambil naik ke motornya.
"Lo tau nggak? Sekarang ini bus pasti lagi rame banget. Gue gak bakalan dapet tempat buat duduk." Renat lagi-lagi membujuk, berharap Abi mengiyakan. "Uang gue juga pas-pasan buat beli minum, Bi."
Harusnya Renat sadar, jika Abi itu lelaki tuli. Tapi ketika Abi meminta Renat menunjukkan telapak tangannya, perempuan itu sigap mengikuti. Barulah Renat sadar apa yang Abi lakukan ketika lelaki itu meletakkan uang di atas tangan Renat.
"Buat kamu pulang," ujar Abi lalu berlalu pergi begitu saja bersama motornya. Meninggalkan Renat yang masih terpaku seorang diri.
Di tempatnya, Renat lagi-lagi tertawa sinis. Dalam hati kembali mengutuk orang yang mengangap uang dapat menyelesaikan segalanya.
Renat menghela napas panjang. Benar-benar merasa bodoh karena mengharapkan Abi.
• r e t u r n •